SURAU.CO. Dunia maya kembali ramai dengan perdebatan. Sebuah video viral menampilkan santri sedang bekerja keras membangun masjid. Komentar miring pun bermunculan. “Kasihan, disuruh kerja rodi,” demikian bunyi salah satu komentar. “Budak kiai berkedok ibadah,” sindir yang lain. Publik dengan cepat menghakimi. Pesantren kembali terseret ke pusaran tuduhan: feodal, otoriter, dan eksploitatif.
Sebagai orang yang pernah nyantri, saya mengerti betul dinamika tersebut. Saya tersenyum getir membaca komentar-komentar itu. Bagi mereka yang melihat dari luar, kegiatan fisik santri memang tampak seperti penindasan. Namun, bagi kami yang pernah merasakan hidup di pesantren, cerita ini jauh lebih dalam dari yang terlihat di layar gawai.
Antara Ngecor dan Ngaji: Sebuah Laku Ibadah, Bukan Perbudakan
Di banyak pesantren, kegiatan seperti mengecor, menyapu halaman, menimba air, atau menata batu bata adalah hal yang biasa. Ini adalah bagian dari amaliyah harian. Amaliyah adalah latihan hidup yang menyatukan kerja, doa, dan kebersamaan. Ketika santri membantu membangun masjid, mereka tidak dipaksa bekerja tanpa upah. Mereka sedang menanam amalnya dan menumbuhkan cinta terhadap rumah Allah Swt. Mereka juga sedang berlatih menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Kiai saya pernah menasehati, “Ngaji itu tidak hanya di kitab, tapi juga di semen dan pasir. Karena ilmu tanpa pengorbanan mudah hilang dari dada.” Kalimat ini selalu melekat dalam ingatan saya.
Di pesantren, keringat santri bukanlah tanda kelelahan semata. Keringat santri adalah bentuk ibadah yang tak terucap. Ketika publik menilai kegiatan ini dengan logika dunia industri, terjadilah benturan dua cara pandang. Pandangan tersebut adalah ekonomi versus spiritual. Pesantren tidak melihat kerja sebagai eksploitasi. Pesantren melihat kerja sebagai pengabdian yang mendidik jiwa.
Luar Terlihat Berat, Dalam Terasa Ringan
Seorang teman saya pernah bercanda sambil menepuk bahu, “Kita ini tukang ngecor yang hafal Alfiyah!” Kami pun tertawa. Ada kebanggaan di balik kelakar itu. Di sela-sela menata adukan pasir, ia masih menghafal nadzam-nadzam bahasa Arab. Tidak ada paksaan. Tidak ada rasa terhina. Justru ada rasa memiliki.
Yang dari luar mungkin melihat “kerja berat”. Namun, yang di dalam merasakan “hidup yang ringan”. Sebab di sana, keikhlasan tumbuh dalam bentuk paling nyata. Kami bekerja sambil mengaji, mengaji sambil bekerja. Semuanya berputar di bawah satu kesadaran. Kesadaran itu adalah bahwa hidup di pesantren bukan hanya tentang menambah pengetahuan. Hidup di pesantren tentang menumbuhkan kesadaran untuk melayani. Melayani manusia, alam, dan Tuhan.
Memang benar, bisa saja ada oknum yang menyalahgunakan kewenangan. Namun, menilai seluruh pesantren dari satu video atau satu kasus adalah ketidakadilan. Hal tersebut sangat halus namun tajam. Ibarat menilai seluruh samudra dari setetes air yang keruh, kita kehilangan pandangan atas kedalaman yang sebenarnya.
Relasi Kiai dan Santri: Terikat oleh Cinta, Bukan Kuasa
Hubungan kiai dan santri sering kali disalahpahami oleh publik. Banyak yang mengira kiai adalah raja. Sementara santri hanyalah rakyat kecil yang tunduk membabi buta. Padahal, hubungan itu lebih menyerupai hubungan bapak dan anak. Bahkan guru dan murid dalam makna sufistik. Mereka saling percaya. Mereka saling mendoakan dan juga saling menjaga.
Santri menghormati kiai bukan karena takut tetapi karena cinta dan keyakinan bahwa keberkahan ilmu mengalir lewat adab. Tawadhu’ bukanlah simbol feodalisme akan tetapi sebuah cara menundukkan ego di hadapan sumber cahaya ilmu. Ketika santri membantu membangun pondok, mereka tidak sedang dijajah. Mereka sedang belajar tentang khidmah—pengabdian yang membebaskan.
Di dunia yang serba instan dan serba “aku”, khidmah adalah latihan. Ya latihan untuk menjadi manusia yang sabar, sadar, dan tahu diri. Mungkin inilah nilai yang sulit diterjemahkan oleh dunia modern. Melayani bukan berarti diperbudak. Melayani berarti sedang dibebaskan dari belenggu kepentingan diri.
Menjaga Izzah Pesantren di Tengah Sorotan Publik
Pesantren tidak sempurna, sebagaimana manusia juga tidak ada yang sempurna. Namun, dari pesantrenlah banyak orang belajar menjadi manusia seutuhnya. Belajar mengenal Tuhan, menghormati sesama, dan mencintai tanah air dengan keikhlasan. Menyebut pesantren sebagai lembaga penindas sama saja dengan menuduh ibu rumah tangga kejam. Ibu rumah tangga kejam karena menyuruh anaknya menyapu rumah.
Selama berabad-abad, pesantren telah menjadi akar moral bangsa ini. Ia hidup bukan dari kekuasaan, melainkan dari kesabaran dan doa. Maka, ketika publik menuduh santri sebagai budak, yang tersakiti bukan hanya para kiai. Seluruh nilai luhur juga ikut tersakiti. Kerja yang bernilai ibadah, ilmu yang berlandaskan adab, dan kebersamaan yang melampaui pamrih duniawi.
Refleksi: Tentang Keringat, Ilmu, dan Kebebasan Jiwa
Saya masih ingat malam itu, selepas ngecor, kami duduk di beranda masjid. Tubuh lelah, tangan berdebu, namun hati terasa lapang. Kiai datang membawa termos teh dan kopi. Beliau menuangkannya untuk kami satu per satu. Beliau tersenyum. Lalu beliau berkata pelan, “Begitulah cara Allah mengajar—lewat keringat kalian.”
Sejak malam itu saya mengerti: santri bukan budak siapa pun. Kami hanya sedang belajar menjadi manusia merdeka. Manusia yang tidak diikat oleh uang atau jabatan, tapi oleh makna. Di balik pasir, semen, dan peluh itu, sedang tumbuh jiwa-jiwa yang kokoh, rendah hati, dan penuh cahaya.
Mungkin, jika dunia mau menengok sedikit lebih dalam, mereka akan menemukan sesuatu yang hilang dari kehidupan modern. Sesuatu yang hilang itu adalah ketulusan yang tak menuntut balasan. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
