Surau.co. Setiap jiwa menempuh perjalanan panjang di antara dua tebing: cahaya dan kegelapan. Dalam kitab Ḥikmat al-Ishrāq, Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī — sang Shaykh al-Isyrāq, sang Filsuf Cahaya — menulis bahwa seluruh wujud adalah bayangan dari nur Ilahi, dan setiap bayangan selalu merindukan sumber terangnya.
Namun di antara terang dan gelap itu, ruh manusia berjuang: mencari arah, makna, dan pulang.
Filsafat Isyraq bukan sekadar sistem berpikir, tapi peta perjalanan jiwa. Ia menunjukkan bahwa di balik setiap kegelapan, ada cahaya yang tersembunyi — dan di balik setiap cahaya, ada kesadaran yang harus disucikan.
Ketika Hidup Terasa Redup
Ada masa ketika hidup terasa berat. Langit batin mendung, hati kehilangan gema, dan dunia tampak tanpa makna.
Suhrawardī memahami kegelapan ini bukan sebagai musibah, melainkan tahap perjalanan ruh.
Ia menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:
«الظلمةُ ليستْ وجوداً، بل هي غيابُ النورِ»
“Kegelapan bukanlah sesuatu yang ada, melainkan ketiadaan cahaya.”
Kegelapan hanyalah ruang kosong tempat cahaya belum masuk. Karena itu, tugas manusia bukan melawan gelap, tapi menyalakan terang.
Setiap doa, setiap keheningan, setiap tangis dalam kesendirian — adalah usaha kecil untuk menyalakan lentera di dalam jiwa.
Cahaya Sebagai Asal dan Tujuan Ruh
Menurut filsafat Isyraq, seluruh eksistensi berawal dan berakhir pada cahaya.
Dari Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya), terpancar lapisan-lapisan wujud — mulai dari malaikat hingga manusia.
Suhrawardī menulis:
«كلُّ نورٍ أدنى يستمدُّ وجودَهُ من النورِ الأعلى»
“Setiap cahaya yang lebih rendah menerima keberadaannya dari cahaya yang lebih tinggi.”
Ruh manusia pun demikian. Ia bukan ciptaan dari tanah semata, tapi pantulan dari Cahaya Tertinggi.
Namun ketika ruh turun ke dunia materi, ia terselimuti kegelapan tubuh dan nafsu. Maka hidup di dunia bukan sekadar “ada”, melainkan tugas untuk menyingkap cahaya yang tersembunyi di balik diri.
Perjalanan Ruh: Dari Gelap ke Terang
Suhrawardī menjelaskan bahwa jiwa manusia seperti burung cahaya yang terperangkap di dalam sangkar jasad. Ia lupa asalnya, tapi masih menyimpan rindu yang samar.
Dalam salah satu bagian Ḥikmat al-Ishrāq, ia menulis:
«الروحُ إذا تذكرتْ موطنَها الأصليَّ اشتعلَ فيها نورُ الشوقِ»
“Ketika ruh mengingat asalnya, maka nyala kerinduan menyala di dalamnya.”
Kerinduan inilah yang menuntun manusia menuju kebenaran — lewat doa, perenungan, dan pencarian makna.
Kadang jalan itu berliku, melewati kesedihan, kehilangan, bahkan kebisuan batin. Namun justru di situ cahaya bekerja paling halus: ia menuntun tanpa suara.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun sering merasakannya. Saat lelah namun tetap ingin berbuat baik, saat kecewa tapi tetap berdoa, saat gagal namun tetap percaya — di situlah ruh sedang berjalan dalam jalan Isyraq.
Cahaya yang Menyucikan Jiwa
Filsafat Isyraq tidak berhenti pada metafisika, tapi mengajarkan praktik penyucian batin.
Cahaya tidak akan menetap di hati yang kotor. Untuk mengenal hakikat, manusia harus menyingkirkan kabut ego, amarah, dan keserakahan.
Suhrawardī berkata:
«النفسُ إذا صفَتْ من كدرِ الطبيعةِ، أشرقَ فيها النورُ الإلهيُّ»
“Ketika jiwa dibersihkan dari kekeruhan dunia, cahaya Ilahi akan bersinar di dalamnya.”
Membersihkan diri bukan berarti menjauhi dunia, tapi melihat dunia dengan cara yang baru — sebagai bayangan dari Cahaya Ilahi.
Ketika seseorang bekerja dengan jujur, membantu tanpa pamrih, atau memaafkan dengan tulus, ia sedang menyalakan lampu kecil di jalan Isyraq.
Dan setiap lampu kecil itu, jika diteruskan, akan membentuk fajar yang menghapus seluruh malam batin.
Antara Kegelapan dan Cahaya: Tempat Kita Berdiri
Kehidupan manusia selalu berada di perbatasan: antara terang dan gelap, ilmu dan iman, akal dan cinta.
Dalam pandangan Suhrawardī, perbatasan itu bukan kutukan, melainkan tempat pembentukan jiwa.
Tanpa gelap, manusia tak akan mencari terang; tanpa rindu, tak akan mengenal cinta.
«النورُ لا يُعرفُ إلا بالظلمةِ، كما لا يُرى النجمُ إلا في الليلِ»
“Cahaya tidak akan dikenal tanpa kegelapan, sebagaimana bintang tak terlihat kecuali di malam hari.”
Kegelapan, dengan segala rasa sakitnya, ternyata juga bagian dari rahmat.
Ia mengajarkan keheningan, kesabaran, dan kerendahan hati.
Dan ketika cahaya akhirnya datang, kita tak lagi sombong karena tahu: yang menyinari bukan diri, tapi Tuhan.
Cahaya dalam Al-Qur’an: Jalan Lembut Menuju Tuhan
Al-Qur’an mengajarkan hal yang sama dalam bahasa wahyu:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)
Ayat ini menegaskan bahwa seluruh realitas adalah pancaran cahaya Tuhan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا دَخَلَ النُّورُ الْقَلْبَ انْفَسَحَ وَانْشَرَحَ»
“Ketika cahaya memasuki hati, hati itu akan terbuka dan lapang.” (HR. Ibn Mājah)
Artinya, pencerahan sejati bukan datang dari luar, tetapi dari dalam — saat hati menjadi wadah bagi Nur Ilahi.
Refleksi: Menjadi Cahaya di Tengah Kegelapan
Dalam dunia yang gelap oleh ambisi dan ketakutan, Suhrawardī mengajak manusia menjadi cahaya.
Bukan cahaya yang membakar, tapi yang menghangatkan.
Bukan yang berteriak, tapi yang menuntun dalam diam.
Ketika seseorang berbuat baik tanpa disorot, menolong tanpa ditanya, atau mencintai tanpa pamrih — di sanalah Hikmat al-Ishrāq hidup.
Jalan Isyraq bukan jalan para malaikat, tapi jalan manusia yang belajar menjadi terang meski masih membawa bayangan.
Penutup: Ruh yang Kembali ke Fajar
Suhrawardī menulis:
«النهايةُ عودةُ النورِ إلى مصدرِه»
“Akhir dari segala perjalanan adalah kembalinya cahaya kepada sumbernya.”
Dan di situlah tujuan setiap ruh: bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk kembali menyala sebagaimana ia diciptakan.
Hidup di dunia ini hanyalah senja panjang antara siang dan malam; tapi bagi yang terus mencari cahaya, senja bukan akhir, melainkan janji akan terbitnya fajar baru.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
