Khazanah
Beranda » Berita » Nabi Itu Teladan: Mengenal Sifat Wajib bagi Rasul dari Kitab Kifayatul Awam

Nabi Itu Teladan: Mengenal Sifat Wajib bagi Rasul dari Kitab Kifayatul Awam

ilustrasi pemuda menatap cahaya, simbol keteladanan sifat wajib Rasul dalam kehidupan modern
Ilustrasi realistik-filosofis seorang pemuda berdiri di bawah cahaya lembut matahari pagi, di hadapannya tergambar siluet figur Rasul membawa cahaya. Warna hangat, lembut, dan inspiratif.

Surau.co. Dalam kehidupan modern yang penuh hiruk pikuk, manusia sering mencari figur yang bisa dijadikan teladan. Di tengah hiruk pikuk media sosial, budaya populer, dan pencarian jati diri, sosok Nabi dan Rasul menjadi sumber inspirasi yang tidak lekang oleh waktu. Namun, untuk benar-benar menjadikan mereka teladan, kita perlu mengenal siapa mereka secara hakiki — bukan hanya dari kisah, tapi dari akidah.

Dalam kitab Kifayatul Awam fi ‘Ilmil Kalam, Syaikh Muhammad al-Fudhali menjelaskan empat sifat wajib bagi para Rasul: ṣidq (jujur), amānah (dapat dipercaya), tablīgh (menyampaikan), dan fatānah (cerdas). Keempat sifat ini bukan sekadar nilai moral, tetapi fondasi spiritual yang menegaskan kesempurnaan para utusan Allah.

Syaikh al-Fudhali berpendapat bahwa:
وَيَجِبُ لِرُسُلِهِمُ الصِّدْقُ وَالأَمَانَةُ وَالتَّبْلِيغُ وَالفَطَانَةُ
“Dan wajib bagi para Rasul itu memiliki sifat jujur, amanah, menyampaikan, dan cerdas.”

Melalui pemahaman terhadap sifat-sifat ini, kita tidak hanya belajar tentang para Rasul, tetapi juga tentang bagaimana meneladani mereka dalam kehidupan modern.

Sifat Ṣidq: Kejujuran yang Menjadi Landasan Iman

Sifat pertama yang wajib dimiliki para Rasul adalah ṣidq, yaitu jujur dalam perkataan, perbuatan, dan niat. Kejujuran bukan sekadar berkata benar, tetapi juga kesesuaian antara batin dan lahir, antara kata dan tindakan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Rasulullah ﷺ adalah sosok yang dikenal jujur bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi. Masyarakat Mekah memanggilnya “Al-Amīn”, yang berarti “orang yang terpercaya.” Kejujuran beliau bukan hanya etika sosial, tetapi pantulan dari keimanan yang sempurna.

Allah berfirman:

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (QS. An-Nisā’ [4]: 122)

Kejujuran Rasul menjadi cermin kejujuran Allah dalam janji-Nya. Maka, orang beriman yang ingin meneladani Rasul harus menjadikan kejujuran sebagai dasar hidup. Dalam dunia yang sering dibangun di atas kepalsuan, sifat ṣidq menjadi sumber ketenangan dan kekuatan batin.

Sifat Amānah: Tanggung Jawab sebagai Cermin Kedekatan kepada Allah

Sifat kedua adalah amānah, yaitu dapat dipercaya dalam segala urusan. Rasul tidak hanya menyampaikan wahyu dengan benar, tetapi juga menjaga titipan Allah dan umat dengan penuh tanggung jawab.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Dalam Al-Qur’an, Allah memuji Rasulullah ﷺ dengan firman-Nya:

إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ
“Sesungguhnya aku bagi kalian adalah Rasul yang terpercaya.” (QS. Asy-Syu‘arā’ [26]: 107)

Kepercayaan ini tidak muncul dari kata-kata, melainkan dari integritas yang konsisten. Nabi memikul amanah besar: membimbing manusia menuju kebenaran tanpa pamrih. Amanah tidak hanya tentang menjaga harta atau rahasia, tetapi juga tentang menjaga nilai, janji, dan tanggung jawab di hadapan Allah.

Dalam konteks modern, meneladani amānah berarti menepati janji, bekerja dengan integritas, dan bertanggung jawab atas pilihan hidup. Remaja yang jujur dan amanah dalam tugas kecil, kelak akan mampu memegang amanah besar. Seperti Rasul yang menjaga wahyu, kita pun menjaga kepercayaan yang diberikan kepada kita.

Sifat Tablīgh: Menyampaikan Tanpa Takut

Sifat ketiga, tablīgh, berarti menyampaikan seluruh risalah yang diwahyukan Allah kepada umat manusia. Rasul tidak menyembunyikan apa pun dari wahyu yang diterimanya, meskipun risikonya besar.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Allah menegaskan perintah ini dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 67)

Sifat tablīgh mengajarkan keberanian untuk berbicara tentang kebenaran meskipun tidak populer. Rasul menyampaikan wahyu dengan kasih dan kebijaksanaan, tidak dengan kemarahan atau kebencian.

Bagi generasi muda, tablīgh bermakna keberanian menyuarakan kebaikan — di sekolah, di rumah, atau di ruang digital. Menyebarkan kebenaran di tengah arus informasi yang membingungkan adalah bentuk tablīgh modern. Rasul mencontohkan bahwa dakwah bukan tentang menghakimi, tetapi tentang mengajak dengan cinta.

Sifat Fatānah: Kecerdasan yang Menuntun Kebijaksanaan

Sifat terakhir yang wajib bagi Rasul adalah fatānah, yaitu kecerdasan luar biasa dalam berpikir, memahami, dan bertindak. Para Rasul adalah manusia paling cerdas karena mereka memahami makna kehidupan, mengenali karakter manusia, dan tahu bagaimana menyampaikan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati.

Kecerdasan para Rasul bukan semata logika, tetapi juga kecerdasan spiritual dan emosional. Nabi Muhammad ﷺ memahami kondisi umatnya dengan mendalam, menasihati dengan kelembutan, dan menegur dengan kasih.

Syaikh al-Fudhali menegaskan bahwa fatānah merupakan bukti bahwa Rasul tidak mungkin melakukan kesalahan dalam menyampaikan risalah, sebab kecerdasannya dijaga oleh Allah.

Di era modern, meneladani fatānah berarti menjadi pribadi yang bijak, berpikir kritis, dan mampu menilai sesuatu dengan hati yang jernih. Kecerdasan sejati adalah yang membuat seseorang semakin dekat kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi sesama.

Keseimbangan Empat Sifat: Harmoni antara Akal, Hati, dan Tindakan

Empat sifat wajib bagi Rasul bukanlah karakter terpisah, melainkan satu kesatuan yang harmonis. Ṣidq melahirkan kepercayaan; amānah menumbuhkan tanggung jawab; tablīgh menuntut keberanian; dan fatānah memastikan kebijaksanaan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mempraktikkan keempat sifat ini dalam bentuk sederhana: berkata jujur, menepati janji, menyebarkan kebaikan, dan berpikir bijak sebelum bertindak. Dengan begitu, kita ikut menapaki jejak para utusan Allah.

Sifat Wajib dan Kemaksuman Rasul

Kitab Kifayatul Awam juga menjelaskan bahwa para Rasul memiliki sifat ‘ismah (terjaga dari dosa dan kesalahan). Hal ini karena keempat sifat wajib itu tidak dapat bersatu dengan sifat kebalikan seperti dusta, khianat, menyembunyikan wahyu, atau bodoh.

Syaikh al-Fudhali menulis:
وَيَسْتَحِيلُ عَلَيْهِمُ الْكِذْبُ وَالْخِيَانَةُ وَالْكَتْمُ وَالْبَلَادَةُ
“Dan mustahil bagi mereka (para Rasul) memiliki sifat dusta, khianat, menyembunyikan wahyu, dan bodoh.”

Kemaksuman ini menjamin bahwa ajaran yang mereka bawa adalah murni dan dapat diandalkan. Kita tidak menyembah Rasul, tetapi kita meyakini bahwa mereka adalah saluran kebenaran yang tidak mungkin salah dalam menyampaikan pesan Allah.

Dengan memahami hal ini, iman kita kepada para Rasul menjadi lebih kokoh. Kita belajar untuk meneladani akhlak mereka tanpa menjadikan mereka objek pemujaan.

Meneladani Rasul di Zaman Modern

Meneladani Rasul bukan berarti meniru seluruh konteks kehidupan mereka, tetapi menanamkan nilai-nilai universal dari sifat mereka dalam kehidupan kini.
Ṣidq mendorong kejujuran di dunia digital yang rentan manipulasi.
Amānah mengajarkan tanggung jawab di dunia kerja dan hubungan sosial.
Tablīgh menginspirasi keberanian menyebarkan kebaikan di media sosial.
Fatānah mengajarkan kecerdasan emosional dalam menghadapi perbedaan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Hadis ini adalah inti dari seluruh sifat wajib Rasul. Beliau diutus bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memperindah manusia dengan akhlak yang luhur. Itulah sebabnya, meneladani Rasul berarti belajar menjadi manusia seutuhnya — yang jujur, amanah, berani, dan cerdas dengan hati.

Refleksi: Rasul sebagai Cermin Kesempurnaan Manusia

Jika kita merenungi empat sifat wajib Rasul, kita menemukan bahwa semuanya bermuara pada satu nilai: cinta. Cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia.
Kejujuran adalah cinta pada kebenaran. Amanah adalah cinta pada tanggung jawab. Tablīgh adalah cinta pada kebaikan. Fatānah adalah cinta pada kebijaksanaan.

Para Rasul adalah manusia yang paling mencintai Allah, dan karena cinta itu, mereka menjadi sumber cahaya bagi manusia lain. Dalam diri mereka, kita melihat potensi terbaik manusia yang diangkat menjadi suci karena keikhlasan dan kesungguhan.

Dengan mengenal sifat wajib Rasul, kita sebenarnya sedang belajar tentang potensi kita sendiri — potensi untuk menjadi lebih baik, lebih jujur, dan lebih tulus.

Penutup

Akhirnya, mengenal sifat wajib bagi Rasul bukan sekadar pelajaran akidah, tetapi jalan untuk memperbaiki diri. Rasul bukan sekadar tokoh sejarah, tetapi cermin hidup tentang bagaimana manusia bisa mencapai kemuliaan tertinggi.

Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)

Meneladani Rasul berarti menghadirkan nilai-nilai kenabian dalam kehidupan kita. Setiap kali kita berkata jujur, menepati amanah, menyampaikan kebaikan, dan berpikir bijak, di situlah kita sedang menelusuri jejak langkah para Nabi.
Dan mungkin, di mata Allah, itulah cara paling indah untuk menunjukkan cinta kita kepada-Nya — dengan menjadi cerminan kecil dari para utusan-Nya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement