Surau.co. Setiap manusia lahir dengan ketergantungan. Kita butuh udara untuk bernapas, air untuk hidup, kasih sayang untuk tumbuh, dan bimbingan untuk selamat. Namun, di atas segala bentuk kebutuhan itu, ada satu Dzat yang tidak bergantung pada apa pun — Dialah Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.
Dalam kitab Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi al-Kalām, Syaikh Muhammad al-Fudhali menegaskan bahwa memahami sifat-sifat Allah bukan hanya soal teologi, melainkan pijakan iman. Di antara yang paling penting untuk dipahami adalah sifat mustahil bagi Allah — segala sifat yang tidak mungkin dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Sempurna.
Beliau menulis dalam bait awalnya:
وَيَجِبُ لَهُ كُلُّ كَمَالٍ، وَيَسْتَحِيلُ عَلَيْهِ كُلُّ نُقْصَانٍ
“Bagi Allah wajib segala kesempurnaan, dan mustahil bagi-Nya segala kekurangan.”
Kalimat singkat itu seperti cahaya yang menuntun kita untuk memahami bahwa Allah adalah Dzat yang sempurna dalam segala hal, dan segala bentuk kekurangan — seperti butuh, lemah, mati, atau lupa — mustahil bagi-Nya.
Makna Sifat Mustahil: Meneguhkan Ketuhanan yang Sempurna
Dalam ilmu tauhid, sifat mustahil berarti sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada Allah. Namun, penolakan ini bukan sekadar “tidak mungkin”, melainkan bentuk penegasan akan kesempurnaan dan keagungan Allah.
Contohnya, jika kita mengatakan mustahil Allah lemah, maka kita tidak hanya menolak kelemahan, tetapi menegaskan bahwa Allah Maha Kuasa. Begitu pula, ketika kita mengatakan mustahil Allah mati, itu berarti Allah Maha Hidup dan Kekal tanpa permulaan dan tanpa akhir.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup dan terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (QS. Al-Baqarah: 255)
Ayat ini menegaskan bahwa kehidupan Allah tidak bergantung kepada siapa pun. Ia hidup tanpa diberi hidup, dan Ia menghidupkan segala sesuatu tanpa merasa lelah.
Mengenal Allah Melalui Sifat yang Mustahil bagi-Nya
Syaikh al-Fudhali mengajarkan bahwa untuk mengenal Allah, manusia perlu memahami dua sisi sifat: sifat wajib (yang pasti ada bagi Allah) dan sifat mustahil (yang mustahil bagi-Nya).
Dalam Kifāyatul ‘Awām, beliau menyebutkan 20 sifat wajib bagi Allah, dan berpasangan dengan 20 sifat mustahil. Misalnya:
- Wujud ↔ ‘Adam (ada ↔ tidak ada)
- Qidam ↔ Ḥudūṡ (terdahulu ↔ baru)
- Baqā’ ↔ Fanā’ (kekal ↔ binasa)
- Qiyāmun bin-nafs ↔ Iḥtiyāj ilā ghairihi (berdiri sendiri ↔ butuh kepada selain-Nya)
Setiap sifat mustahil menunjukkan keterlepasan Allah dari segala sifat makhluk. Dengan demikian, Allah bukan bagian dari sistem sebab-akibat, karena Dialah pencipta sebab dan akibat itu sendiri.
Allah Tidak Butuh Siapa pun: Makna “Qiyāmun bin-Nafs”
Salah satu sifat wajib Allah yang mengandung makna kebalikan dari “butuh” adalah Qiyāmun bin-Nafs, yang berarti Allah berdiri sendiri. Lawannya adalah sifat mustahil iḥtiyāj ilā ghairihi — membutuhkan sesuatu selain diri-Nya.
Syaikh al-Fudhali menulis:
وَقِيَامُهُ بِنَفْسِهِ غَنِيٌّ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ
“Dan Allah berdiri sendiri, tidak membutuhkan sesuatu pun selain diri-Nya.”
Artinya, Allah tidak bergantung pada makhluk, tempat, waktu, atau siapa pun. Segala sesuatu di alam semesta ini ada karena diciptakan-Nya, sementara keberadaan Allah tidak disebabkan oleh apa pun.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dengan tegas:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Wahai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah, sedangkan Allah Dialah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fāṭir: 15)
Ayat ini menegaskan perbedaan mendasar antara Pencipta dan ciptaan. Kita hidup karena-Nya, sementara Dia tetap hidup walau seluruh makhluk binasa.
Ketika Makhluk Mengira Allah Butuh
Dalam kehidupan modern, banyak orang tanpa sadar menempatkan Allah seolah-olah bergantung pada amal manusia. Mereka berpikir bahwa ibadah kita “membesarkan nama Allah”, padahal justru kita yang dimuliakan karena ibadah itu.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis qudsi:
يَا عِبَادِي، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ، وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا
“Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya manusia pertama hingga yang terakhir, dari golongan jin dan manusia, semuanya berada di hati yang paling bertakwa di antara kalian, itu tidak menambah sedikit pun kerajaan-Ku.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan dengan indah bahwa ketaatan tidak memberi manfaat bagi Allah, melainkan bagi manusia itu sendiri. Allah tidak bertambah mulia karena kita taat, dan tidak berkurang kemuliaan-Nya karena kita durhaka.
Sifat Mustahil dan Kesempurnaan Ilahi
Kelemahan adalah sifat makhluk. Allah tidak pernah lelah, tidak pernah lupa, dan tidak pernah gagal. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَمَا مَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ
“Dan Kami tidak merasakan keletihan sedikit pun.” (QS. Qāf: 38)
Syaikh al-Fudhali menjelaskan bahwa kekuasaan Allah bersifat mutlak, tanpa batas ruang dan waktu. Ketika manusia menilai sesuatu mustahil, Allah mampu menjadikannya nyata tanpa alat dan tanpa sebab.
Itulah sebabnya, orang yang benar-benar memahami sifat mustahil bagi Allah akan berhenti membatasi kuasa-Nya dengan logika sempit. Ia percaya, di balik semua keteraturan alam, ada Kehendak Mutlak yang berdiri sendiri.
Makhluk hidup di bawah hukum perubahan — dari kecil menjadi besar, dari kuat menjadi lemah, lalu mati. Namun Allah tidak terikat oleh perubahan apa pun. Ia kekal tanpa awal dan tanpa akhir.
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Segala yang ada di bumi itu akan binasa, dan yang tetap kekal hanyalah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26–27)
Kekekalan Allah berarti Dia tidak menua, tidak hilang, tidak berubah. Inilah bentuk paling tinggi dari kesempurnaan, karena hanya yang sempurna yang tidak memerlukan perubahan.
Belajar Tawakal dan Ikhlas dari Sifat Mustahil Allah
Memahami bahwa Allah tidak butuh siapa pun menumbuhkan sikap tawakal. Ketika manusia sadar bahwa hanya Allah yang benar-benar ghaniyyun ‘an kulli mā siwāh (Maha Kaya dari segala sesuatu selain-Nya), maka hati akan tenang untuk berserah diri.
Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha sambil yakin bahwa hasilnya dari Allah semata. Orang yang memahami sifat mustahil Allah butuh pada makhluk akan berhenti berharap kepada selain-Nya.
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.” (QS. At-Talaq: 3)
Sifat mustahil Allah butuh juga menumbuhkan ikhlas. Jika Allah tidak bergantung kepada amal kita, maka setiap ibadah semata-mata menjadi pernyataan cinta dan penghambaan, bukan transaksi.
Syaikh al-Fudhali dalam Kifāyatul ‘Awām menegaskan bahwa ibadah sejati adalah ‘amalun lillāh lā li ajlin minhu — amal yang dilakukan karena Allah, bukan untuk memperoleh sesuatu dari-Nya.
Ikhlas berarti memahami bahwa Allah tidak membutuhkan pujian kita, tetapi kita yang butuh memuji-Nya agar hati kita tetap hidup.
Menemukan Makna Sifat Mustahil dalam Kehidupan Sehari-hari
Di dunia yang serba cepat ini, manusia sering lupa bahwa semua yang ia punya bukan hasil kekuatan dirinya, melainkan pemberian Allah Yang Mahakaya. Ketika seseorang sakit, kehilangan pekerjaan, atau menghadapi kegagalan, mengingat sifat mustahil Allah butuh akan membuatnya tenang.
Sebab, jika Allah tidak bergantung kepada siapa pun, maka pertolongan-Nya pun tidak bergantung pada siapa pun. Ia menolong siapa yang dikehendaki-Nya, dengan cara yang tidak terduga.
Kesadaran ini melahirkan keteguhan: meski dunia tampak tak berpihak, Allah selalu cukup bagi hamba yang beriman.
Penutup
Pada akhirnya, memahami sifat mustahil bagi Allah bukan sekadar pelajaran teologis, melainkan cermin spiritual. Ia mengajarkan kita siapa diri kita — makhluk yang lemah, bergantung, dan fana — serta siapa Tuhan kita — Dzat yang kekal, sempurna, dan tidak butuh apa pun.
“Ketika manusia lelah karena berharap pada sesama, saat itulah ia perlu kembali kepada Zat yang tidak pernah lelah memberi.”
Allah tidak butuh ibadah kita, tetapi kitalah yang butuh ibadah untuk mengenalnya. Allah tidak butuh cinta kita, tetapi dengan mencintai-Nya, kita menemukan makna hidup.
Semoga hati kita senantiasa terhubung dengan kesadaran ini: Allah tidak butuh siapa pun, dan justru karena itu, kasih-Nya meliputi semua.
*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
