Kisah
Beranda » Berita » 5 Tokoh Perempuan dalam Al-Qur’an yang Penuh Pelajaran

5 Tokoh Perempuan dalam Al-Qur’an yang Penuh Pelajaran

Ilustrasi 5 tokoh perempuan dalam Al-Qur'an yang penuh pelajaran. Foto: Perplexity

SURAU.CO. Pernahkah kamu berpikir, mengapa kisah perempuan begitu sering muncul dalam Al-Qur’an? Padahal, kitab suci ini turun di masa ketika suara perempuan nyaris tak terdengar dalam sejarah. Tapi justru di tengah budaya patriarki Arab, Allah memilih menghadirkan kisah perempuan seperti Hawa, Asiyah, Sarah, Maryam, dan banyak perempuan lain.

Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci yang berisi hukum dan petunjuk ibadah. Di dalamnya tersimpan banyak kisah yang sarat hikmah, termasuk kisah perempuan. Melalui narasi yang lembut dan penuh makna, Allah menempatkan perempuan bukan sebagai pelengkap sejarah, tetapi sebagai subjek utama yang berperan dalam perubahan besar umat manusia. Dari Hawa hingga Maryam, dari istri Nuh hingga istri Firaun, setiap tokoh perempuan dalam Al-Qur’an menjadi cermin kehidupan, tentang iman, cinta, perjuangan, dan ujian.

Hawa: Tentang Kesetaraan dan Tanggung Jawab

Kisah Hawa menjadi titik mula sejarah manusia. Al-Qur’an menggambarkan, bahwa Allah menciptakan Hawa dari diri Adam, bukan dari kepalanya untuk memimpin, bukan pula dari kakinya untuk diinjak, tapi dari sisinya, agar mereka saling mendampingi. “Untuk menenteramkan jiwamu,” begitu jawaban Hawa ketika Adam bertanya tentang kehadirannya. Dari dialog singkat itu, lahirlah makna mendalam tentang hubungan yang saling melengkapi, bukan mendominasi.

Namun, kisah Hawa juga mengandung pelajaran tentang tanggung jawab. Allah menguji Hawa dan Adam di surga dengan tipu daya Iblis. Banyak orang salah paham dengan menuduh Hawa sebagai penyebab manusia diusir dari surga dan jatuhnya manusia ke bumi. Padahal Al-Qur’an menegaskan bahwa keduanya sama-sama tergoda oleh Iblis. Maka, keduanya sama-sama bertanggung jawab. Tidak ada pihak yang lebih bersalah, tidak ada yang lebih lemah.

Dari kisah Hawa dalam Al-Qur’an, menggambarkan keadilan. Tidak membebankan kesalahan hanya pada perempuan, seperti banyak mitos kuno yang menempatkan wanita sebagai sumber dosa.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Pelajaran dari Hawa sederhana tapi dalam, bahwa hubungan yang sehat lahir dari kemitraan, bukan dominasi. Dan ketika keduanya salah, mereka sama-sama belajar memohon ampun, sama-sama tumbuh dalam cinta dan penyesalan.

Ketika mereka menyadari kekeliruan, Adam dan Hawa berdoa dengan hati tulus. Doa itu menjadi simbol taubat dan kasih sayang antara manusia dan Tuhannya. Bahwa setiap insan berhak atas kesempatan kedua.

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A‘raf: 23)

Istri Nuh: Cermin Kekerasan Hati

Tak semua perempuan dalam Al-Qur’an berakhir bahagia. Istri Nabi Nuh justru menjadi simbol keras kepala yang tragis. Ia hidup di bawah bimbingan seorang nabi, tapi memilih jalan sebaliknya. Al-Qur’an menyebutnya bersama istri Nabi Luth sebagai perumpamaan bagi orang kafir. Mereka hidup di bawah naungan dua laki-laki saleh, namun memilih menolak kebenaran.

Bayangkan: suaminya menghabiskan ratusan tahun berdakwah, menasihati kaumnya agar menyembah Allah. Tapi sang istri malah ikut menertawakan. Saat Nuh membuat bahtera di padang pasir, ia mungkin yang paling cerewet mengejek, dan menuduh Nuh gila. “Perahu di gurun? Serius, bang?”

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Namun, ketika banjir besar benar-benar datang, air menelan semua kesombongan. Bahtera yang dulu diejek menjadi satu-satunya tempat selamat. Istri Nabi Nuh yang menolak naik, tenggelam bersama orang-orang kafir.

Kisah ini mengajarkan satu hal penting, bahwa iman tak bisa diwariskan. Dekat dengan orang saleh tak otomatis membuat kita ikut saleh. Keyakinan adalah pilihan pribadi. Al-Qur’an mengajarkan bahwa iman adalah keputusan hati, bukan warisan keluarga.

Sarah: Tawa Seorang Perempuan Tua

Sarah, istri Nabi Ibrahim, adalah sosok yang lembut, penuh humor, dan beriman teguh. Dalam usia senja, ketika kulit mulai keriput dan rambut memutih, Sarah masih punya satu hal yang tak pudar yaitu senyum. Di usia tua, ketika tubuh mulai renta, ia tetap menjadi saksi keajaiban.

Suatu hari, malaikat datang membawa kabar gembira, bahwa ia akan melahirkan seorang anak bernama Ishaq. Padahal usianya sudah lanjut, dan suaminya, Nabi Ibrahim, juga sudah tua. Sarah tertawa, bukan karena tak percaya, tapi karena terkejut dan bahagia.

Sarah heran: “Apakah aku akan melahirkan, padahal aku sudah tua, dan suamiku pun sudah lanjut usia?” Namun malaikat menjawab, “Apakah kamu heran terhadap ketetapan Allah? Rahmat dan berkah Allah atasmu, wahai ahlul bait.”

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Tawa Sarah menjadi simbol optimisme, bahwa doa tak pernah kadaluarsa. Ia mengajarkan kita bahwa doa tidak mengenal batas waktu. Keajaiban selalu datang bagi hati yang percaya. Ketika kita ikhlas, Allah bisa menumbuhkan kehidupan dari tempat yang kita kira sudah kering.

Asiyah: Iman di Istana Kafir

Bayangkan hidup di istana termewah di dunia, tapi justru dikelilingi kesesatan. Itulah Asiyah, istri Firaun, penguasa yang mengaku dirinya Tuhan. Meski hidup di puncak kekuasaan, Asiyah tidak silau. Ia melihat kebenaran dalam dakwah Nabi Musa dan beriman secara diam-diam. Nama Asiyah menjadi lambang keberanian perempuan beriman.

Ketika Firaun tahu, ia menyiksa Asiyah dengan kejam. Tapi dari bibir wanita itu keluar doa yang paling indah dan abadi. “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di surga, dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya.” (QS. At-Tahrim: 11)

Doanya menjadi monumen keabadian tentang keteguhan iman seorang perempuan di tengah tirani kekuasaan. Ia memilih kehilangan dunia demi memperoleh surga. Asiyah menunjukkan bahwa keberanian sejati bukan terletak pada kekuatan fisik, melainkan pada keyakinan yang tak tergoyahkan.

Maryam: Kesucian yang Menggetarkan Dunia

Dan tentu, siapa yang tak kenal Maryam? Namanya menjadi satu-satunya perempuan yang diabadikan sebagai nama surah dalam Al-Qur’an. Ia adalah lambang kesucian, keteguhan, dan kepasrahan.

Maryam binti Imran adalah sosok yang paling banyak dipuji dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menggambarkan Maryam sebagai wanita suci yang senantiasa beribadah dan menjaga kehormatannya. Ketika malaikat Jibril datang memberi kabar bahwa ia akan melahirkan seorang anak tanpa suami, Maryam gemetar ketakutan. Tetapi Allah meneguhkan hatinya, dan lahirlah Isa sebagai salah satu mukjizat terbesar dalam sejarah manusia.

Maryam harus menghadapi ujian besar dengan mengandung tanpa suami. Ia dihujat, difitnah, bahkan diasingkan. Tapi di tengah tangis dan kesepian, Allah menenangkannya, menumbuhkan pohon kurma, dan mengalirkan air di bawah kakinya.

Maryam mengajarkan bahwa ujian tidak selalu berarti hukuman. Kadang, ujian adalah cara Allah meninggikan derajat seseorang. Ia menanggung cibiran, fitnah, dan kesendirian, tetapi tetap berserah diri kepada Allah.

Kisah Mereka, Cermin untuk Kita

Kisah-kisah perempuan dalam Al-Qur’an bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah cermin bagi perempuan masa kini yang hidup di tengah arus modernitas dan tantangan nilai.

Hawa mengajarkan tentang kesetaraan dan tanggung jawab bersama. Istri Nuh mengingatkan bahaya kesombongan. Sarah, istri Ibrahim memberi harapan bahwa tidak ada doa yang sia-sia. Asiyah memperlihatkan keteguhan iman dan keberanian melawan penindasan. Maryam menjadi teladan kesucian dan keteguhan hati.

Mereka hidup di zaman berbeda, tapi pesannya sama, bahwa perempuan adalah tiang peradaban. Ketika imannya teguh, dunia jadi teduh. Tapi ketika imannya goyah, manusia kehilangan arah.

Dalam setiap kisah itu, Allah mengangkat martabat perempuan sebagai makhluk yang berpikir, beriman, dan berjuang. Bukan objek, melainkan subjek kehidupan. Al-Qur’an menulis sejarah perempuan bukan untuk membatasi, melainkan untuk memuliakan.

Kini, tantangan perempuan modern bukan lagi pada kekuasaan Firaun atau banjir besar seperti di zaman Nuh, melainkan pada arus budaya yang mengikis nilai-nilai kemuliaan. Di tengah gemerlap dunia, banyak perempuan kehilangan jati diri karena terjebak pada standar kecantikan dan kebebasan semu. Padahal, kemuliaan sejati tidak diukur dari pakaian, jabatan, atau popularitas, tetapi dari ketulusan hati dan ketaatan kepada Allah.

Iman Adalah Rumah, Bukan Hiasan

Kisah-kisah perempuan dalam Al-Qur’an mengajarkan bahwa iman tidak mengenal jenis kelamin, usia, atau status sosial. Di mata Allah, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Kisah perempuan dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa iman bukan sekadar atribut, tapi rumah tempat jiwa beristirahat. Entah kamu seorang ibu, pekerja, istri, mahasiswi, atau siapa pun, selama hatimu bertaut pada Allah, kamu sedang menulis kisah baru dalam lembar sejarah iman.

Maka, jadilah seperti Sarah yang tetap tersenyum di usia senja, seperti Maryam yang menjaga kehormatan di tengah fitnah, dan seperti Asiyah yang berani memilih surga daripada kemewahan dunia. Karena pada akhirnya, kisah mereka bukan hanya tentang masa lalu, tetapi tentang kita, perempuan dan laki-laki yang sedang menulis kisah iman di zaman ini.

Mungkin kamu tidak akan seagung Maryam, tidak setegar Asiyah, atau setulus Sarah. Tapi setiap perempuan yang berjuang di jalan kebaikan hari ini sedang berjalan di jejak mereka. Jejak yang sama-sama menuju ridha Ilahi.

 

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement