Khazanah
Beranda » Berita » Manusia Pilihan: Mengenal Sifat Jaiz bagi Rasul dari Kitab Kifayatul Awam

Manusia Pilihan: Mengenal Sifat Jaiz bagi Rasul dari Kitab Kifayatul Awam

ilustrasi sifat jaiz bagi rasul dalam Kifayatul Awam
Ilustrasi realistik-filosofis seorang manusia berjalan di padang luas dengan cahaya lembut dari langit, menggambarkan keseimbangan antara kemanusiaan dan spiritualitas Nabi.

Surau.co.Di antara hal paling indah dalam mengenal para Rasul adalah memahami keseimbangan antara dua sisi dalam diri mereka: sisi ketuhanan yang tinggi karena menerima wahyu, dan sisi kemanusiaan yang nyata karena hidup, lapar, lelah, serta berduka seperti kita.

Kitab Kifayatul Awam fi ‘Ilmil Kalam karya Syaikh Muhammad al-Fudhali menjelaskan bahwa para Rasul memiliki satu sifat yang disebut sifat jaiz. Sifat ini menunjukkan bahwa Rasul, meskipun maksum (terjaga dari dosa), tetap manusia biasa dalam perkara-perkara duniawi. Mereka bisa lapar, sakit, sedih, bahagia, bahkan wafat. Inilah keseimbangan yang menjadikan kenabian terasa dekat dengan kehidupan manusia.

Syaikh al-Fudhali menerangkan bahwa:
وَالْجَائِزُ فِي حَقِّهِمْ أَعْرَاضٌ بَشَرِيَّةٌ لَا تَخُلُّ بِالْبَلَاغَةِ
“Dan yang jaiz bagi mereka adalah hal-hal yang bersifat manusiawi, yang tidak mengurangi kemampuan mereka dalam menyampaikan risalah.”

Artinya, sifat jaiz adalah sifat kemanusiaan yang tidak bertentangan dengan misi kenabian. Rasul boleh mengalami hal-hal duniawi, tetapi tidak akan jatuh dalam perilaku yang menodai tugas sucinya.

Makna Sifat Jaiz bagi Rasul

Dalam ilmu kalam, “jaiz” berarti sesuatu yang boleh atau mungkin terjadi, tanpa menunjukkan keharusan ataupun kemustahilan. Jadi, sifat jaiz bagi Rasul berarti bahwa mereka boleh mengalami hal-hal manusiawi, seperti makan, minum, tidur, menikah, sakit, dan wafat.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kita bisa melihat hal ini dari kehidupan Rasulullah ﷺ sendiri. Beliau pernah lapar hingga mengganjal perutnya dengan batu, pernah berdarah di medan perang, dan pernah menangis di makam putranya, Ibrahim. Namun, semua itu tidak mengurangi sedikit pun kedudukannya sebagai kekasih Allah.

Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ
“Katakanlah (Muhammad): Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Ayat ini adalah pengingat lembut bahwa kemanusiaan Rasul tidak bertentangan dengan kenabiannya. Justru di situlah letak keagungannya: beliau menjadi jembatan antara langit dan bumi, antara wahyu dan manusia.

Kemanusiaan yang Tidak Mengurangi Kemuliaan

Sering kali kita membayangkan Rasul sebagai sosok sempurna yang jauh dari segala penderitaan. Namun kenyataannya, para Nabi adalah orang-orang yang paling diuji. Mereka merasakan beratnya hidup, agar menjadi teladan bagi manusia dalam menghadapi ujian.

Rasulullah ﷺ bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ
“Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang paling mulia setelah mereka.” (HR. Tirmidzi)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ujian itu bukan tanda kelemahan, melainkan bukti cinta Allah. Nabi yang lapar, sedih, atau terluka bukanlah Nabi yang kurang mulia, melainkan Nabi yang diajari untuk mengajarkan sabar kepada umatnya. Sifat jaiz menunjukkan bahwa para Rasul hidup dalam realitas yang sama dengan manusia biasa, tetapi dengan hati yang ditopang wahyu.

Makan, Tidur, dan Sakit: Sisi Kemanusiaan Rasul

Ketika Rasulullah ﷺ makan, beliau melakukannya dengan sederhana. Beliau duduk di lantai, tidak pernah makan dengan rakus, dan selalu mengucap syukur atas makanan yang ada. Sifat jaiz menjadikan beliau contoh nyata bagi manusia dalam menjalani kehidupan duniawi dengan adab dan kesederhanaan.

Sakit juga bagian dari sifat jaiz. Rasulullah ﷺ pernah mengalami demam berat menjelang wafatnya. Namun, dari sakit itu beliau justru mengajarkan umat tentang sabar dan tawakal.

Dalam satu riwayat, ketika ditanya tentang beratnya sakit yang beliau rasakan, Nabi menjawab:
إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ الرَّجُلَانِ مِنْكُمْ
Sesungguhnya aku merasakan sakit seperti sakitnya dua orang di antara kalian.” (HR. Bukhari)

Sakit bukan penghalang bagi kenabian, tetapi bagian dari pendidikan ilahi agar umat belajar menghadapi penderitaan dengan kesabaran. Rasul tidak meminta keistimewaan untuk terbebas dari rasa sakit. Beliau memilih untuk menanggungnya agar bisa memahami penderitaan umatnya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Rasul dan Kematian: Hakikat Hidup yang Pasti

Sifat jaiz juga mencakup kenyataan bahwa Rasul bisa meninggal dunia. Meskipun dimuliakan Allah, para Nabi tetap terikat pada hukum kehidupan dan kematian.

Allah berfirman:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” (QS. Az-Zumar [39]: 30)

Ayat ini bukan sekadar kabar, tetapi juga pelajaran. Rasul wafat agar umat mengerti bahwa keabadian hanyalah milik Allah. Rasul meninggalkan dunia, tetapi risalahnya tetap hidup dalam hati orang-orang beriman.

Syaikh al-Fudhali menjelaskan bahwa kematian Rasul tidak mengurangi derajat kenabiannya, sebab beliau hidup di sisi Allah dengan kemuliaan yang kekal. Sifat jaiz dalam hal ini memperlihatkan betapa manusiawi, namun sekaligus betapa agungnya para Nabi.

Mengapa Rasul Harus Manusia?

Salah satu hikmah besar dari sifat jaiz adalah bahwa Rasul haruslah manusia, bukan malaikat. Jika Rasul malaikat, manusia tidak akan bisa meneladani mereka.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
وَلَوْ جَعَلْنَاهُ مَلَكًا لَّجَعَلْنَاهُ رَجُلًا
“Dan kalau Kami jadikan Rasul itu malaikat, niscaya Kami jadikan dia (berupa) laki-laki.” (QS. Al-An‘ām [6]: 9)

Rasul adalah manusia agar umatnya dapat mengikuti langkah-langkahnya. Beliau merasakan lapar agar mengajarkan syukur, menghadapi kesulitan agar mengajarkan sabar, tersenyum di tengah duka agar menebarkan harapan.

Sifat jaiz inilah yang menjembatani kesempurnaan wahyu dengan kenyataan manusia. Dengan menjadi manusia, Rasul memperlihatkan bahwa ajaran Islam bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dijalani dalam setiap napas kehidupan.

Sifat Jaiz dan Makna Keteladanan

Tanpa sifat jaiz, Rasul akan menjadi figur yang terlalu jauh dari jangkauan manusia. Namun dengan sifat jaiz, beliau menjadi sosok yang bisa ditiru dalam kehidupan nyata. Beliau marah tanpa melampaui batas, berduka tanpa kehilangan arah, berjuang tanpa pamrih.

Sifat jaiz memberi pelajaran penting bahwa kesucian tidak berarti tanpa rasa. Justru karena Rasul merasakan kelelahan, penderitaan, dan cinta, teladan beliau menjadi relevan di setiap zaman. Kita tidak diminta menjadi malaikat, tetapi diminta berjuang meniru kemanusiaan yang dimuliakan — kemanusiaan yang terarah kepada Allah.

Ketika kita menangis karena kehilangan, kita sedang mengikuti jejak Rasul yang menangis di pemakaman Ibrahim. Ketika kita menanggung lelah dalam kebaikan, kita sedang meneladani Rasul yang tetap berdiri shalat malam meski kakinya bengkak.

Kifayatul Awam dan Pemahaman Akidah yang Membumi

Syaikh Muhammad al-Fudhali dalam Kifayatul Awam menulis kitab akidah ini bukan hanya untuk para ulama, tapi juga untuk masyarakat awam. Beliau mengajarkan bahwa mengenal sifat Allah dan Rasul adalah fondasi iman. Namun, yang lebih penting adalah memahami maknanya dalam kehidupan.

Dengan memahami sifat jaiz Rasul, kita menyadari bahwa iman tidak hanya tumbuh dari hafalan, tetapi dari pemahaman yang hidup. Rasul bukan tokoh yang jauh di langit, melainkan manusia pilihan yang hidup di bumi dengan kasih sayang ilahi.

Ilmu akidah menjadi lembut dan hangat ketika dipahami melalui kemanusiaan Rasul. Ia bukan lagi ilmu abstrak, tetapi cermin yang memantulkan wajah kita sendiri — manusia yang lemah, tapi punya potensi suci bila mengikuti langkah Nabi.

Sifat Jaiz dan Tantangan Manusia Modern

Dalam dunia modern yang serba cepat dan serba canggih, manusia sering kehilangan arah spiritual. Kita kagum pada kekuatan, kesuksesan, dan citra, tapi lupa bahwa kemanusiaan sejati justru terletak pada kerendahan hati dan empati.

Meneladani sifat jaiz Rasul berarti menerima sisi manusiawi kita dengan bijak. Lelah bukan dosa. Menangis bukan kelemahan. Gagal bukan akhir. Semua itu bagian dari perjalanan spiritual yang justru mendekatkan kita kepada Allah.

Ketika kita sadar bahwa Rasul pun pernah lapar, kita belajar bersyukur. Ketika kita tahu Rasul pun pernah sedih, kita belajar ikhlas. Dan ketika kita tahu Rasul pun wafat, kita belajar bahwa kehidupan ini hanyalah jalan pulang.

Penutup

Rasul adalah manusia pilihan. Mereka bukan malaikat tanpa rasa, tetapi manusia yang seluruh hidupnya diarahkan kepada Allah. Sifat jaiz menjadikan mereka dekat dengan manusia, agar manusia tidak putus asa dalam meneladani kebaikan.

Mereka makan, tidur, dan menangis, tetapi tidak pernah berpaling dari Tuhan. Mereka hidup di bumi, tapi hati mereka selalu di langit.

Ketika kita mengenal sifat jaiz Rasul, kita diajak untuk tidak malu menjadi manusia. Sebab kemanusiaan yang dijaga oleh iman adalah kemuliaan tertinggi. Dari sifat jaiz itu, kita belajar bahwa menjadi manusia tidak berarti jauh dari Allah — justru di situlah peluang untuk mendekat kepada-Nya.

Dan seperti cahaya yang turun perlahan dari langit, teladan para Rasul terus menerangi hati manusia hingga kini.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement