Surau.co. Kejujuran adalah fondasi dari keimanan. Tidak ada keimanan tanpa kejujuran, sebagaimana tidak ada cahaya tanpa matahari. Dalam konteks kenabian, kejujuran bukan sekadar nilai moral, tetapi sifat hakiki yang melekat pada para utusan Allah. Nabi tidak hanya jujur dalam ucapan, tetapi juga dalam niat, tindakan, dan seluruh kehidupannya.
Kitab Kifayatul Awam fi ‘Ilmil Kalam karya Syaikh Muhammad al-Fudhali menjelaskan bahwa di samping memiliki sifat-sifat wajib seperti ṣidq (jujur), amānah (dapat dipercaya), tablīgh (menyampaikan), dan fatānah (cerdas), para Rasul juga mustahil memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Karena itu, Nabi mustahil berdusta, khianat, menyembunyikan wahyu, atau bodoh.
Syaikh al-Fudhali menerangkan:
وَيَسْتَحِيلُ عَلَيْهِمُ الْكِذْبُ وَالْخِيَانَةُ وَالْكَتْمُ وَالْبَلَادَةُ
“Dan mustahil bagi para Rasul itu memiliki sifat dusta, khianat, menyembunyikan wahyu, dan bodoh.”
Dari penjelasan ini, kita belajar bahwa kemustahilan sifat buruk pada Rasul bukan hanya logika akidah, tetapi juga bukti kasih sayang Allah terhadap manusia. Sebab tanpa jaminan kejujuran para Nabi, iman manusia akan goyah.
Sifat Mustahil: Cermin Kesempurnaan Akhlak Rasul
Para Rasul adalah manusia pilihan yang dibersihkan dari sifat-sifat tercela. Dalam akidah Islam, sifat mustahil bagi Rasul merupakan kebalikan dari sifat wajibnya:
- Kidzib (dusta) – kebalikan dari ṣidq (jujur).
- Khianat – kebalikan dari amānah.
- Kitmān (menyembunyikan wahyu) – kebalikan dari tablīgh.
- Balāhah (bodoh) – kebalikan dari fatānah.
Sifat-sifat mustahil ini bukan berarti para Rasul tidak diuji. Mereka tetap manusia yang mengalami kesulitan, tekanan, dan penolakan, tetapi tidak pernah tergelincir dalam kebohongan atau pengkhianatan.
Allah menjamin kebenaran mereka dalam Al-Qur’an:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى، إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut keinginannya. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53]: 3–4)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap ucapan Rasulullah ﷺ bersumber dari wahyu, bukan dari hawa nafsu. Maka mustahil bagi beliau untuk berdusta, sebab dusta berarti menyelisihi wahyu Allah.
Mengapa Mustahil Nabi Berdusta (Kidzib)?
Dusta adalah lawan dari kebenaran. Dusta mengaburkan cahaya kebenaran dan menghancurkan kepercayaan. Namun bagi Nabi, dusta adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Bukan karena mereka tidak bisa, melainkan karena Allah menjaga mereka dari kemungkinan itu.
Sejak kecil, Rasulullah ﷺ dikenal oleh masyarakat Mekah sebagai al-Amīn — yang terpercaya. Bahkan musuh-musuh beliau pun mengakui kejujurannya. Sebelum hijrah ke Madinah, beliau menitipkan barang-barang orang Quraisy kepada Ali bin Abi Thalib agar dikembalikan kepada pemiliknya. Inilah bukti bahwa kejujuran beliau tidak berubah bahkan terhadap orang yang memusuhinya.
Allah berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُم رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri; berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128)
Rasul tidak berdusta karena cintanya kepada umat. Dusta hanya lahir dari niat jahat atau kepentingan pribadi, sedangkan Nabi hidup untuk menyampaikan kebenaran, bukan mencari keuntungan. Karena itu, kejujuran Rasul bukan hanya sifat, tapi juga misi.
Khianat: Mustahil bagi Rasul yang Menjaga Amanah Wahyu
Sifat mustahil berikutnya adalah khianat, yaitu berbuat curang terhadap amanah Allah. Para Rasul diutus untuk membawa risalah, bukan untuk menggunakannya demi kepentingan pribadi. Amanah wahyu adalah beban suci yang mereka emban dengan penuh keikhlasan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah.” (HR. Ahmad)
Jika kejujuran adalah akar dari iman, maka amanah adalah batangnya. Keduanya tumbuh bersama. Nabi mustahil berkhianat karena amanah yang beliau bawa bukan hanya titipan manusia, tapi juga titipan Allah.
Dalam Kifayatul Awam, Syaikh al-Fudhali menekankan bahwa kemustahilan khianat bagi Rasul menunjukkan kesempurnaan mereka dalam menjaga risalah. Bila seorang Nabi berkhianat, maka hancurlah kepercayaan umat terhadap wahyu. Karena itu, Allah melindungi para Rasul dari segala bentuk pengkhianatan.
Kitmān: Nabi Tak Pernah Menyembunyikan Wahyu
Sifat mustahil ketiga adalah kitmān, yakni menyembunyikan sebagian dari wahyu Allah. Para Nabi tidak memiliki hak untuk memilih apa yang disampaikan dan apa yang disembunyikan. Semua wahyu wajib disampaikan sebagaimana diterima, tanpa tambahan atau pengurangan.
Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ dengan tegas:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 67)
Perintah ini adalah penegasan atas tanggung jawab besar Rasul untuk menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada kompromi terhadap kebenaran. Rasul menyampaikan wahyu meski berisiko ditolak, dicemooh, bahkan diusir oleh kaumnya.
Sifat tablīgh (menyampaikan) dan penolakan terhadap kitmān adalah bukti keberanian spiritual. Rasul tidak menyampaikan wahyu untuk mencari popularitas, tetapi karena kasihnya pada umat manusia agar tidak tersesat. Dalam konteks kehidupan kita, keteladanan ini mengajarkan agar kita tidak menyembunyikan kebenaran meski sulit atau tidak menguntungkan.
Balāhah: Rasul Mustahil Bodoh
Sifat keempat yang mustahil bagi Rasul adalah balāhah, atau kebodohan. Para Rasul adalah manusia yang paling cerdas, baik secara intelektual maupun spiritual. Kecerdasan mereka bukan hanya kemampuan berpikir logis, tetapi juga kemampuan memahami jiwa manusia.
Allah menegaskan kecerdasan Rasulullah ﷺ dalam firman-Nya:
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan Allah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui, dan karunia Allah atasmu sangat besar.” (QS. An-Nisā’ [4]: 113)
Nabi Muhammad ﷺ mampu menyeimbangkan antara pengetahuan langit dan realitas dunia. Beliau memimpin umat dengan kebijaksanaan, menata masyarakat dengan keadilan, dan mengajarkan ilmu dengan kelembutan.
Mustahil Rasul bodoh, karena kebodohan akan menjerumuskannya pada kesalahan dalam menyampaikan wahyu. Sebaliknya, kecerdasan Rasul menjadi bukti bahwa wahyu diturunkan kepada orang yang paling layak menanggung beban ilmu dan tanggung jawab besar itu.
Mengapa Sifat Mustahil Rasul Penting bagi Iman Kita
Mengenal sifat mustahil Rasul bukan sekadar teori dalam ilmu kalam. Ia adalah pondasi keyakinan yang menegaskan bahwa seluruh ajaran Islam datang dari sumber yang terpercaya. Jika para Rasul bisa berdusta, khianat, atau bodoh, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mempercayai wahyu.
Namun, karena Allah Maha Bijaksana, Dia memilih manusia terbaik — yang dijaga dari segala cela — untuk menyampaikan pesan-Nya. Keimanan kita kepada Rasul menjadi kokoh karena kita yakin bahwa beliau tidak mungkin berbohong.
Allah berfirman:
وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Tidak ada kewajiban atas Rasul selain menyampaikan dengan jelas.” (QS. An-Nūr [24]: 54)
Ayat ini adalah pengingat bahwa tugas Rasul hanyalah menyampaikan dengan jujur dan jelas, sedangkan hidayah adalah urusan Allah. Keyakinan ini memberi kita rasa aman bahwa ajaran Islam terjaga kemurniannya sepanjang zaman.
Keteladanan Rasul dalam Kehidupan Modern
Sifat mustahil Rasul tidak hanya relevan dalam konteks teologi, tetapi juga menjadi pedoman moral bagi kehidupan sosial. Di tengah dunia yang sering memuja pencitraan dan menormalisasi kebohongan, meneladani kejujuran Rasul adalah bentuk perlawanan terhadap arus kebatilan.
Ketika seseorang jujur di saat dunia memilih dusta, ia sedang meneladani para Nabi. Ketika ia menjaga amanah kecil di tengah budaya ketidakpedulian, ia sedang meniru khianat yang mustahil bagi Rasul. Dan ketika ia berusaha memahami orang lain dengan empati dan kebijaksanaan, ia sedang mengikuti kecerdasan emosional para utusan Allah.
Menjadi “sedikit nabi” dalam sikap bukan berarti mengklaim kesucian, melainkan berusaha menghadirkan nilai-nilai kenabian dalam keseharian: jujur, amanah, terbuka, dan bijak.
Penutup
Rasul adalah lentera yang menerangi jalan kebenaran. Meneladani sifat mustahil Rasul bukan sekadar memahami teologi, tetapi menjalani hidup dengan kejujuran, tanggung jawab, dan kebijaksanaan.
Cahaya itu masih ada — dalam hati setiap orang yang mencintai kebenaran dan berusaha jujur meski sendirian. Sebab, seperti para Rasul, kejujuran sejati tak membutuhkan saksi. Ia sendiri adalah bukti.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
