Surau.co. Tidak ada kalimat yang lebih agung dari Lā ilāha illallāh. Ia pendek, tapi mengguncang seluruh makna kehidupan. Dalam satu napas, manusia berpindah dari kegelapan menuju cahaya, dari kesesatan menuju petunjuk. Kalimat itu bukan sekadar ucapan di bibir, tetapi perjanjian suci antara seorang hamba dengan Penciptanya.
Dalam kitab Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi at-Tawhīd, Syaikh Muhammad al-Fudhali menjelaskan bahwa mengenal makna kalimat tauhid adalah fondasi pertama dari iman. Ia menulis:
وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ أَنْ يَعْرِفَ مَعْنَى لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
“Wajib bagi setiap mukallaf untuk mengetahui makna dari kalimat ‘Lā ilāha illallāh Muhammadur Rasūlullāh’.”
Menurut beliau, seseorang tidak cukup hanya melafalkan syahadat tanpa memahami isinya. Karena kalimat ini bukan formula ajaib yang otomatis menyelamatkan, melainkan kesaksian penuh kesadaran — pengakuan total atas keesaan Allah dan kepatuhan terhadap Rasul-Nya.
Makna Saksi dalam “Lā Ilāha Illallāh”
Kata saksi dalam Islam bukan sekadar melihat dengan mata, tetapi menyaksikan dengan hati. Ketika seseorang mengucapkan “Lā ilāha illallāh”, ia menjadi saksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Ini adalah kesaksian yang menuntut konsekuensi: menjadikan Allah sebagai pusat orientasi hidup.
Al-Qur’an mengabadikan hal ini:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُوا الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
“Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang-orang berilmu, dengan menegakkan keadilan.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 18)
Ayat ini menegaskan bahwa kesaksian tauhid bukanlah milik manusia semata. Allah sendiri menjadi saksi pertama atas keesaan-Nya. Maka, ketika manusia mengucapkannya, ia sebenarnya sedang mengikuti saksi Ilahi — menjadi bagian dari barisan para saksi kebenaran yang memikul tanggung jawab besar.
Dalam pandangan Syaikh al-Fudhali, kesaksian ini bukan ucapan biasa, melainkan janji eksistensial. Setiap hurufnya mengikat manusia agar tidak lagi menjadikan dunia, harta, atau manusia sebagai ilah kecil yang menandingi Allah.
Dari Pengakuan Menuju Penyerahan
Mengakui keesaan Allah berarti menolak segala bentuk ketuhanan palsu — termasuk ego, keinginan, dan hawa nafsu. Inilah makna terdalam dari tauhid.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُخْلِصًا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa mengucapkan ‘Lā ilāha illallāh’ dengan tulus, niscaya ia masuk surga.” (HR. Ahmad)
Kata mukhlisan — tulus — menjadi kunci. Karena banyak orang mengucapkan kalimat itu, tetapi sedikit yang benar-benar hidup di bawah cahayanya. Syaikh al-Fudhali mengingatkan, “Keikhlasan dalam tauhid berarti menjadikan seluruh ibadah, cinta, dan ketundukan hanya untuk Allah, bukan untuk pujian makhluk.”
Maka, kalimat ini tidak berhenti di lisan. Ia harus menembus ke hati, lalu mewujud dalam amal. Tauhid sejati adalah penyatuan seluruh dimensi hidup di bawah satu tujuan: mencari ridha Allah.
Janji Seorang Muslim: Hidup untuk Allah Semata
Ketika seseorang bersyahadat, ia telah berjanji. Janji itu bukan perjanjian di atas kertas, tetapi di hadapan Tuhan semesta alam. Ia berikrar bahwa hidupnya, matinya, cintanya, dan harapannya hanya untuk Allah.
Allah berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‘ām [6]: 162)
Kalimat ini menggambarkan inti dari Lā ilāha illallāh. Ia bukan hanya pernyataan iman, tetapi juga komitmen eksistensial. Seorang Muslim yang benar-benar memahami maknanya akan hidup dengan kesadaran bahwa seluruh tindakannya adalah bentuk ibadah.
Dalam konteks modern, janji ini menjadi penyeimbang bagi kehidupan yang sering terpecah oleh ambisi dan kesibukan. Ketika seseorang memulai harinya dengan menyadari bahwa “tidak ada yang berhak menjadi pusat hidup selain Allah”, maka ia akan bekerja, belajar, dan mencinta dengan kesadaran spiritual yang mendalam
Menafsir Ulang Keimanan di Tengah Dunia Modern
Kita hidup di zaman ketika kata “Tuhan” sering dianggap konsep abstrak. Banyak yang mengucapkan “Lā ilāha illallāh”, tetapi sedikit yang benar-benar menjadikannya panduan. Dalam suasana seperti ini, memahami pesan Kifayatul Awam menjadi semakin penting.
Syaikh al-Fudhali mengingatkan bahwa tauhid bukan hanya pengetahuan teoretis, melainkan kesadaran eksistensial yang harus dirasakan. beliau menerangkan:
فَمَعْنَى لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ نَفْيُ الْإِلٰهِيَّةِ عَمَّا سِوَى اللهِ وَإِثْبَاتُهَا لِلَّهِ وَحْدَهُ
“Makna ‘Lā ilāha illallāh’ adalah meniadakan ketuhanan dari selain Allah dan menetapkannya hanya bagi Allah semata.”
Kalimat ini sederhana tapi mendalam. Beliau menuntut pembersihan batin dari segala hal yang menyaingi Allah — termasuk ketergantungan pada status, gengsi, atau pencitraan diri.
Tauhid mengajarkan manusia untuk tidak tunduk pada tekanan sosial atau ketakutan duniawi. Ia mengembalikan pusat kekuatan ke dalam diri yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Itulah kebebasan sejati yang dijanjikan oleh “Lā ilāha illallāh”.
Tauhid Sebagai Fondasi Akhlak
Keimanan kepada Allah bukan hanya keyakinan metafisik, melainkan juga dasar bagi perilaku moral. Orang yang benar-benar bertauhid tidak akan menipu, merugikan, atau menzalimi. Karena ia tahu bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Rasulullah ﷺ bersabda:
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada.” (HR. Tirmidzi)
Syaikh al-Fudhali menekankan bahwa iman yang benar pasti melahirkan akhlak yang baik. Jika seseorang masih mudah berbuat curang, sombong, atau iri, maka ia belum memahami hakikat kalimat tauhid.
Dalam kehidupan modern yang sering kehilangan nilai moral, Lā ilāha illallāh menjadi penuntun arah. Ia mengajarkan bahwa integritas bukan soal citra di mata manusia, tetapi konsistensi di hadapan Allah.
Ketika Kalimat Itu Menjadi Nafas Hidup
Bagi seorang mukmin sejati, Lā ilāha illallāh bukan hanya kalimat pembuka Islam, tetapi juga kalimat penutup kehidupan. Ia adalah bekal di awal dan akhir perjalanan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang akhir perkataannya ‘Lā ilāha illallāh’, maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud)
Kalimat ini menjadi jembatan antara dunia dan akhirat. Ia menenangkan hati yang gelisah dan menghidupkan jiwa yang letih. Ketika seseorang mengingat Allah, ia menemukan makna yang tidak bisa diberikan oleh dunia: ketenangan batin.
Dalam perenungan malam, kalimat tauhid bisa menjadi pelipur duka. Ia meneguhkan bahwa tidak ada kekuatan selain dari Allah, tidak ada tempat bergantung selain kepada-Nya.
Hidup dalam Cahaya Syahadat
Kalimat syahadat bukan sekadar tanda keislaman, tetapi cermin spiritual yang memantulkan hubungan antara hamba dan Tuhannya. Syaikh al-Fudhali menggambarkan syahadat sebagai cahaya pertama dalam hati seorang mukmin — cahaya yang menuntun seluruh amalnya.
Ketika seseorang benar-benar menghayatinya, hidup menjadi ibadah yang terus berlanjut. Setiap pekerjaan, setiap kebaikan, bahkan kesederhanaan dalam bersikap menjadi bentuk dzikrullah — mengingat Allah dalam setiap detik kehidupan.
Dunia modern membutuhkan kesadaran semacam ini. Karena di tengah hiruk pikuk materialisme, kalimat Lā ilāha illallāh mengembalikan manusia kepada esensinya: makhluk yang hidup dalam rangkulan makna dan kasih Ilahi.
Penutup
Ketika kita mengucapkan Lā ilāha illallāh, kita sebenarnya sedang memperbarui perjanjian purba antara manusia dan Allah. Janji bahwa kita hanya akan menyembah-Nya, mencintai-Nya, dan berjalan di jalan-Nya.
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami).’” (QS. Al-A‘rāf [7]: 172)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kalimat tauhid bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah gema dari janji terdalam dalam diri manusia — janji yang telah diucapkan sejak ruh pertama kali mengenal Tuhannya.
Hidup sejatinya adalah perjalanan untuk menepati janji itu. Setiap hari, setiap doa, dan setiap amal adalah bentuk kesaksian ulang: bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa kita hidup hanya untuk-Nya. Dalam setiap detak napas, semoga “Lā ilāha illallāh” tidak hanya terucap di bibir, tetapi berdenyut dalam jiwa — menjadi cahaya yang menuntun langkah sampai akhir hayat.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
