Surau.co. Setiap manusia pernah merenung, “Ke mana kita setelah mati?” Pertanyaan itu kadang datang saat menghadiri pemakaman, melihat kepergian orang terdekat, atau sekadar saat malam hening menelusup ke hati. Dalam Islam, keyakinan terhadap kehidupan setelah mati bukan sekadar doktrin teologis, melainkan fondasi moral dan spiritual yang membentuk arah hidup manusia.
Syaikh Muhammad al-Fudhali dalam Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi al-Kalām menegaskan bahwa beriman kepada hari akhir adalah salah satu pilar utama dalam akidah. Dalam salah satu baitnya, beliau menulis:
وَبِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ أَيْقِنْ وَآمِنَا
“Dan yakinlah serta berimanlah kepada kebangkitan setelah kematian.”
Keyakinan ini bukan hanya pengakuan lisan, tetapi kesadaran mendalam bahwa hidup di dunia hanyalah satu bab dari kisah panjang menuju keabadian. Melalui iman kepada hari akhir, manusia diingatkan bahwa setiap amal, sekecil apa pun, akan dimintai pertanggungjawaban.
Hakikat Hari Akhir: Kebenaran yang Tak Terelakkan
Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa hari akhir adalah kenyataan yang pasti terjadi. Allah berfirman:
إِنَّ السَّاعَةَ لَآتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا
“Sesungguhnya hari Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya.” (QS. Ghāfir: 59)
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk meragukan hari kebangkitan. Kepastian itu menjadi pengingat bahwa dunia bukan tempat tinggal abadi, melainkan ladang amal untuk mempersiapkan kehidupan setelahnya.
Iman kepada hari akhir membentuk kesadaran eksistensial. Ia menuntun manusia untuk hidup lebih bermakna, menahan diri dari kezaliman, dan memperbanyak kebaikan. Sebab, semua amal akan kembali kepada dirinya di hari pembalasan.
Dalam Kifāyatul ‘Awām, Syaikh al-Fudhali menjelaskan bahwa iman kepada hari akhir mencakup kepercayaan terhadap semua peristiwa yang terjadi setelah kematian: alam kubur, kebangkitan, hisab, mizan (timbangan amal), shirath (jembatan), surga, dan neraka.
Beliau menulis:
وَبِالْبَعْثِ وَالنُّشُورِ وَالْحِسَابِ وَالْجَنَّةِ وَالنَّارِ آمِنْ
“Berimanlah kepada kebangkitan, pengumpulan (manusia), perhitungan amal, surga, dan neraka.”
Keterangan ini menunjukkan bahwa keimanan terhadap hari akhir bersifat menyeluruh. Tidak cukup hanya mengakui bahwa manusia akan mati, tetapi juga meyakini seluruh proses setelah kematian sebagai bagian dari keadilan dan kebijaksanaan Allah.
Alam Kubur: Gerbang Pertama Setelah Dunia
Bagi manusia modern yang sering berpikir rasional, kematian tampak sebagai akhir segalanya. Namun dalam Islam, kematian hanyalah pintu menuju kehidupan berikutnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
الْقَبْرُ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ
“Kubur adalah permulaan dari tahapan akhirat.” (HR. Tirmidzi)
Artinya, setelah ruh terpisah dari jasad, seseorang akan memasuki fase baru yang disebut barzakh — ruang antara dunia dan akhirat. Di sana, amal perbuatan manusia mulai menampakkan buahnya.
Dalam Kifāyatul ‘Awām, Syaikh al-Fudhali juga menyinggung tentang datangnya dua malaikat, Munkar dan Nakir, yang bertugas menanyai manusia di alam kubur. Mereka akan bertanya tentang tiga hal: Tuhan, nabi, dan agama.
Orang beriman akan menjawab dengan tenang karena keimanannya telah tertanam dalam hati, bukan sekadar hafalan lisan. Sebaliknya, orang yang lalai akan kebingungan menjawab, karena imannya tak pernah berakar dalam kehidupan nyata.
Hari Kebangkitan: Saat Semua Rahasia Terbuka
Pada hari kebangkitan, seluruh manusia akan dihidupkan kembali dari kubur. Allah berfirman:
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُمْ مِّنَ الْأَجْدَاثِ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يَنسِلُونَ
“Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dari kuburnya dengan cepat menuju kepada Tuhan mereka.” (QS. Yā Sīn: 51)
Pemandangan ini menggambarkan betapa besar kuasa Allah. Manusia yang selama hidup merasa kuat, di hari itu tak lagi memiliki daya. Semua berdiri sama di hadapan Sang Pencipta, menanti keadilan-Nya ditegakkan.
Keyakinan terhadap hari kebangkitan juga menjadi bukti bahwa keadilan Allah tidak berhenti di dunia. Banyak orang zalim mungkin hidup makmur, sementara orang baik hidup dalam kesulitan. Namun di akhirat, semua akan dibalas dengan adil.
Kesadaran ini mengajarkan manusia untuk tidak putus asa dalam kebaikan dan tidak sombong dalam kenikmatan. Karena setiap amal, sekecil apa pun, akan kembali kepada pelakunya.
Hisab dan Mizan: Saat Amal Dihitung dan Ditimbang
Setelah kebangkitan, tibalah saat hisab, yaitu perhitungan amal manusia. Allah berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ، وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)
Ayat ini menjadi simbol keadilan yang absolut. Tidak ada amal yang terlewat, tidak ada perbuatan yang tersembunyi. Semua tercatat dan akan dihadirkan di hadapan manusia.
Mizan atau timbangan amal menjadi simbol keadilan yang sangat indah. Amal baik dan amal buruk akan ditimbang, dan hasilnya ditentukan bukan oleh besar kecilnya perbuatan, tetapi oleh keikhlasan hati.
Dalam kitab Kifāyatul ‘Awām, dijelaskan bahwa Allah akan menampakkan amal-amal manusia dalam bentuk nyata. Amal saleh akan tampak indah dan bercahaya, sedangkan amal buruk tampak gelap dan menyesakkan.
Surga dan Neraka: Akhir dari Perjalanan Panjang
Allah menggambarkan surga sebagai tempat penuh kedamaian:
وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke surga berombong-rombongan.” (QS. Az-Zumar: 73)
Di surga, tidak ada duka, tidak ada lelah, tidak ada kehilangan. Hanya ketenangan abadi di bawah naungan kasih Allah. Dalam pandangan Syaikh al-Fudhali, surga bukan sekadar ganjaran, tetapi juga manifestasi cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bersabar.
Sebaliknya, neraka menjadi tempat bagi orang-orang yang ingkar. Namun, keadilan Allah tetap mengandung kasih. Azab yang diberikan bukan karena kebencian, melainkan sebagai konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran yang telah jelas.
Kesadaran ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membangunkan manusia dari kelalaian. Seperti halnya seorang guru yang menegur muridnya agar tidak salah arah, Allah memberi peringatan agar manusia kembali ke jalan yang benar.
Relevansi Iman kepada Hari Akhir dalam Kehidupan Modern
Keyakinan kepada hari akhir menumbuhkan kesadaran etis yang mendalam. Manusia yang yakin bahwa setiap amal akan diperhitungkan tidak akan mudah berbuat zalim. Ia akan berhati-hati dalam berbicara, jujur dalam bekerja, dan adil dalam memperlakukan sesama.
Dalam masyarakat yang sering kehilangan arah moral, iman kepada hari akhir menjadi pengingat agar manusia kembali kepada nilai-nilai spiritual yang sejati. Dunia boleh maju, tetapi nurani tidak boleh mati.
Keimanan kepada kehidupan setelah mati juga menumbuhkan ketenangan batin. Orang beriman tidak takut kehilangan dunia, karena ia tahu bahwa ada kehidupan yang lebih kekal menantinya. Ia mampu menerima musibah dengan sabar dan menjalani hidup dengan harapan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Hadits ini bukan seruan untuk menyerah, melainkan ajakan untuk memandang dunia secara proporsional. Dunia hanyalah tempat singgah, bukan tempat menetap.
Penutup
Kesadaran akan hari akhir membuat hidup menjadi lebih bermakna. Ia menuntun manusia untuk tidak terjebak dalam kesenangan sesaat dan untuk mempersiapkan bekal menuju kehidupan sejati.
Seperti kata Syaikh al-Fudhali, iman kepada hari akhir bukan hanya percaya akan datangnya kematian, tetapi juga kesiapan hati untuk menghadapinya dengan amal yang tulus.
Kematian bukan akhir segalanya, melainkan awal perjalanan menuju pertemuan dengan Allah. Dan di sanalah, setiap amal, setiap doa, dan setiap tetes air mata akan menemukan balasannya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
