SURAU.CO-Tahiyat awal dan akhir menjadi dua gerbang menuju kesempurnaan sholat. Dalam tahiyat awal dan akhir, seorang muslim menegaskan kembali posisinya sebagai hamba yang hadir penuh kesadaran di hadapan Tuhannya. Setiap gerak, ucapan, dan sikap tubuh pada momen ini menyimpan makna mendalam tentang kehormatan, kerendahan hati, dan kesetiaan spiritual.
Bagi banyak orang, tahiyat sering dianggap sekadar duduk sebelum salam. Padahal, di sanalah seluruh rangkaian ibadah sholat berakhir dengan peneguhan makna. Ucapan salam, pujian, dan shalawat dalam tahiyat bukan hanya ritual, melainkan pernyataan cinta dan penghormatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dari sini, sholat menemukan puncak ketenangannya.
Ketika seseorang menghayati tahiyat, ia seolah sedang duduk di hadapan Sang Pencipta dengan hati yang tunduk. Tatapan batinnya menembus lapisan kesibukan dunia, beralih pada kesadaran bahwa semua waktu kembali kepada Allah. Duduk tahiyat menjadi simbol istirahat jiwa setelah perjalanan panjang dalam setiap rakaat.
Pengalaman spiritual banyak orang menunjukkan bahwa ketenangan sejati justru lahir di saat tahiyat. Momen ini seperti pintu rahmat yang terbuka perlahan, memberikan kesempatan bagi hati untuk berbicara dalam diam. Mereka yang melatih kekhusyukan pada tahiyat sering merasakan sholatnya jauh lebih hidup, lembut, dan berkesan.
Makna Mendalam Tahiyat Awal dan Akhir
Dalam tahiyat awal dan akhir, ada dua dimensi besar yang saling melengkapi. Tahiyat awal menjadi penegasan kesetiaan seorang hamba untuk melanjutkan perjalanan sholatnya dengan penuh kesadaran. Sementara tahiyat akhir adalah penyerahan total — seolah berkata, “Ya Allah, ibadahku telah sampai pada-Mu.”
Gerakan duduk pada tahiyat mengajarkan keseimbangan. Ia tidak berdiri tegak seperti saat qiyam, dan tidak sujud total seperti saat tunduk. Di posisi itulah seorang muslim menempatkan diri dengan rendah hati, tetapi tetap menjaga kehormatan. Duduk itu adalah simbol adab di hadapan Allah.
Dalam sejarah Islam, banyak ulama menggambarkan tahiyat sebagai percakapan batin. Imam Al-Ghazali menulis bahwa ketika lidah mengucap salam, hati seharusnya ikut menyapa malaikat yang mencatat amal. Shalawat diucapkan dengan rasa rindu, bukan sekadar hafalan. Di situlah letak keindahan tersembunyi dari tahiyat.
Tahiyat juga menjadi jembatan antara dunia dan akhirat. Saat seorang muslim mengucap “Assalamu ‘alaikum,” ia bukan hanya menutup ibadah, tapi juga membawa kedamaian bagi sesama. Salam itu menjalar ke alam, menjadi tanda bahwa ibadah telah mengubah dirinya menjadi lebih lembut dan penuh kasih.
Menjadikan Tahiyat Sebagai Gerbang Kesempurnaan Sholat
Untuk menjadikan tahiyat awal dan akhir benar-benar bermakna, seseorang perlu menghadirkannya dengan kesadaran penuh. Duduklah dengan hati yang tenang, pandanglah bumi sebagai saksi, dan ucapkan setiap lafaz dengan kesungguhan. Ketika tahiyat dilakukan dengan penghayatan, seluruh sholat berubah menjadi perjalanan ruhani yang utuh.
Banyak yang merasakan bahwa tahiyat adalah cermin ketulusan ibadah. Mereka yang tergesa-gesa di bagian ini sering kehilangan rasa dalam sholat. Namun, mereka yang tenang dan memahami maknanya justru menemukan kedamaian luar biasa. Dari tahiyat, hati belajar bagaimana berbicara lembut dengan Tuhannya.
Tahiyat juga mengajarkan disiplin dalam rasa. Ucapan yang keluar bukan hanya formalitas, melainkan hasil latihan batin yang panjang. Seorang mukmin yang mengulang tahiyat dengan penuh makna setiap hari sejatinya sedang membangun komunikasi yang konsisten dengan Allah.
Dengan begitu, tahiyat menjadi lebih dari sekadar rukun sholat. Ia menjelma menjadi titik pertemuan antara doa, ketenangan, dan cinta ilahi. Dari sinilah sholat tidak lagi terasa sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan jiwa yang menenangkan. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
