Khazanah
Beranda » Berita » Iman dan Islam: Dua Sayap Menuju Keselamatan Menurut Kitab Kifāyatul ‘Awām

Iman dan Islam: Dua Sayap Menuju Keselamatan Menurut Kitab Kifāyatul ‘Awām

ilustrasi iman dan Islam menurut Kifayatul Awam
Ilustrasi realistik-filosofis menggambarkan dua sayap bercahaya yang terbang menuju langit terang — melambangkan perpaduan iman dan Islam yang mengantarkan manusia pada kedamaian abadi.

Surau.co. Dalam kehidupan beragama, dua kata yang sering kita dengar — iman dan Islam — bukan sekadar istilah yang berdampingan, melainkan dua sayap yang mengantarkan manusia menuju keselamatan sejati. Tanpa iman, Islam kehilangan ruhnya; tanpa Islam, iman kehilangan wujudnya. Keduanya saling melengkapi, saling menopang, dan menjadi fondasi bagi kebahagiaan dunia dan akhirat.

Syaikh Muhammad al-Fudhali dalam kitabnya Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi al-Kalām menjelaskan bahwa iman dan Islam merupakan dua aspek dari satu keutuhan keyakinan. Iman bersemayam dalam hati, sedangkan Islam terwujud dalam amal lahiriah. Dalam salah satu bait beliau menulis:

وَبِالإِيمَانِ وَالإِسْلَامِ صِرْتَ مُسْلِمًا
“Dengan iman dan Islam engkau menjadi seorang Muslim.”

Bait singkat ini menegaskan hubungan erat antara keyakinan batin dan pengamalan lahir. Iman menuntun hati untuk mengenal Allah, sementara Islam menuntun tubuh untuk taat kepada-Nya. Inilah dua sayap yang membawa manusia terbang menuju keridaan dan keselamatan Ilahi.

Iman: Cahaya dalam Hati yang Menuntun Jalan

Dalam Kifāyatul ‘Awām, Syaikh al-Fudhali menjelaskan bahwa iman berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Tiga unsur ini tidak dapat dipisahkan. Iman bukan hanya keyakinan yang bersemayam dalam hati tanpa bukti, tetapi juga harus tampak dalam tindakan sehari-hari.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa iman tidak hanya soal keyakinan, tetapi juga berwujud dalam perilaku sosial yang penuh kasih sayang. Seorang mukmin sejati bukan hanya yang percaya kepada Allah, tetapi juga yang menebar kedamaian dan keadilan di tengah kehidupan.

Iman adalah fondasi yang menghidupkan seluruh dimensi kehidupan. Ia memberi arah pada akal, menenangkan hati, dan menuntun amal. Tanpa iman, manusia kehilangan makna; hidupnya berjalan tanpa arah, meski langkahnya cepat dan penuh kesibukan.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)

Iman menjadikan manusia tenang di tengah badai kehidupan. Ia membuat seseorang yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah dan semua cobaan memiliki hikmah yang mendalam. Karena itu, iman bukan sekadar doktrin teologis, tetapi kekuatan psikologis yang menguatkan jiwa dalam setiap ujian.

Islam: Wujud Nyata dari Iman

Islam secara bahasa berarti “tunduk” atau “berserah diri”. Dalam konteks ajaran, Islam berarti kepatuhan penuh kepada perintah Allah dengan melakukan amal yang diperintahkan dan menjauhi larangan-Nya. Islam adalah manifestasi lahir dari iman yang tersembunyi di dalam hati.

Allah berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Āli ‘Imrān: 19)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ayat ini menegaskan bahwa Islam bukan sekadar identitas, tetapi jalan hidup yang menyeluruh. Ia mencakup cara berpikir, bertindak, beribadah, hingga berinteraksi dengan sesama makhluk. Islam menuntut keseimbangan antara ibadah ritual dan sosial — antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia.

Syaikh al-Fudhali menulis dalam Kifāyatul ‘Awām bahwa tanda seorang Muslim sejati adalah konsistensinya dalam menjalankan lima rukun Islam. Shalat, zakat, puasa, haji, dan syahadat bukan sekadar ritual, melainkan ekspresi penghambaan yang menumbuhkan kesadaran spiritual dan sosial.

Kata Islam berasal dari akar kata salama, yang berarti damai. Seorang Muslim sejati adalah pembawa kedamaian — bagi dirinya, keluarganya, dan lingkungannya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menggambarkan esensi Islam: menebar ketenangan, bukan kebencian; menanam kasih, bukan permusuhan. Ketika iman menumbuhkan cinta kepada Allah, Islam mewujudkan cinta itu dalam perilaku yang damai kepada sesama.

Hubungan Iman dan Islam: Dua yang Tak Terpisahkan

Iman dan Islam ibarat ruh dan raga dalam diri manusia. Islam adalah bentuk luar yang tampak — berupa ibadah, amal, dan ketaatan. Sedangkan iman adalah ruh yang menghidupkannya — keyakinan yang menjadi motivasi dan arah dari setiap amal.

Dalam Kifāyatul ‘Awām, Syaikh al-Fudhali menegaskan bahwa iman tanpa Islam adalah ibarat pohon tanpa buah, sementara Islam tanpa iman adalah amal tanpa makna. Keduanya harus menyatu agar seorang hamba mencapai derajat kesempurnaan.

Al-Qur’an mengingatkan:

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَـٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا
“Orang-orang Arab Badui berkata: Kami telah beriman. Katakanlah: Kalian belum beriman, tetapi katakanlah: Kami telah tunduk (Islam).” (QS. Al-Ḥujurāt: 14)

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam (ketaatan lahir) dapat hadir tanpa iman yang sempurna, tetapi iman sejati selalu menuntun pada Islam yang murni. Hubungan keduanya adalah timbal balik: iman menghidupkan Islam, Islam menguatkan iman.

Keselamatan sejati hanya dapat diraih dengan perpaduan antara iman dan Islam.

Allah berfirman:

وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ
“Barang siapa menyerahkan dirinya kepada Allah sedang ia berbuat baik, maka sungguh ia telah berpegang pada tali yang kuat.” (QS. Luqmān: 22)

Ayat ini menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam: penyerahan diri kepada Allah disertai amal saleh. Itulah tali kokoh keselamatan yang tidak akan putus di dunia maupun di akhirat.

Tingkatan Keimanan: Dari Islam Menuju Ihsan

Dalam hadits Jibril yang masyhur, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa agama terdiri dari tiga tingkat: Islam, iman, dan ihsan. Ketiganya membentuk tangga spiritual menuju kedekatan dengan Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda ketika ditanya tentang ihsan:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Syaikh al-Fudhali menafsirkan bahwa ihsan adalah buah dari iman dan Islam yang kuat. Ketika hati penuh dengan keyakinan dan tubuh tunduk dalam ketaatan, maka lahirlah rasa kehadiran Allah yang mendalam — itulah ihsan.

Perjalanan spiritual seorang Muslim adalah perjalanan naik: dari Islam menuju iman, lalu mencapai ihsan. Islam menuntut kepatuhan; iman menuntut keyakinan; ihsan menuntut kehadiran batin. Ketiganya adalah jalan menuju keselamatan sejati — keselamatan lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Dalam Kifāyatul ‘Awām, Syaikh al-Fudhali menegaskan bahwa orang yang beriman dan berislam tanpa mencapai ihsan tetap berada di jalan yang benar, tetapi orang yang mencapai ihsan telah menikmati kelezatan iman yang sejati. Ia hidup dalam kedamaian, bukan karena dunia sempurna, tetapi karena hatinya tenang bersama Allah.

Relevansi Iman dan Islam di Zaman Modern

Di era modern yang penuh kebisingan informasi dan kegelisahan moral, ajaran iman dan Islam hadir sebagai penyejuk jiwa. Iman mengajarkan ketenangan di tengah ketidakpastian, sementara Islam memberi arah dalam setiap langkah kehidupan. Keduanya menjadi kompas bagi manusia yang kehilangan arah dalam dunia yang serba cepat.

Seorang yang beriman tidak mudah putus asa menghadapi tantangan hidup, karena ia yakin bahwa setiap ujian memiliki tujuan. Seorang Muslim sejati tidak mudah tergoda oleh kesenangan sesaat, karena ia tahu ada kehidupan abadi yang menanti. Inilah keseimbangan yang hanya dapat lahir dari kesatuan iman dan Islam.

Iman dan Islam tidak boleh berhenti di bibir atau hati, tetapi harus menjadi kekuatan transformatif dalam kehidupan sosial. Orang yang beriman harus menunjukkan imannya melalui kerja keras, kejujuran, dan kepedulian. Orang yang berislam harus menjadikan ibadahnya sebagai energi untuk berbuat baik dan membawa manfaat bagi sesama.

Dengan demikian, iman dan Islam bukan sekadar keyakinan pribadi, melainkan fondasi bagi masyarakat yang damai, adil, dan penuh kasih.

Penutup

Iman dan Islam ibarat dua sayap burung yang membawanya terbang menuju langit keridaan Allah. Satu sayap tak dapat membuatnya terbang; keduanya harus seimbang, kuat, dan selaras. Iman menghidupkan hati, Islam menuntun tindakan. Bila keduanya menyatu, maka manusia akan menemukan kedamaian sejati.

Syaikh al-Fudhali menulis dalam Kifāyatul ‘Awām bahwa keselamatan hanya milik mereka yang memadukan iman yang teguh dengan Islam yang tulus. Mereka terbang tinggi di atas segala keraguan dan nafsu duniawi, menuju surga kasih Allah yang abadi.

Semoga kita semua menjadi hamba yang beriman dan berislam dengan sepenuh hati, hingga kelak Allah memanggil dengan lembut:

ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
“Masuklah ke dalamnya dengan selamat dan penuh kedamaian.” (QS. Al-Ḥijr: 46).

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement