SURAU.CO – Seperti mengenai banyak hal yang lain, kalau kita berbicara tentang kiai dan pesantren, kita harus membuat kategori.
pembeda: kiai sekarang atau kiai dulu; pesantren sekarang atau pesantren dlulu. Soalnya memang terdapat banyak
perbedaan antara kiai sekarang dan kiai zaman dulu. Demikian pula dengan pesantren; apalagi sekarang ini banyak pesantren baru yang sama sekali berbeda, bahkan sering “ideologi”-nya bertolak belakang dengan pesantren zaman dulu.
Mengamalkan Ilmu yang Diperoleh
Kiai zaman dulu -biasanya “pemilik” pesantren- rata-rata
orang yang di samping memiliki ilmu agama lebih dari kebanyakan masyarakatnya, juga memiliki kecintaan yang mendalam kepada tanah air dan umatnya.
Para kiai zaman dulu membangun pondok pesantren mereka sendiri untuk menampung santri yang menimba ilmu darinya. Para santri bukan hanya diberi ilmu agama, melainkan dididik untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Menurut mereka, ilmu tidak ada gunanya bila tidak
diamalkan.
Kitab-kitab kuning yang diajarkan para kiai kepada santrinya umumnya merupakan penjabaran dari kitab suci Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW menurut pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham yang mengajarkan Islam rahmatan lil’aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal I’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem.
Para santri juga dididik mencintai tanah air mereka. Hubbul wathan minal iimaan, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman”, merupakan slogan di kalangan kiai dan pesantren tempo doeloe. Pada zaman penjajahan, banyak kiai yang menjadikan pesantrennya sebagai markas perlawanan terhadap penjajah.
Jihad Membela Tanah Air
Banyak kiai yang gugur dan menjadi penghuni penjara pemerintah kolonialis dalam rangka membela Tanah Air. Dengan berbagai dalil “kitab kuning”, para kiai mengobarkan semangat rakyat melawan penjajah. Fatwa jihad melawan penjajah oleh Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, misalnya, telah mengobarkan semangat arek-arek Jawa Timur untuk melawan Sekutu di Surabaya.
Kiai Subki dari Parakan, Temanggung, dengan bambu runcingnya yang terkenal itu, menggembleng mental pejuang-pejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi dari Lasem mengutus beberapa santrinya untuk memata-matai Belanda yang konon mendarat di daerah Sayung.
Itu sekadar contoh bagaimana para kiai pesantren dulu
mengajar, mendidik, dan mencontohkan sikap patriotisme. Pada zaman kebangkitan, para kiai pesantren mendirikan organisasi yang mereka namakan Nahdlatul Wathan, yang artinya Kebangkitan Tanah Air.
Pemerintah mengangkat beberapa kiai yang ketahuan berjasa menjadi pahlawan nasional.
Mempertahankan Keislaman yang Rahmatan Lil allamin
Bahkan Mohammad Asad Syihab, wartawan Arab yang pada
Di Kuwait, penulis mengarang buku tentang Mohammad Hasyim Asy’ari yang berjudul Al-‘Allaamah Mohammad Hasyim Asy’ari Wadli’u Labinati Istiqlaali Indonesia. Terjemahan harfiahnya: “Mahakiai Mohammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia”.
Para kiai “model dulu” selalu menanamkan kepada santrinya
bahwa mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam;
bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia. Orang
Islam yang kebetulan di Indonesia boleh jadi tidak peduli apa pun yang menimpa Indonesia, tapi orang Indonesia yang beragama Islam tidak bisa tidak memikirkan dan berjuang bagi kebaikan Indonesia. Kecuali mungkin orang yang terbalik akalnya.
Alhamdulillah, menurut pengamatan saya, minimal para kiai dan pesantren pelanjut generasi sebelumnya masih tetap mempertahankan pemahaman tentang Islam rahmatan lil’aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal i’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta memiliki rasa keindonesiaan yang tebal seperti kiai dan pesantren zaman dulu.
Sebagian orang yang mengaku muslim akhir-akhir ini banyak menunjukkan sikap kasar dan bengis. Munculnya ustad-ustad yang dari raut muka hingga tindakan dan ucapannya membuat orang bergidik. Ada jemaah yang tampak bangga dengan keangkerannya.
Tantangan Kiai dan Pesantren
Mereka melegalkan tindakan merusak dan menganggapnya jihad atau amar makruf nahi mungkar. Bahkan ada yang tega meledakkan bom di tengah-tengah keramaian. Kalau yang melakukan kekerasan dan perusakan itu bukan orang Indonesia, mungkin kita bisa mengatakan itu pihak yang iri dan dengki kepada kita. Tapi, kalau itu orang Indonesia sendiri, kita jadi bingung.
Kalau jemaah yang merupakan sekadar anak buah, kita masih bisa mengerti. Tapi mereka yang merupakan imam dan ustad itu masak tidak mengenal pemimpin agung panutan umat Islam Nabi Muhammad SAW yang bassam, wajahnya tersenyum menyenangkan, yang bicaranya lembut, yang sikapnya santun, yang penuh kasih sayang, yang bergaul dengan penuh adab, yang beramar-makruf dengan baik dan bernahi-mungkar tidak dengan mungkar, yang berjihad dengan aturan dan etika?
Inilah yang merupakan tantangan kiai dan pesantren saat ini.
Mereka -yang memiliki sanad, mata rantai keislaman sampai
Kita perlu meneladani akhlak Rasulullah SAW dan menjadi kiai yang ikhlas.
dan pesantren dulu untuk mengenalkan kerahmatan Islam dan kesantunan serta kasih sayang Nabi Muhammad SAW.
Kita perlu memilih dengan bijak pendidik dan sumber ilmu bagi generasi kita agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berakhlak mulia. A. Mustofa Bisri – Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Leteh, Rembang. (Hasyim Asy’ari)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
