Khazanah
Beranda » Berita » Filsafat dari Timur Cahaya: Seruan Suhrawardī bagi Jiwa yang Haus

Filsafat dari Timur Cahaya: Seruan Suhrawardī bagi Jiwa yang Haus

ilustrasi pengelana disinari cahaya matahari terbit
Pengelana yang menatap fajar sebagai simbol pencarian hikmah dari Timur spiritual.

Surau.co. Ada saat ketika akal terasa kering, dan hati kehilangan arah. Pengetahuan menumpuk di kepala, namun jiwa terasa lapar. Dalam kegersangan itu, datanglah suara lembut dari Timur — bukan dari peta, melainkan dari arah cahaya. Di sanalah Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī, sang Shaykh al-Isyrāq, berbicara melalui kitabnya Ḥikmat al-Ishrāq (Filsafat Iluminasi). Ia menyeru kepada jiwa yang haus, agar meneguk hikmah dari mata air cahaya, bukan hanya dari logika.

Ketika Akal Tak Lagi Menghapus Dahaga

Setiap hari manusia dikepung informasi — berita, teori, data — seolah dunia adalah labirin tanpa jalan keluar. Akal sibuk mencerna, tapi hati tetap hampa. Suhrawardī memahami krisis ini delapan abad lalu: pengetahuan tanpa cahaya hanyalah kegelapan yang tersamar.

Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, ia menulis:

«العلمُ الحقيقيُّ هو النورُ الذي يفيضُ على النفسِ من العالمِ الأعلى»
“Pengetahuan sejati adalah cahaya yang memancar ke jiwa dari dunia yang lebih tinggi.”

Pengetahuan bukan hasil hafalan, tapi pancaran dari realitas yang murni. Ia turun ke hati yang siap, seperti fajar yang hanya menyinari langit tanpa kabut.
Karena itu, manusia modern yang lelah oleh teori dan konsep perlu menengok ke Timur Cahaya — tempat pengetahuan bukan diajarkan, melainkan disinarkan.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Timur Sebagai Simbol: Bukan Arah, Tapi Kesadaran

Dalam filsafat Isyraq, “Timur” bukan geografi, melainkan arah spiritual. Timur adalah tempat matahari terbit, tempat kebenaran muncul. Sedangkan “Barat” adalah simbol dari materialitas dan kegelapan intelektual.
Suhrawardī berkata:

«لِكلِّ شيءٍ مشرقٌ ومغربٌ، فكنْ أنتَ من أهلِ المشرقِ»
“Segala sesuatu memiliki Timur dan Barat, maka jadilah engkau termasuk penghuni Timur.”

Menjadi “penghuni Timur” berarti menyalakan hati agar menjadi cermin bagi cahaya Ilahi. Manusia Timur bukan karena lahir di timur bumi, tapi karena pikirannya mengarah ke sumber cahaya — bukan ke bayangannya.

Dalam konteks hari ini, Timur Cahaya adalah kesadaran yang tidak berhenti di rasio. Ia menuntun manusia untuk merasakan makna di balik kata, untuk membaca dunia sebagaimana Al-Qur’an mengajarkan: dengan hati yang melihat.

Jiwa yang Haus dan Mata Air Cahaya

Dalam hidup, kita sering meneguk banyak hal untuk menghilangkan dahaga: pencapaian, pujian, kekuasaan, cinta manusia. Namun, semuanya cepat menguap.
Suhrawardī tahu bahwa haus manusia bukan haus duniawi, melainkan haus akan nur — cahaya yang menghubungkan jiwa dengan asalnya.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Ia menulis:

«النفوسُ العاقلةُ إذا اشتاقتْ إلى موطنِها الأعلى، اشتعلَ فيها نورُ الحنينِ»
“Ketika jiwa yang berakal merindukan asalnya yang tinggi, di dalamnya menyala cahaya kerinduan.”

Cahaya kerinduan itulah yang membuat manusia mencari kebenaran sejati. Kadang melalui doa, kadang melalui tangis, kadang melalui kesunyian malam.
Suhrawardī tidak memisahkan filsafat dari spiritualitas; baginya, berpikir adalah bentuk ibadah — menyalakan akal dengan zikir.

Ketika Cahaya Menyapa Hati

Filsafat Isyraq mengajarkan bahwa segala wujud adalah tingkatan cahaya. Yang tertinggi adalah Nūr al-Anwār — Cahaya dari segala cahaya — yaitu Tuhan. Semua yang ada hanyalah pantulan dan bayangan dari-Nya.

«كلُّ وجودٍ شعاعٌ من النورِ الأعلى»
“Setiap wujud adalah pancaran dari Cahaya Tertinggi.”

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Kalimat ini sederhana, tapi mengubah cara kita memandang dunia.
Jika segalanya adalah pancaran cahaya, maka tidak ada hal yang benar-benar jauh dari Tuhan. Bahkan luka, kehilangan, dan kegelapan pun adalah bagian dari gerak cahaya — karena kegelapan hanyalah cahaya yang belum dikenal.

Saat kita mulai melihat dunia dengan cara ini, keindahan muncul dari hal-hal kecil.
Setiap pertemuan menjadi ayat, setiap perpisahan menjadi doa, dan setiap kesedihan menjadi jalan pulang.

Seruan Suhrawardī: Dari Pikiran ke Pencerahan

Suhrawardī menolak untuk menjadikan filsafat sekadar permainan konsep. Ia menyeru agar manusia mengalami kebenaran, bukan hanya memikirkannya.
Ia berkata:

«من ذاقَ النورَ عَرَفَ، ومن لم يذقْ فلنْ يعرفْ»
“Siapa yang telah mengecap cahaya, ia tahu; siapa yang belum, takkan pernah tahu.”

Inilah seruan bagi jiwa yang haus: berhenti mencari air di padang pasir teori. Datanglah ke mata air batin — ke dalam dirimu sendiri.
Cahaya itu tidak jauh, hanya tertutup oleh debu ego dan ambisi. Ketika hati dibersihkan, akal menjadi terang, dan ilmu berubah menjadi kebijaksanaan.

Cahaya dalam Wahyu: Allah sebagai Sumber Iluminasi

Al-Qur’an menegaskan konsep ini dalam ayat yang sering dianggap dasar dari seluruh filsafat Isyraq:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini bukan metafora puitis belaka. Ia menegaskan bahwa wujud dan kesadaran bersumber dari cahaya Ilahi.
Nabi ﷺ pun bersabda:

«إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ نُورًا، وَنُورُ الْقَلْبِ الذِّكْرُ»
“Segala sesuatu memiliki cahaya, dan cahaya hati adalah zikir.” (HR. Dailami)

Maka, jalan menuju Timur Cahaya tidak ditempuh dengan langkah fisik, tapi dengan mengingat. Dengan menyalakan lampu kecil dalam hati — nama Allah — sampai seluruh ruang batin terang.

Refleksi: Menjadi Manusia Timur di Tengah Dunia Barat

Kita hidup di masa di mana Barat — simbol dari kecepatan, logika, dan materi — mendominasi segala hal. Namun, seruan Suhrawardī masih bergema: “Kembalilah ke Timur, tempat fajar menyala.”
Menjadi manusia Timur hari ini bukan berarti meninggalkan teknologi atau ilmu, tapi mengisi ilmu dengan cahaya, dan menuntun teknologi dengan hikmah.

Dalam kesibukan kerja, sempatkan sejenak menatap langit pagi. Di situlah pelajaran Suhrawardī disampaikan tanpa kata: bahwa setiap hari matahari terbit bukan sekadar fenomena, tapi simbol dari kesadaran yang terus dipanggil untuk bangkit.

Penutup: Cahaya Bagi Jiwa yang Haus

Filsafat Isyraq adalah jalan pulang yang lembut. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak datang dari perdebatan, tapi dari penyucian. Tidak dari banyak kata, tapi dari keheningan yang bercahaya.
Suhrawardī menulis:

«من استنارَ قلبُهُ بنورِ المشرقِ، استغنى عن كلِّ دليلٍ»
“Siapa yang hatinya diterangi oleh cahaya Timur, tak lagi memerlukan dalil.”

Itulah puncak hikmah: ketika hati yang terang menjadi kompas bagi akal.
Dan di situlah, filsafat berubah menjadi doa — bukan untuk memahami Tuhan, tapi untuk hidup di bawah cahaya-Nya.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponoogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement