Khazanah
Beranda » Berita » Surga dan Neraka: Akhir dari Pilihan Hidup Menurut Kitab Kifāyatul ‘Awām

Surga dan Neraka: Akhir dari Pilihan Hidup Menurut Kitab Kifāyatul ‘Awām

ilustrasi surga dan neraka menurut Kifayatul Awam
Ilustrasi realistik dan filosofis menggambarkan dua jalan bercabang — satu menuju cahaya lembut keemasan, satu menuju kegelapan berapi — melambangkan pilihan hidup manusia menuju surga atau neraka.

Surau.co. Setiap langkah manusia di dunia sejatinya adalah perjalanan menuju akhir yang pasti: surga atau neraka. Hidup tidak berhenti pada kematian, melainkan berlanjut ke alam yang kekal. Itulah inti ajaran iman kepada akhirat yang diajarkan dalam kitab Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi al-Kalām karya Syaikh Muhammad al-Fudhali. Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan bahwa keimanan kepada surga dan neraka merupakan bagian dari rukun iman yang harus diyakini secara pasti.

Syaikh al-Fudhali berkata:

وَبِالْبَعْثِ وَالنُّشُورِ وَالْحِسَابِ وَالْجَنَّةِ وَالنَّارِ آمِنْ
“Berimanlah kepada kebangkitan, pengumpulan (manusia), perhitungan amal, surga, dan neraka.”

Bait singkat ini memuat makna mendalam. Ia menegaskan bahwa surga dan neraka bukan sekadar simbol moral, tetapi realitas yang menanti di akhir perjalanan manusia. Melalui pemahaman inilah, manusia diajak untuk hidup dengan kesadaran, memilih kebaikan, dan menjauhi kezaliman.

Surga dan Neraka dalam Pandangan Islam

Surga, dalam Al-Qur’an, digambarkan sebagai tempat kebahagiaan abadi bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Allah berfirman:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka surga Firdaus sebagai tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107)

Ayat ini menunjukkan bahwa surga adalah buah dari iman dan amal. Ia bukan hadiah yang datang tanpa usaha, tetapi ganjaran dari pilihan hidup yang selaras dengan perintah Allah. Surga adalah wujud kasih sayang Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang teguh di jalan kebaikan.

Syaikh al-Fudhali dalam Kifāyatul ‘Awām menyebut bahwa keyakinan kepada surga mengajarkan manusia untuk tidak berhenti berharap. Betapa pun berat ujian dunia, iman kepada surga menumbuhkan optimisme dan ketenangan. Karena di ujung segala kesabaran, ada balasan yang tiada tara.

Neraka: Cermin dari Keadilan Ilahi

Sebaliknya, neraka menjadi tempat bagi mereka yang menolak kebenaran dan melampaui batas. Allah berfirman:

فَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا
“Adapun orang-orang kafir, bagi mereka neraka Jahanam. Tidaklah mereka dibinasakan sehingga mati, dan tidak pula diringankan azabnya.” (QS. Fāṭir: 36)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ayat ini mengingatkan bahwa neraka adalah bentuk keadilan, bukan sekadar hukuman. Ia merupakan konsekuensi dari pilihan hidup manusia. Orang yang dengan sadar memilih menolak rahmat Allah, pada akhirnya harus menanggung akibat pilihannya sendiri.

Dalam pandangan Syaikh al-Fudhali, keimanan kepada neraka bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran moral. Ia membuat manusia berhenti sejenak sebelum berbuat salah dan berpikir ulang tentang makna hidup yang sejati.

Pilihan Hidup: Jalan Menuju Surga atau Neraka

Hidup di dunia hanyalah persinggahan sementara, dan setiap amal adalah benih yang akan tumbuh di akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:

الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الآخِرَةِ
“Dunia adalah ladang bagi akhirat.” (HR. Baihaqi)

Hadits ini menjelaskan bahwa dunia bukan tempat tujuan, melainkan tempat menanam. Apa yang ditanam manusia di dunia akan ia panen di akhirat. Jika yang ditanam adalah kebaikan, maka surga menanti. Jika yang ditanam adalah kezaliman, maka neraka menjadi akibatnya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam kitab Kifāyatul ‘Awām, Syaikh al-Fudhali menekankan pentingnya amal sebagai wujud iman. Beliau menulis bahwa iman tanpa amal seperti pohon tanpa buah — indah dipandang, tetapi tak memberi manfaat. Amal yang lahir dari hati yang ikhlas itulah yang akan menjadi jalan menuju surga.

Setiap manusia diberi kebebasan memilih. Allah telah menunjukkan dua jalan, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan kejahatan).” (QS. Al-Balad: 10)

Kebebasan ini bukan tanpa tanggung jawab. Justru di situlah letak ujian hidup. Allah tidak memaksa manusia untuk masuk surga atau neraka, tetapi memberi kemampuan untuk memilih jalannya sendiri. Karena itu, setiap langkah dalam hidup adalah keputusan moral yang menentukan arah keabadian seseorang.

Gambaran Surga dalam Al-Qur’an dan Maknanya

Surga bukan sekadar tempat penuh kenikmatan, melainkan simbol kesempurnaan rahmat Allah. Dalam Al-Qur’an, surga digambarkan dengan taman-taman yang mengalir sungai di bawahnya, buah-buahan yang tidak habis, dan kebahagiaan tanpa kesedihan. Allah berfirman:

جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
“Surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 25)

Namun, makna surga sejati bukan hanya pada kenikmatan fisik, tetapi juga pada kedekatan dengan Allah. Dalam satu hadits qudsi disebutkan:

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ، وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
“Aku siapkan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di hati manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keindahan surga tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ia adalah balasan bagi hati yang tulus, amal yang ikhlas, dan perjuangan yang konsisten di jalan kebenaran.

Dalam Kifāyatul ‘Awām, Syaikh al-Fudhali menekankan bahwa surga adalah tempat bagi mereka yang menjaga kesetiaan kepada Allah. Mereka yang dalam hidupnya selalu mengingat-Nya, menjaga ibadah, dan berbuat baik kepada sesama akan dipanggil dengan lembut menuju surga.

Surga, dengan segala keindahannya, sejatinya adalah puncak perjumpaan antara hamba dan Tuhannya. Bagi orang beriman, surga bukan sekadar hadiah, tetapi rumah tempat kembali setelah perjalanan panjang yang penuh ujian.

Gambaran Neraka: Peringatan Bagi yang Lupa

Neraka digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai tempat siksaan yang dahsyat. Namun, penting dipahami bahwa azab neraka bukan wujud kebencian Allah, melainkan konsekuensi logis dari penolakan manusia terhadap rahmat dan kebenaran.

Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam api neraka.” (QS. An-Nisā’: 56)

Syaikh al-Fudhali menjelaskan bahwa neraka menjadi tempat bagi jiwa-jiwa yang keras kepala — mereka yang tahu kebenaran, tetapi menolaknya. Maka, neraka bukanlah bentuk kezaliman Tuhan, melainkan keadilan-Nya yang mutlak.

Ada pelajaran moral yang dalam di balik keberadaan neraka. Ia mengingatkan manusia bahwa kebebasan hidup di dunia memiliki batas. Bahwa setiap perbuatan memiliki akibat. Dan bahwa kasih sayang Allah tidak meniadakan keadilan-Nya.

Kesadaran akan neraka sejatinya menghidupkan hati. Ia membangunkan nurani agar tidak tertipu oleh kesenangan dunia yang fana. Dengan mengingat neraka, manusia belajar untuk berhenti sebelum melanggar, dan bersegera kembali sebelum terlambat.

Relevansi Surga dan Neraka di Zaman Modern

Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan materialistik, ajaran tentang surga dan neraka menghadirkan keseimbangan spiritual. Surga menumbuhkan harapan, sementara neraka menumbuhkan kewaspadaan. Dua hal ini menjaga manusia agar tidak terjebak dalam kesombongan atau keputusasaan.

Seseorang yang yakin pada surga tidak akan berhenti berbuat baik, meski dunia tak selalu adil. Sebaliknya, yang mengingat neraka akan menahan diri dari kezaliman, sekalipun memiliki kekuasaan. Inilah keseimbangan yang diajarkan oleh iman.

Keyakinan terhadap surga dan neraka juga menumbuhkan tanggung jawab sosial. Orang yang sadar bahwa amalnya akan diperhitungkan di akhirat tidak akan menipu, mencuri, atau menyakiti orang lain. Ia bekerja dengan jujur, berbuat adil, dan menolong sesama.

Dengan demikian, iman kepada akhirat bukan hanya ajaran teologis, tetapi juga pondasi bagi peradaban yang bermoral dan berkeadilan.

Penutup

Setiap manusia sedang berjalan menuju akhirnya. Ada yang melangkah ke surga, ada yang menuju neraka. Semua tergantung pada pilihan hidupnya di dunia.

Syaikh al-Fudhali mengingatkan dalam Kifāyatul ‘Awām, bahwa keyakinan kepada surga dan neraka harus melahirkan amal nyata. Iman yang sejati bukan hanya percaya, tetapi juga berbuat. Karena di akhirat, tidak ada kesempatan kedua.

Surga dan neraka bukan dongeng, tetapi janji dan peringatan. Surga menunggu bagi yang setia, neraka menanti bagi yang lalai. Maka, setiap napas adalah kesempatan untuk memilih arah yang benar.

Dan pada akhirnya, semoga langkah kita di dunia berakhir di taman keabadian, di bawah naungan kasih Allah, bersama orang-orang yang beriman.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement