Surau.co.Isra’ dan Mi’raj bukan sekadar kisah perjalanan Nabi Muhammad ﷺ menembus langit. Ia adalah perjalanan iman, akal, dan cinta — peristiwa yang mengajarkan bahwa ketika manusia sudah mencapai batas kemampuan logikanya, di sanalah Allah memperluas cakrawala keimanan.
Dalam kitab Aqīdatul Awwam, Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī menyebutkan peristiwa ini sebagai bagian dari mukjizat besar Rasulullah ﷺ. Mukjizat ini tidak hanya menunjukkan kekuasaan Allah, tetapi juga mengandung pelajaran mendalam tentang ketaatan, kesabaran, dan keagungan spiritual seorang nabi.
Beliau menulis dalam nazhamnya:
وَمِعْرَاجُهُ حَقٌّ وَهِيَ تَفْضِيلٌ
لَهُ بِأَنْوَاعِ الْكَرَامَاتِ الْجَلِيلِ“Mi’raj Nabi adalah kebenaran, dan itu merupakan kemuliaan besar yang Allah anugerahkan kepadanya.”
Dari bait ini, kita belajar bahwa Isra’ dan Mi’raj bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga simbol perjalanan rohani manusia menuju Allah. Mari kita selami maknanya melalui pandangan kitab klasik dan nilai-nilai spiritual yang relevan dengan kehidupan modern.
Isra’ dan Mi’raj dalam Al-Qur’an: Bukti Keagungan Ilahi
Al-Qur’an mengabadikan peristiwa ini dalam surah Al-Isrā’:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 1)
Ayat ini mengandung kata Subhān, yang menandai sesuatu yang luar biasa — sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh Zat Yang Maha Suci dari segala kekurangan. Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan yang tak mungkin dijelaskan oleh fisika atau logika biasa.
Dalam tafsir para ulama, termasuk yang dipegang oleh Syaikh al-Marzūqī, disebutkan bahwa perjalanan ini dilakukan secara jasad dan ruh, bukan hanya mimpi. Artinya, Nabi ﷺ benar-benar berpindah tempat, menembus ruang dan waktu, karena Allah yang memampukannya.
Dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha
Isra’ adalah perjalanan horizontal dari Makkah ke Baitul Maqdis, sementara Mi’raj adalah perjalanan vertikal dari bumi menuju langit ketujuh hingga ke Sidratul Muntaha. Rasulullah ﷺ diperlihatkan berbagai tanda kebesaran Allah: surga, neraka, para nabi terdahulu, serta malaikat yang bertasbih tanpa henti.
Perjalanan ini menggambarkan hubungan yang sempurna antara iman dan amal, antara bumi dan langit. Isra’ menunjukkan pentingnya hubungan manusia dengan sesama (hablun minannas), sedangkan Mi’raj menegaskan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallah).
Pandangan Aqīdatul Awwam: Mukjizat sebagai Pengokoh Iman
Dalam Aqīdatul Awwam, Syaikh Ahmad al-Marzūqī menegaskan bahwa Isra’ dan Mi’raj merupakan mukjizat nyata yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menguatkan keimanan beliau dan umatnya.
Beliau menulis:
وَفَضْلُهُ الْعَظِيمُ لَا يُحْصَى
مِنْهَا الْإِسْرَاءُ وَالْمِعْرَاجُ لِلنَّبِيِّ الْمُصْطَفَى“Keutamaan Nabi sangat banyak, di antaranya peristiwa Isra’ dan Mi’raj bagi Nabi yang terpilih.”
Mukjizat ini bukan hanya pembenaran atas kenabian beliau, tetapi juga ujian bagi keimanan umatnya. Banyak orang yang berpaling karena tidak mampu menerima peristiwa luar biasa ini. Namun Abu Bakar ra. justru berkata, “Jika Muhammad yang mengatakannya, maka aku percaya.” Dari sinilah beliau mendapat gelar Ash-Shiddīq — yang membenarkan dengan sepenuh hati.
Iman di Atas Akal
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj mengajarkan bahwa iman mendahului akal, bukan menolaknya. Islam tidak menafikan rasionalitas, tetapi mengajarkan bahwa ada batas-batas yang tidak bisa ditembus logika manusia. Dalam wilayah itu, iman berperan sebagai penerang.
Ketika logika berhenti di ambang batas realitas duniawi, iman membawa kita menembus dimensi spiritual — sebagaimana Nabi ﷺ menembus langit dengan izin Allah. Maka, Isra’ dan Mi’raj adalah simbol penyerahan total kepada kebenaran Ilahi.
Pelajaran dari Langit: Nilai Spiritual untuk Kehidupan Dunia
- Keteguhan di Tengah Ujian
Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah masa berat yang dikenal sebagai ‘Amul Huzn — tahun kesedihan. Saat itu Rasulullah ﷺ kehilangan Khadijah, istri tercinta, dan Abu Thalib, pelindung beliau. Di tengah duka itu, Allah “mengundang” beliau naik ke langit sebagai bentuk penghiburan spiritual.
Pesan ini amat relevan bagi kita: setiap kesulitan memiliki pintu penghiburan dari Allah. Ketika dunia terasa sempit, carilah kelapangan di hadapan-Nya. Isra’ dan Mi’raj mengajarkan bahwa setelah kesedihan, selalu ada keindahan yang disiapkan Allah bagi hamba yang sabar.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6)
- Shalat: Hadiah Terindah dari Langit
Dari Mi’raj lahir kewajiban shalat lima waktu. Inilah satu-satunya perintah yang diterima Nabi ﷺ tanpa perantara malaikat, langsung dari Allah. Hal ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan shalat dalam Islam.
Syaikh al-Marzūqī menjelaskan bahwa Mi’raj adalah bukti keistimewaan Nabi sekaligus rahmat bagi umatnya, karena dari perjalanan itu Allah menganugerahkan ibadah yang menjadi “mi’raj rohani” bagi setiap muslim.
Ketika seseorang menunaikan shalat dengan khusyuk, sesungguhnya ia sedang menapaki jejak Mi’raj Rasulullah ﷺ — naik menuju kedekatan dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu, setiap takbiratul ihram seharusnya dihayati sebagai awal perjalanan menuju Allah.
Makna Filosofis Isra’ dan Mi’raj dalam Kehidupan Modern
Di era modern yang penuh hiruk pikuk, manusia sering kehilangan arah. Teknologi memperluas jangkauan, tetapi menipiskan makna. Dalam konteks ini, Isra’ dan Mi’raj mengajarkan keseimbangan antara kemajuan dan keimanan.
Isra’ melambangkan perjalanan manusia di dunia: bekerja, belajar, berinteraksi. Mi’raj melambangkan perjalanan batin: introspeksi, dzikir, dan doa. Dua perjalanan ini harus berjalan seiring. Tanpa Isra’, manusia terasing dari realitas sosial. Tanpa Mi’raj, manusia kehilangan arah spiritual.
Isra’ dan Mi’raj mengingatkan bahwa kemajuan tanpa nilai akan hampa, dan spiritualitas tanpa amal akan lumpuh. Keduanya harus menyatu, sebagaimana Nabi ﷺ menyatukan bumi dan langit dalam satu malam.
Meneladani Akhlak Nabi dalam Perjalanan Spiritual
Perjalanan Isra’ dan Mi’raj juga menggambarkan kemuliaan akhlak Nabi ﷺ. Beliau tidak terperangah oleh keajaiban langit, tidak sombong karena kehormatan, justru semakin rendah hati di hadapan Allah.
Nilai ini amat relevan untuk zaman sekarang: semakin tinggi seseorang dalam ilmu atau jabatan, seharusnya semakin tunduk dan penuh syukur. Perjalanan ke langit bukan untuk membanggakan diri, tetapi untuk menundukkan hati.
Isra’ dan Mi’raj sebagai Cermin Cinta Ilahi
Di balik segala kemegahan peristiwa ini, tersimpan makna terdalam: cinta Allah kepada Rasul-Nya. Ketika dunia menolak, Allah memanggil kekasih-Nya untuk melihat langsung tanda-tanda kebesaran-Nya. Itu adalah pelukan kasih dari langit kepada bumi.
Bagi umat Islam, Isra’ dan Mi’raj adalah ajakan untuk menumbuhkan cinta kepada Allah dan Rasul. Setiap sujud, setiap dzikir, adalah langkah kecil menuju langit — langkah yang akan bermakna jika dilakukan dengan hati yang tulus.
Penutup
Isra’ dan Mi’raj bukan sekadar kenangan sejarah, melainkan cermin perjalanan hidup setiap manusia. Setiap kita memiliki “Isra’” — perjalanan dari gelap menuju cahaya, dan “Mi’raj” — pendakian menuju makna tertinggi kehidupan.
Syaikh Ahmad al-Marzūqī menutup ajarannya dengan keyakinan bahwa mukjizat ini adalah bukti nyata kasih sayang Allah kepada umat Muhammad ﷺ. Barang siapa memahami maknanya, maka hatinya akan selalu terhubung dengan langit, walau kakinya berpijak di bumi.
“Langit mungkin jauh, tetapi Allah tidak pernah jauh dari hati yang beriman.”
Maka, setiap kali engkau berwudhu, berdiri, dan mengangkat tangan untuk shalat, ingatlah — engkau sedang melangkah di jejak Mi’raj Rasulullah ﷺ. Naiklah, meski hanya dengan hati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
