Khazanah
Beranda » Berita » Sirah Nabi: Pelajaran Hidup dari Kisah Sang Kekasih Allah dalam Aqīdatul Awwām

Sirah Nabi: Pelajaran Hidup dari Kisah Sang Kekasih Allah dalam Aqīdatul Awwām

ilustrasi pemuda menelusuri jejak sirah Nabi dalam cahaya malam spiritual
Siluet seorang pemuda berjalan di bawah cahaya rembulan di padang pasir, menatap jejak kaki Rasulullah ﷺ yang bercahaya lembut di pasir. Langit bertabur bintang, melambangkan warisan kenabian yang abadi.

Surau.co. Dalam kehidupan modern yang penuh kebisingan dan hiruk-pikuk pencarian jati diri, banyak remaja mencari figur teladan. Ada yang menemukannya pada tokoh publik, seniman, atau pemimpin dunia. Namun, sedikit yang sadar bahwa teladan sejati telah hadir jauh sebelum mereka — Rasulullah ﷺ, manusia yang menjadi cerminan kasih, sabar, dan kebijaksanaan.

Kitab Aqīdatul Awwām karya Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī mengajarkan tentang iman kepada para nabi, dan puncaknya adalah keimanan kepada Nabi Muhammad ﷺ, penutup para rasul. Dalam nazhamnya yang masyhur beliau menulis:

وَخَاتَمُهُمْ مُحَمَّدٌ فَاعْلَمْ
دَعَاهُ لِلْهُدَى بِخَيْرِ كَلِمْ

“Dan penutup mereka adalah Muhammad, ketahuilah; Allah memanggilnya untuk memberi petunjuk dengan kalam yang terbaik.”

Bait ini menjadi penegasan bahwa Rasulullah ﷺ adalah cahaya terakhir dari langit, yang membawa kesempurnaan risalah dan teladan hidup bagi seluruh umat manusia. Maka, mengenal beliau bukan sekadar mengetahui sejarah, melainkan memahami makna hidup yang sejati.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Kitab Aqīdatul Awwām tidak menuturkan kisah Nabi ﷺ secara detail, tetapi menggambarkan keagungan pribadi beliau sebagai bukti kenabian dan rahmat Allah.
Syaikh al-Marzūqī menulis agar setiap Muslim, dari anak-anak hingga dewasa, dapat memahami dasar keimanan dengan hati yang hidup, bukan sekadar hafalan.

Sirah Nabi bukan sekadar kumpulan peristiwa dari kelahiran hingga wafat, melainkan cermin perjalanan manusia menuju Allah. Dalam setiap episode hidup Rasulullah ﷺ — dari kesunyian Gua Hira hingga perjuangan di medan Badar, dari hijrah hingga Fathu Makkah — kita menemukan pelajaran tentang cinta, perjuangan, dan kesabaran.

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian.” — (QS. Al-Ahzāb [33]: 21)

Ayat ini bukan hanya ajakan untuk mengenang, tetapi perintah untuk meneladani. Sirah Nabi menjadi jalan bagi setiap Muslim untuk menemukan makna hidup dan arah perjalanan spiritualnya.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Kelahiran yang Dikelilingi Cahaya: Awal dari Cinta Ilahi

Kisah Nabi dimulai dari sebuah peristiwa yang penuh cahaya. Rasulullah ﷺ lahir pada hari Senin, 12 Rabi‘ul Awal, di kota Makkah — sebuah hari yang kelak menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Syaikh al-Marzūqī menggambarkan beliau sebagai “Sayyid al-Mursalin” (pemimpin para rasul), yang kedatangannya telah disebut dalam kitab-kitab terdahulu.

Dalam hadits disebutkan:

أَنَا دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى، وَرَأَتْ أُمِّي حِينَ حَمَلَتْ بِي نُورًا خَرَجَ مِنْهَا أَضَاءَ لَهَا قُصُورُ الشَّامِ
“Aku adalah doa ayahku Ibrahim, kabar gembira dari Isa, dan ibuku melihat cahaya keluar darinya ketika mengandungku yang menerangi istana-istana Syam.” — (HR. Ahmad)

Cahaya yang disebut dalam riwayat itu bukan sekadar fenomena fisik, melainkan simbol bahwa kehadiran Nabi ﷺ membawa penerangan bagi seluruh hati manusia.
Di era modern, cahaya itu masih menyinari siapa pun yang mau membuka hati dan meneladani jalan beliau.

Amanah Dakwah: Dari Kesunyian ke Cahaya

Sebelum wahyu turun, Rasulullah ﷺ adalah sosok yang jujur, dikenal dengan sebutan al-Amīn. Ia hidup sederhana, bekerja keras, dan dikenal karena keadilan dalam berdagang.
Namun segalanya berubah ketika wahyu pertama turun di Gua Hira:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” — (QS. Al-‘Alaq [96]: 1)

Dari momen itu, beliau bertransformasi dari seorang pedagang menjadi guru peradaban, dari manusia biasa menjadi pembawa risalah abadi.
Beliau tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga membentuk masyarakat yang adil, penuh kasih, dan berilmu.

Kitab Aqīdatul Awwām menegaskan pentingnya menerima segala yang dibawa Rasul:

فَكُلُّ مَا أَتَى بِهِ الرَّسُولُ
فَحَقُّهُ التَّسْلِيمُ وَالْقَبُولُ

“Segala yang dibawa oleh Rasul wajib diterima dengan penuh kepasrahan dan penerimaan.”

Maknanya jelas: setiap ajaran Nabi ﷺ bukan sekadar hukum, tapi petunjuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kesabaran dan Kelembutan: Dua Sayap Dakwah

Rasulullah ﷺ menghadapi penolakan, penghinaan, bahkan ancaman pembunuhan. Namun beliau tidak membalas dengan kebencian.
Beliau bersabda:

اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.” — (HR. Bukhari)

Inilah rahasia kekuatan beliau — kesabaran yang lahir dari kasih.
Syaikh al-Marzūqī dalam syarah Aqīdatul Awwām menjelaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ diutus dengan rahmat, bukan kekerasan. Dakwah beliau adalah seni menuntun manusia dengan cinta, bukan memaksa mereka dengan ketakutan.

Bagi remaja masa kini, pelajaran ini amat relevan. Dalam dunia yang sering keras dan kompetitif, kelembutan adalah bentuk kekuatan tertinggi.
Belajar dari Nabi, kita diajarkan bahwa membalas kebencian dengan kasih sayang adalah tanda kematangan spiritual.

Hijrah: Langkah Menuju Kebebasan Jiwa

Hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah bukan hanya peristiwa sejarah, tapi simbol perubahan menuju kebaikan.
Dalam hijrah itu terkandung makna meninggalkan kegelapan menuju cahaya, dari keterikatan dunia menuju kedekatan kepada Allah.

Al-Qur’an menggambarkan momen itu dengan keindahan:

إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ… إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya… ketika keduanya berada di gua, dan dia berkata kepada sahabatnya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” — (QS. At-Taubah [9]: 40)

Hijrah mengajarkan bahwa kemenangan bukan ditentukan oleh kekuatan fisik, tapi oleh keyakinan kepada Allah.
Remaja yang membaca sirah Nabi seharusnya menyadari bahwa hijrah bukan hanya pindah tempat, tapi pindah hati — dari malas menjadi rajin, dari lalai menjadi sadar.

Akhlak Nabi: Cermin dari Cinta Ilahi

Rasulullah ﷺ dikenal bukan karena kekuasaan, tetapi karena akhlaknya yang agung.
Aisyah رضي الله عنها berkata:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” — (HR. Muslim)

Beliau tersenyum kepada orang miskin, menghormati anak-anak, dan memuliakan perempuan.
Akhlaknya bukan sekadar etika sosial, tapi manifestasi cinta Ilahi dalam bentuk paling nyata.

Syaikh al-Marzūqī menempatkan keimanan kepada Nabi ﷺ di puncak akidah, karena beliau adalah perantara kasih Allah kepada manusia.
Mencintai Nabi berarti meneladani akhlaknya dalam keseharian — jujur di tengah kebohongan, sabar dalam ujian, dan dermawan dalam kesempitan.

Warisan Nabi: Bukan Kekuasaan, Tapi Cahaya Ilmu

Rasulullah ﷺ wafat tanpa meninggalkan harta, tapi meninggalkan ilmu dan teladan.
Beliau bersabda:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” — (HR. Abu Dawud)

Warisan itu terus hidup dalam karya ulama seperti Syaikh Ahmad al-Marzūqī, yang menulis Aqīdatul Awwām agar umat mengenal dasar keimanan dan mencintai Rasulullah ﷺ.
Melalui kitab ini, generasi muda diajak untuk memahami agama dengan hati yang lembut dan akal yang terbuka.

Penutup

Kisah Nabi bukan sekadar masa lalu. Ia adalah peta hidup bagi setiap manusia yang ingin menemukan kedamaian sejati. Dalam setiap kisah perjuangan, dalam setiap doa dan senyumnya, Rasulullah ﷺ meninggalkan jejak cinta yang abadi.

Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” — (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 107)

Maka, mengenal sirah Nabi bukan sekadar membaca sejarah, tetapi menyentuh rahmat Allah melalui kehidupan sang kekasih-Nya.
Dan setiap kali kita menyebut nama beliau dengan cinta, sesungguhnya kita sedang menyalakan cahaya itu dalam hati kita sendiri.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نُورِ الْوُجُودِ وَسَبَبِ كُلِّ سُعُودٍ
“Ya Allah, limpahkanlah salawat kepada junjungan kami Muhammad, cahaya seluruh wujud dan sebab segala kebahagiaan.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement