Surau.co. Setiap manusia, dalam perjalanan hidupnya, pernah merasakan pertanyaan yang mengguncang hati: mengapa sesuatu terjadi seperti ini? Mengapa doa tertentu dikabulkan, sementara yang lain tertunda? Pertanyaan-pertanyaan itu membawa kita pada renungan paling dalam tentang siapa yang mengatur segalanya. Dalam pandangan akidah Islam, jawabannya sederhana namun agung: segalanya berasal dari Allah.
Dalam ilmu tauhid, salah satu cara memahami hal ini adalah melalui pengenalan terhadap sifat-sifat Allah. Di antara sifat-sifat tersebut, ada satu yang begitu unik sekaligus dalam maknanya, yaitu sifat jaiz bagi Allah. Sifat ini dijelaskan secara indah dalam karya klasik Kifayatul Awam fi Ilmil karya Syaikh Muhammad al-Fudhali. beliau berkata:
وَيَجُوزُ فِي حَقِّهِ تَعَالَى فِعْلُ شَيْءٍ أَوْ تَرْكُهُ
“Dan jaiz bagi Allah Ta‘ala untuk berbuat sesuatu atau meninggalkannya.”
Sifat jaiz menunjukkan bahwa Allah bebas berkehendak. Ia tidak wajib melakukan sesuatu, dan tidak pula terpaksa meninggalkannya. Semua yang terjadi, dari yang besar hingga yang kecil, adalah buah dari kehendak dan kebijaksanaan-Nya.
Makna Sifat Jaiz: Allah Melakukan Apa yang Ia Kehendaki
Sifat jaiz berarti bahwa Allah Maha Kuasa untuk melakukan apa pun yang Ia kehendaki, dan bebas untuk tidak melakukannya. Tidak ada yang memaksa Allah, tidak ada yang mengatur-Nya. Allah bukan makhluk yang terikat oleh sebab-akibat, karena justru Dialah pencipta sebab dan akibat.
Firman Allah dalam Al-Qur’an menegaskan:
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj [22]: 18)
Ayat ini memperlihatkan kemerdekaan mutlak Allah dalam bertindak. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menahan kehendak-Nya. Namun, kebebasan ini tidak berarti Allah berbuat tanpa hikmah. Setiap keputusan-Nya penuh makna dan kebijaksanaan, bahkan jika manusia tidak selalu memahaminya. Sifat jaiz justru menjadi tanda bahwa Allah adalah Tuhan yang sempurna, yang berbuat dengan ilmu dan kasih-Nya yang tanpa batas.
Keteraturan Alam dan Kebijaksanaan Ilahi
Sebagian orang bisa keliru memahami sifat jaiz. Mereka mungkin berpikir bahwa jika Allah bebas melakukan apa saja, dunia ini akan kacau tanpa aturan. Namun, justru sebaliknya, sifat jaiz berjalan seiring dengan sifat hikmah Allah. Ia berkehendak dengan keseimbangan dan kesempurnaan yang tidak bisa dijangkau akal manusia.
Allah berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran (takaran).” (QS. Al-Qamar [54]: 49)
Setiap pergerakan partikel, setiap detak jantung, setiap perjalanan angin, semuanya berjalan dalam kehendak dan ukuran yang telah Allah tetapkan. Ia bebas berbuat, namun kebebasan-Nya bukan tanpa arah. Semua berjalan di bawah kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya.
Ketika kita menyadari ini, hati menjadi tenang. Tidak ada yang terjadi secara acak. Sifat jaiz mengajarkan bahwa setiap peristiwa di dunia ini adalah bagian dari rencana Ilahi yang sempurna.
Dimensi Spiritual: Pasrah Tanpa Putus Asa
Memahami sifat jaiz bukan hanya urusan teologis, tetapi juga latihan spiritual yang mendalam. Ia mengajarkan manusia untuk menerima ketentuan Allah dengan hati lapang, tanpa kehilangan semangat untuk berusaha.
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ
“Ketahuilah, apa yang tidak menimpamu tidak akan pernah menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan pernah luput darimu.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menggambarkan esensi sifat jaiz dalam kehidupan sehari-hari. Apa pun yang menimpa seseorang, baik atau buruk, terjadi karena Allah menghendakinya demikian. Tidak ada ruang bagi kebetulan. Dengan menyadari ini, kita berhenti menyesali masa lalu secara berlebihan, karena semuanya bagian dari kasih sayang dan ilmu Allah.
Manusia Berencana, Allah Menentukan
Setiap orang memiliki rencana, impian, dan tujuan. Namun, sering kali kenyataan berjalan di luar harapan. Sifat jaiz membantu kita memahami bahwa hal itu bukan bentuk penolakan dari Allah, melainkan bentuk bimbingan.
Allah berfirman:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Ayat ini menuntun manusia untuk menerima keputusan Allah dengan sabar. Sifat jaiz mengajarkan bahwa hasil akhir selalu dalam tangan Allah. Seseorang boleh berencana dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya kehendak Allah yang menentukan hasilnya. Dari sini lahir sikap tenang, rendah hati, dan berlapang dada.
Sifat Jaiz dan Kemandirian Tuhan
Dalam Kifayatul Awam, Syaikh al-Fudhali menegaskan bahwa sifat jaiz menunjukkan kemerdekaan mutlak Allah. Tidak ada yang wajib bagi-Nya, tidak ada yang mengikat-Nya.
لَا يَجُوزُ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنَ النَّقَائِصِ، وَلَا يَلْزَمُهُ فِعْلٌ وَلَا تَرْكٌ
“Tidak mungkin bagi Allah sesuatu dari kekurangan, dan tidak wajib bagi-Nya melakukan atau meninggalkan sesuatu.”
Artinya, Allah tidak tunduk pada hukum-hukum yang berlaku bagi makhluk. Ia menciptakan hukum itu, namun Ia sendiri berada di atasnya.
Kesadaran ini menanamkan rasa takzim dan syukur yang mendalam. Betapa besar kasih sayang Allah yang memilih untuk memberi nikmat, padahal Ia tidak wajib memberi. Semua rahmat yang kita rasakan adalah karunia, bukan hak yang bisa dituntut.
Sifat Jaiz dan Hubungan Sosial
Mengetahui bahwa segala sesuatu berasal dari kehendak Allah membentuk cara kita berinteraksi dengan sesama. Kita menjadi lebih sabar, lebih empatik, dan tidak mudah menghakimi.
Ketika seseorang mengalami kesulitan, kita tidak melihatnya sebagai kegagalan, tetapi sebagai bagian dari rencana Ilahi yang belum kita pahami.
Dalam kehidupan sosial, sifat jaiz Allah juga mengajarkan keseimbangan antara usaha dan tawakal. Kita tetap berbuat baik, menolong orang lain, dan berjuang untuk kebaikan, karena kita tahu semua itu bagian dari kehendak Allah.
Dengan begitu, hidup menjadi lebih bermakna — bukan karena kita merasa mengendalikan segalanya, tapi karena kita tahu kepada siapa segalanya kembali.
Takdir dan Pilihan: Ruang Manusia di Tengah Kehendak Allah
Sifat jaiz bukan berarti manusia tidak punya kebebasan. Justru, pemahaman ini memperkuat kesadaran bahwa Allah memberi manusia kemampuan untuk memilih dalam batas kehendak-Nya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ
“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki manusia untuk berusaha. Hasil akhirnya tetap milik Allah, namun usaha adalah bukti keimanan. Inilah keseimbangan sejati antara qadar dan ikhtiar. Sifat jaiz Allah tidak membuat kita pasif, tetapi justru menguatkan semangat untuk terus bergerak sambil berserah.
Refleksi: Hidup dalam Kehendak yang Penuh Kasih
Ketika kita merenungi sifat jaiz, kita belajar untuk tidak terjebak dalam rasa cemas berlebihan. Kita memahami bahwa setiap kegagalan, keberhasilan, pertemuan, dan perpisahan — semua terjadi karena Allah memilihkan yang terbaik bagi kita.
Syaikh al-Fudhali menulis bahwa mengenal sifat jaiz berarti mengenal kebebasan Allah untuk mencintai. Jika Allah memberi, itu karena cinta. Jika Ia menunda, itu pun karena cinta.
Dari sini, lahirlah hati yang ridha. Bukan hati yang menyerah tanpa makna, melainkan hati yang tenang dalam keyakinan bahwa Allah selalu tahu yang terbaik.
Penutup
Akhirnya, kita kembali pada kalimat sederhana yang mengandung makna mendalam: segalanya dari Allah. Setiap hembusan napas, setiap langkah, setiap takdir kecil, semuanya berada dalam kehendak-Nya.
Firman Allah menegaskan:
قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ
“Katakanlah: semuanya (datang) dari Allah.” (QS. An-Nisa [4]: 78)
Mengenal sifat jaiz bukan sekadar memahami teori dalam kitab tauhid, melainkan belajar untuk hidup dengan hati yang penuh syukur dan kepasrahan.
Sebab ketika kita benar-benar yakin bahwa segalanya berasal dari Allah, maka setiap peristiwa menjadi jembatan menuju-Nya — Sang Pencinta yang Maha Bebas, namun selalu penuh kasih.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
