Surau.co. Dalam perjalanan hidup manusia, selalu ada satu hal yang menjadi kebutuhan pokok jiwa: petunjuk. Sejak awal penciptaan, manusia bukan hanya diberi akal untuk berpikir, tetapi juga wahyu untuk menuntun arah. Wahyu itu kemudian terangkum dalam kitab-kitab suci yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya, agar manusia mengenal siapa dirinya dan ke mana ia akan kembali. Kitab-kitab ini bukan sekadar teks sejarah, tetapi cahaya abadi yang menerangi hati di setiap zaman.
Dalam tradisi Islam, keyakinan terhadap kitab-kitab Allah termasuk bagian dari rukun iman yang keenam. Kitab Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi al-Kalām karya Syaikh Muhammad al-Fudhali menjelaskan secara ringkas namun mendalam tentang iman kepada kitab-kitab Allah sebagai bagian dari fondasi akidah yang sahih. Di dalamnya, dijelaskan bahwa setiap Muslim wajib meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab kepada rasul-rasul-Nya sebagai petunjuk dan rahmat bagi umat manusia.
Wahyu: Cahaya yang Tak Pernah Padam
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nur [24]: 35)
Ayat ini mengandung makna mendalam: segala petunjuk, segala kebenaran, dan segala kebaikan bersumber dari cahaya Allah. Dalam konteks ini, kitab-kitab suci adalah manifestasi dari cahaya itu—membimbing hati manusia dari kegelapan menuju terang iman.
Kitab Kifayatul Awam menjelaskan bahwa iman kepada kitab berarti mempercayai dengan sepenuh hati bahwa Allah benar-benar menurunkan wahyu kepada para rasul. Wahyu itu berupa kalam Allah yang diturunkan untuk menjadi pedoman hidup. Ada kitab yang Allah turunkan dalam bentuk lembaran (shuhuf) seperti kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, dan ada pula yang dalam bentuk kitab sempurna seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an.
Dalam salah satu baitnya, Syaikh al-Fudhali menulis:
وَآمِنْ بِكُتْبِ اللَّهِ أَرْبَعَةٍ ** تَوْرَاةِ إِنْجِيلٍ زَبُورٍ وَالْقُرْآنِ
“Berimanlah kepada empat kitab Allah: Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an.”
Bait ini menggambarkan dengan ringkas namun tegas bahwa keimanan seorang Muslim terhadap kitab-kitab Allah adalah mutlak, meskipun tidak semua isi kitab terdahulu sampai kepada kita secara lengkap. Keyakinan ini adalah wujud penghormatan kepada wahyu yang menjadi rahmat bagi semesta.
Taurat: Kitab Syariat bagi Bani Israil
Kitab Taurat adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kitab ini membawa hukum dan pedoman hidup bagi Bani Israil. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 44)
Ayat ini menegaskan bahwa Taurat merupakan sumber cahaya dan pedoman moral bagi umat terdahulu. Namun seiring berjalannya waktu, banyak ajaran Taurat yang diselewengkan oleh sebagian manusia. Hal ini menjadi pengingat bagi kita, bahwa wahyu bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dijaga dan diamalkan.
Kitab Kifayatul Awam mengajarkan bahwa meski umat Islam tidak terikat dengan hukum-hukum Taurat, kita tetap wajib beriman bahwa kitab tersebut adalah benar-benar wahyu Allah. Dengan keyakinan itu, kita belajar menghormati sejarah kenabian dan kesinambungan risalah.
Zabur: Nyanyian Ketulusan Nabi Daud
Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud a.s. dan dikenal sebagai kumpulan doa, zikir, serta pujian kepada Allah. Firman Allah:
وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
“Dan Kami telah memberikan Zabur kepada Daud.” (QS. Al-Isra [17]: 55)
Zabur menjadi simbol ketulusan ibadah dan kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya. Ia tidak hanya berisi hukum, tetapi juga ungkapan cinta dan pengagungan kepada Sang Pencipta. Dalam hal ini, Zabur mengajarkan bahwa spiritualitas adalah inti dari hubungan manusia dengan Allah.
Syaikh al-Fudhali dalam Kifayatul Awam menekankan bahwa wahyu-wahyu terdahulu selalu memiliki ruh yang sama: menyeru manusia agar mentauhidkan Allah dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Perbedaan bentuk dan bahasa hanyalah wasilah untuk menjangkau hati manusia di setiap masa.
Injil: Kabar Gembira dan Rahmat bagi Pengikut Isa
Kitab Injil diberikan kepada Nabi Isa a.s. sebagai penyempurna hukum Taurat dan kabar gembira bagi kaum Bani Israil. Allah berfirman:
وَقَفَّيْنَا عَلَى آثَارِهِمْ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ
“Dan Kami iringkan jejak mereka dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat; dan Kami telah memberikan kepadanya Injil yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 46)
Dalam Injil, terdapat ajaran kasih, kelembutan, dan kesabaran yang menjadi pondasi moral bagi manusia. Namun, sebagaimana Taurat, banyak ajaran Injil yang mengalami perubahan oleh tangan manusia. Di sinilah keistimewaan Al-Qur’an sebagai wahyu terakhir—yang terjaga kemurniannya hingga akhir zaman.
Al-Qur’an: Penutup Segala Wahyu
Al-Qur’an adalah kitab terakhir dan paling sempurna, diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk seluruh umat manusia. Firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)
Berbeda dari kitab-kitab sebelumnya, Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah. Ia bukan hanya pedoman hukum, tetapi juga panduan akhlak, ilmu, dan spiritualitas. Dalam Kifayatul Awam, disebutkan bahwa seluruh umat Islam wajib mengimani Al-Qur’an secara keseluruhan: baik lafaz, makna, maupun hukum-hukumnya.
Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca secara ritual, tetapi untuk dihayati secara eksistensial. Di sinilah letak keajaibannya—ia berbicara kepada setiap generasi, memberi makna baru bagi setiap pembaca yang mencari kebenaran.
Relevansi Kitab-Kitab Allah dalam Kehidupan Modern
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang merasa kehilangan arah. Ilmu pengetahuan maju pesat, teknologi menguasai dunia, tetapi hati manusia sering kosong. Di sinilah pentingnya kembali kepada kitab-kitab Allah. Kitab-kitab suci bukan hanya catatan masa lalu, melainkan sumber nilai yang membentuk nurani dan peradaban.
Iman kepada kitab-kitab Allah mengajarkan kita untuk menghargai kebenaran universal. Kita belajar dari Taurat tentang hukum, dari Zabur tentang ketulusan, dari Injil tentang kasih, dan dari Al-Qur’an tentang kesempurnaan. Semua ini menjadi bekal spiritual agar manusia tidak kehilangan arah di tengah gemerlap dunia.
Syaikh Muhammad al-Fudhali menjelaskan bahwa siapa pun yang beriman kepada kitab Allah akan merasakan cahaya di hatinya, karena wahyu adalah cahaya yang menuntun langkah.
Dalam bahasa beliau:
فَالإِيمَانُ بِكُتُبِ اللهِ نُورٌ فِي القَلْبِ، وَسَبَبٌ لِلهِدَايَةِ وَالرَّحْمَةِ
“Iman kepada kitab-kitab Allah adalah cahaya di hati, dan sebab datangnya petunjuk serta rahmat.”
Penutup
Di tengah dunia yang penuh kebisingan dan kekacauan makna, kitab-kitab Allah hadir sebagai lentera yang tak pernah padam. Setiap ayatnya mengandung cinta, setiap perintahnya mengandung hikmah. Jika kita membuka hati, kita akan merasakan bahwa wahyu bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dihidupi.
Iman kepada kitab-kitab Allah bukan sekadar pengakuan di lisan, tetapi kesadaran di jiwa bahwa segala kebenaran bersumber dari-Nya. Ketika manusia menjadikan wahyu sebagai cermin hidup, maka ia akan menemukan arah, ketenangan, dan cahaya.
Seperti doa para pecinta Al-Qur’an:
اللهم اجعل القرآن ربيع قلوبنا، ونور صدورنا، وجلاء أحزاننا، وذهاب همومنا
“Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyejuk hati kami, cahaya dada kami, penghapus kesedihan kami, dan pengusir kegelisahan kami.”
Dan di situlah makna sejati hidup seorang mukmin: menjadi cahaya kecil yang bersinar dari Cahaya-Nya yang Agung.
*Gerwin Satria N
Pegiat litersi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
