Surau.co. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh distraksi, banyak orang memahami akidah sebatas hafalan atau teori. Padahal, akidah adalah fondasi yang membentuk cara kita berhubungan dengan diri, Tuhan, dan sesama manusia. Kitab klasik Aqīdatul Awwām karya Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī bukan hanya mengajarkan pokok-pokok iman, tetapi juga menuntun bagaimana iman itu menumbuhkan akhlak dan harmoni sosial.
Dalam bait awalnya, Syaikh al-Marzūqī mengajarkan:
يَقُولُ رَاجِي عَفْوَ رَبٍّ سَامِعِ مُحَمَّدٌ الْمَرْزُوقِيُّ الْمَالِكِي
“Berkata seorang hamba yang mengharap ampunan dari Tuhan Yang Maha Mendengar, yaitu Muhammad al-Marzūqī al-Mālikī.”
Bait pembuka ini tampak sederhana, namun mengandung makna mendalam: akidah dimulai dengan kesadaran akan kerendahan diri di hadapan Allah. Dari titik inilah lahir kejujuran, kasih, dan ketulusan dalam berhubungan dengan sesama.
Akidah dan Fondasi Relasi Manusia
Akidah bukan sekadar pengakuan bahwa Allah itu Esa, tetapi kesadaran spiritual yang mengatur cara kita memperlakukan orang lain. Dalam Islam, iman kepada Allah selalu terhubung dengan etika sosial.
Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” — (QS. Al-Ḥujurāt [49]: 10)
Ayat ini menjadi prinsip dasar: keimanan sejati menuntun pada persaudaraan yang tulus.
Orang yang meyakini Allah sebagai Pencipta tidak akan memandang rendah ciptaan-Nya. Sebaliknya, ia akan menghormati, mencintai, dan menolong sesama karena melihat pancaran keagungan Allah dalam diri setiap manusia.
Syaikh al-Marzūqī mengajarkan dalam Aqīdatul Awwām bahwa iman sejati melahirkan akhlak, bukan sekadar pengetahuan. Ia menulis:
وَمَنْ يُقِمْ عَلَى الْفُسُوقِ وَالضَّلَالِ
فَهُوَ لِلإِيمَانِ فِي انْحِلالِ“Barang siapa tetap berada dalam kefasikan dan kesesatan, maka imannya berada dalam keadaan terurai.”
Artinya, keimanan dan perilaku sosial tidak bisa dipisahkan. Bila seseorang beriman, maka persahabatannya pun akan mencerminkan nilai-nilai iman itu.
Persahabatan dalam Cahaya Akidah
Remaja dan anak muda kerap mencari makna persahabatan: siapa teman sejati? bagaimana memilih lingkungan yang baik? Jawaban itu sebenarnya telah lama ada dalam pandangan akidah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap kalian memperhatikan siapa yang dijadikan teman.” — (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan bahwa teman bukan sekadar teman berbagi cerita, tapi bagian dari perjalanan iman.
Persahabatan dalam Islam bukan hanya hubungan emosional, tetapi juga spiritual. Teman sejati adalah mereka yang menuntun kita lebih dekat kepada Allah, bukan menjauhkan.
Dalam konteks Aqīdatul Awwām, persahabatan yang dibangun di atas akidah berarti hubungan yang berlandaskan kejujuran, kasih, dan tanggung jawab moral.
Syaikh al-Marzūqī menulis bahwa keimanan harus diiringi amal — karena iman tanpa amal adalah seperti akar tanpa buah.
Maka, seorang teman yang beriman akan mengingatkan saudaranya ketika salah, menasihati dengan lembut, dan mendoakan dalam diam.
Akidah sebagai Pedoman Etika Sosial
Dalam kehidupan sosial, akidah menjadi kompas moral yang menuntun arah tindakan.
Seseorang yang memahami makna tauhid tidak akan sombong, karena sadar hanya Allah yang Maha Kuasa.
Ia juga tidak akan iri, karena percaya bahwa rezeki ditentukan oleh Allah.
Al-Qur’an menegaskan:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan setinggi gunung.” — (QS. Al-Isrā’ [17]: 37)
Ayat ini mengajarkan rendah hati sebagai buah dari akidah.
Seseorang yang menyadari keterbatasan dirinya di hadapan Allah akan lebih mudah menghargai orang lain.
Maka, akidah tidak hanya membangun hubungan vertikal (dengan Tuhan), tetapi juga horizontal (dengan manusia).
Ketika akidah menjiwai masyarakat, lahirlah lingkungan yang saling menghormati, tidak mudah menghakimi, dan menumbuhkan solidaritas sosial.
Menanam Akidah dalam Persahabatan Remaja
Remaja zaman ini hidup di tengah arus media sosial yang sering menampilkan citra palsu tentang pertemanan. Banyak yang mengira pertemanan berarti kesenangan bersama — nongkrong, konten bersama, atau solidaritas digital. Namun, akidah mengajarkan dimensi yang lebih dalam: persahabatan sebagai jalan menuju kebaikan bersama.
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti penjual minyak wangi dan pandai besi.” — (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menggambarkan bahwa teman baik menebarkan kebaikan seperti wangi minyak misik, sedangkan teman buruk bisa menodai hati seperti asap yang menghitamkan.
Jika akidah menjadi dasar dalam memilih dan membangun pertemanan, maka hubungan itu tidak hanya menyenangkan, tetapi juga menumbuhkan iman dan akhlak.
Seorang teman yang baik bukan yang membuatmu tertawa setiap waktu, tapi yang berani menegurmu ketika kau lupa akan Tuhan.
Dimensi Sosial Akidah: Membangun Masyarakat yang Lembut dan Adil
Kitab Aqīdatul Awwām mengajarkan keimanan yang inklusif — iman yang memuliakan manusia, bukan yang membuat seseorang merasa lebih suci.
Syaikh al-Marzūqī menulis dalam salah satu baitnya:
وَكُلُّ مَا أَتَى بِهِ الرَّسُولُ فَحَقُّهُ التَّسْلِيمُ وَالْقَبُولُ
“Segala yang dibawa Rasul wajib diterima dengan penuh kepasrahan dan penerimaan.”
Pesan ini mengandung arti sosial yang dalam: menerima ajaran Rasul berarti meneladani kasih, keadilan, dan kerendahan hati beliau.
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa masyarakat beriman harus saling menolong dan tidak menzalimi.
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya.” — (HR. Bukhari)
Jika akidah benar-benar tertanam, maka masyarakat tidak akan mudah terpecah karena perbedaan pandangan atau status sosial.
Akidah menuntun kita untuk melihat sesama sebagai saudara dalam kemanusiaan, bukan sebagai pesaing atau musuh.
Akidah dan Empati Sosial
Salah satu implikasi penting dari akidah adalah tumbuhnya empati.
Ketika seseorang yakin bahwa hidup ini titipan Allah, maka ia akan berhati-hati dalam memperlakukan orang lain.
Ia tahu bahwa setiap manusia adalah makhluk Allah yang berhak dihormati.
Remaja yang memahami hal ini akan lebih mudah menahan diri dari perundungan, kebencian daring, atau permusuhan.
Ia akan belajar menebarkan kebaikan, bukan karena ingin disanjung, tetapi karena percaya bahwa Allah mencintai hamba yang berbuat baik.
Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” — (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
Maka, akidah yang benar melahirkan cinta sosial — cinta yang tidak terikat oleh kepentingan pribadi, tetapi berakar pada cinta kepada Allah.
Penutup
Akidah bukan hanya untuk dihafal, tapi untuk dihidupi.
Ia menuntun setiap langkah, termasuk cara kita bersahabat, bekerja, dan berinteraksi dalam masyarakat.
Kitab Aqīdatul Awwām mengajarkan bahwa iman yang sejati akan menampakkan diri dalam akhlak dan hubungan sosial yang indah.
Ketika akidah menyatu dalam hati, maka setiap hubungan menjadi ladang pahala.
Persahabatan menjadi ibadah, dan masyarakat menjadi taman tempat rahmat Allah bersemi.
Seperti sabda Rasulullah ﷺ:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” — (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah hakikat akidah sosial — iman yang hidup dalam cinta dan kepedulian.
Dan dari sinilah dunia yang damai dimulai: dari hati yang beriman, dari persahabatan yang tulus, dari manusia yang memahami bahwa Tuhan mencintai mereka yang mencintai sesama.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
