Surau.co. Ada satu pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup manusia: “Siapa Tuhan kita?” Pertanyaan ini tidak hanya muncul dari akal yang ingin tahu, tetapi juga dari hati yang merindukan kepastian. Dalam hiruk pikuk dunia modern, banyak orang mencari jawaban ini di luar dirinya, padahal petunjuknya telah lama bersemayam di dalam dada.
Syaikh Muhammad al-Fudhali, dalam karya klasiknya Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi al-Kalām, membuka perjalanan iman dengan penegasan yang sederhana namun mendalam: mengenal Allah adalah kewajiban pertama bagi setiap mukallaf. Beliau menulis dalam salah satu bagian awal kitabnya:
أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الْمُكَلَّفِ مَعْرِفَةُ اللهِ تَعَالَى
“Kewajiban pertama bagi orang yang telah baligh dan berakal adalah mengenal Allah Ta‘ala.”
Pernyataan ini menggugah kesadaran bahwa perjalanan iman tidak dimulai dari ritual, tetapi dari pengetahuan dan pengakuan. Iman yang sejati lahir dari keseimbangan antara hati yang tunduk dan akal yang berpikir.
Hati dan Akal: Dua Sayap Menuju Pengenalan Tuhan
Allah mengaruniakan akal sebagai alat untuk mengenal dan membedakan kebenaran. Dalam Al-Qur’an, akal disebut berulang kali, bukan sebagai lawan dari iman, tetapi sebagai jembatannya.
Allah berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān: 190)
Akal berfungsi untuk membaca tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Namun, Syaikh al-Fudhali mengingatkan bahwa akal bukan tujuan, melainkan alat. Ia membantu manusia mengenali Sang Pencipta melalui ciptaan-Nya, tetapi tidak akan pernah mampu menjangkau hakikat Dzat-Nya.
Karenanya, dalam Kifāyatul ‘Awām, beliau menekankan keseimbangan: gunakan akal untuk menyadari keterbatasan akal itu sendiri. Di situlah iman menemukan kedewasaannya — ketika logika berhenti, hati mulai berbicara.
Hati Sebagai Cermin Ketuhanan
Hati (qalb) adalah tempat bersemayamnya iman. Jika akal membaca ayat-ayat kauniyyah (tanda-tanda di alam), maka hati membaca ayat-ayat dalam diri manusia. Allah berfirman:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itu adalah kebenaran.” (QS. Fussilat: 53)
Hati yang bersih akan menangkap cahaya kebenaran, sebagaimana cermin yang jernih memantulkan sinar tanpa distorsi. Karena itu, mengenal Allah bukan sekadar berpikir, tetapi juga merasakan dan menyucikan diri.
Syaikh al-Fudhali menerangkan dengan lembut:
وَمَعْرِفَةُ اللهِ تَكُونُ بِالْعَقْلِ وَالْقَلْبِ جَمِيعًا
“Mengenal Allah terjadi dengan akal dan hati secara bersamaan.”
Artinya, seseorang yang hanya beriman dengan akalnya tanpa melibatkan hati akan kering, sementara yang hanya beriman dengan perasaan tanpa ilmu bisa tersesat.
Awal Perjalanan Iman Menurut Kifāyatul ‘Awām
Dalam struktur keilmuan tauhid, Kifāyatul ‘Awām menegaskan bahwa mengenal Allah (ma‘rifatullah) harus mendahului seluruh ibadah. Mengapa demikian? Karena ibadah tanpa pengetahuan tentang siapa yang disembah akan kehilangan makna.
Ibadah yang sejati bukan sekadar gerakan jasmani, tetapi buah dari pengenalan. Seseorang yang benar-benar mengenal Tuhannya akan beribadah bukan karena takut atau terpaksa, melainkan karena cinta dan pengakuan.
Syaikh al-Fudhali menjelaskan bahwa mengenal Allah berarti memahami sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi-Nya. Melalui itu, seorang muslim menyadari bahwa Allah Maha Ada tanpa permulaan dan Maha Kekal tanpa akhir. Pengetahuan ini membuat hati tenang dan akal tunduk.
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin.” (QS. Al-Hadid: 3)
Ayat ini menegaskan dimensi tak terbatas dari Dzat Allah — sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh indra, tetapi bisa diimani oleh hati yang berilmu.
Banyak orang beriman karena lahir dari keluarga muslim. Namun Kifāyatul ‘Awām mengingatkan bahwa iman sejati tidak cukup diwariskan, ia harus ditemukan dan disadari. Seseorang yang hanya mengikuti tanpa tahu akan mudah goyah saat diuji.
Syaikh al-Fudhali mendorong setiap mukallaf untuk tafaqquh fid-din — berusaha memahami dasar-dasar iman. Dalam konteks modern, ini berarti mendorong umat agar tidak hanya “percaya”, tetapi juga paham mengapa ia percaya.
Dengan demikian, iman bukan sekadar identitas sosial, tetapi komitmen intelektual dan spiritual yang terus tumbuh seiring pengetahuan.
Akal dan Wahyu: Dua Jalan yang Bertemu di Titik Tauhid
Akal dapat mengenal adanya Tuhan melalui ciptaan, tetapi tidak bisa mengetahui bagaimana cara beribadah kepada-Nya tanpa wahyu. Di sinilah peran kenabian menjadi penting.
Allah mengutus para rasul untuk menuntun akal agar tidak tersesat dalam dugaan. Rasul membawa wahyu sebagai penjelas bagi akal yang terbatas.
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ
“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan).” (QS. Al-Hadid: 25)
Menurut Kifāyatul ‘Awām, iman yang sehat adalah perpaduan antara akal yang sadar dan wahyu yang membimbing. Tanpa wahyu, akal akan kebingungan; tanpa akal, wahyu akan disalahpahami.
Ketika akal dan hati berjalan seiring, keduanya bertemu di satu titik: tauhid. Tauhid bukan hanya mengakui bahwa Allah itu satu, tetapi juga mengosongkan hati dari segala sesuatu selain-Nya.
Syaikh al-Fudhali menulis dalam bagian penutup kitabnya:
مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ أَحَبَّهُ، وَمَنْ أَحَبَّهُ أَطَاعَهُ
“Siapa yang mengenal Tuhannya, ia akan mencintai-Nya; dan siapa yang mencintai-Nya, ia akan menaati-Nya.”
Tauhid yang hidup bukan sekadar pengetahuan rasional, melainkan pengalaman spiritual. Ia menjadikan seseorang tidak hanya tahu, tetapi juga merasa; tidak hanya mengaku, tetapi juga berbuat.
Mengenal Allah dalam Kehidupan Hari Ini
Kita hidup di masa ketika rasionalitas dianggap segalanya. Sains menjelaskan hukum-hukum alam, teknologi menembus batas ruang, tetapi kekosongan spiritual semakin terasa. Dalam situasi ini, ajaran Kifāyatul ‘Awām terasa relevan: iman dan akal bukan musuh, tetapi mitra.
Mengenal Allah lewat akal berarti menyadari keteraturan ciptaan-Nya, sementara mengenal-Nya lewat hati berarti merasakan kasih sayang-Nya dalam setiap napas. Perpaduan keduanya akan melahirkan iman yang berakar dan berbuah, bukan iman yang hanya berhenti di lisan.
Kitab seperti Kifāyatul ‘Awām sering digunakan di pesantren sebagai pegangan dasar tauhid. Di tengah gempuran media digital, ajaran ini menjadi benteng penting bagi generasi muda. Ia mengajarkan bahwa mengenal Allah bukan tugas para ulama saja, melainkan kebutuhan semua manusia.
Anak-anak perlu diajarkan untuk berpikir tentang Allah sekaligus mencintai-Nya. Ketika iman dibangun di atas pemahaman, maka keislaman tidak akan mudah goyah oleh keraguan.
Penutup
Perjalanan iman sejati dimulai ketika hati dan akal berjalan bersama. Hati bertanya, akal mencari; hati merasakan, akal membenarkan. Inilah keseimbangan yang diajarkan Kifāyatul ‘Awām — sebuah karya sederhana namun abadi.
Mengenal Allah bukan sekadar kewajiban, tetapi kebutuhan terdalam manusia. Semakin seseorang mengenal-Nya, semakin ia menemukan ketenangan dalam hidup. Karena Allah bukan sekadar konsep yang harus dibuktikan, tetapi realitas yang harus dihayati.
“Barang siapa mengenal Tuhannya, maka ia mengenal dirinya. Dan barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan menemukan Tuhannya di setiap denyut kehidupan.”
Semoga setiap langkah kita menjadi bagian dari perjalanan mengenal Allah — perjalanan yang tidak berhenti di akal, tetapi berlabuh di hati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
