Surau.co. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh kesibukan dan dosa, ada makhluk-makhluk suci yang hidup hanya untuk beribadah kepada Allah. Mereka tidak makan, tidak tidur, tidak bernafsu, dan tidak pernah durhaka. Mereka adalah malaikat — makhluk tanpa dosa, diciptakan dari cahaya, sebagaimana disebut dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ:
خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ
“Malaikat diciptakan dari cahaya.” (HR. Muslim)
Dalam kitab Aqīdatul Awwam karya Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī, malaikat disebut sebagai makhluk mulia yang senantiasa taat dan tidak pernah menentang perintah Allah. Mereka memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan semesta: membawa wahyu, mencatat amal, menurunkan hujan, menjaga manusia, hingga mencabut nyawa.
Syaikh al-Marzūqī mengawali pembahasan tentang malaikat dengan bait syair yang indah:
ثُمَّ اعْلَمَنْ أَنَّ الْمَلَائِكَةْ
عِبَادُ رَبٍّ خُلِقُوا مِنْ نُورَةْ“Ketahuilah bahwa malaikat adalah hamba Tuhan, yang diciptakan dari cahaya.”
Bait sederhana ini mengandung makna dalam: malaikat adalah simbol kesucian dan kepatuhan total. Melalui pemahaman tentang mereka, kita diajak merenungi arti taat dan tunduk yang sesungguhnya kepada Allah.
Hakikat Malaikat: Ciptaan Cahaya yang Tak Pernah Membangkang
Malaikat bukan manusia, bukan jin, dan bukan makhluk yang memiliki hawa nafsu. Mereka diciptakan dari nur — cahaya yang lembut dan suci. Dengan bahan penciptaan ini, Allah menjadikan malaikat mampu bergerak cepat, tidak makan dan tidak minum, serta tidak mengenal rasa lelah.
Allah berfirman:
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini menegaskan bahwa ketaatan malaikat bersifat absolut. Mereka tidak memiliki kehendak bebas seperti manusia. Tidak ada dalam kamus malaikat istilah “melanggar perintah.” Itulah sebabnya mereka disebut makhluk tanpa dosa.
Jumlah Malaikat dan Keagungan Tugasnya
Kitab Aqīdatul Awwam menjelaskan bahwa jumlah malaikat tidak terhitung banyaknya, hanya Allah yang mengetahui jumlah pastinya. Namun, umat Islam wajib mengenal sepuluh malaikat utama dan tugas-tugasnya — mulai dari Jibril yang membawa wahyu hingga Malik penjaga neraka.
Syaikh al-Marzūqī menuliskan:
وَجِبَ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ الرُّسُلَا
مِنَ الْمَلَائِكِ الْعِظَامِ عُدُّوا أَوَّلَا
Beliau kemudian menyebut nama-nama malaikat besar itu: Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, Atid, Malik, dan Ridwan.
Setiap malaikat memiliki peran yang menunjukkan kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Misalnya, Mikail mengatur rezeki, sementara Raqib dan Atid mencatat amal baik dan buruk manusia. Keberadaan mereka adalah pengingat lembut bahwa setiap perbuatan kita disaksikan dan direkam dengan teliti.
Ketaatan Total: Malaikat Sebagai Cermin Ketulusan Ibadah
Berbeda dengan manusia, malaikat tidak memiliki nafsu. Mereka tidak mengenal rasa lapar, haus, cinta dunia, atau keinginan pribadi. Karena itu, mereka tidak berdosa. Ketaatan mereka bukan karena takut siksa, melainkan karena itulah hakikat penciptaan mereka.
Namun, ketaatan malaikat juga menjadi cermin bagi manusia. Kita, yang diberi pilihan antara taat dan maksiat, diajak untuk meneladani ketulusan mereka. Walau tidak mungkin mencapai tingkat kesucian malaikat, manusia dapat meniru kesungguhan dan konsistensi mereka dalam beribadah.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ
“Mereka (para malaikat) bertasbih siang dan malam, tanpa pernah berhenti.” (QS. Al-Anbiya: 20)
Betapa kontrasnya dengan manusia yang mudah lelah beribadah. Namun dari ayat ini, kita belajar bahwa keberlanjutan ibadah adalah bukti cinta, bukan paksaan. Malaikat mengajarkan arti keikhlasan murni dalam berbakti kepada Allah.
Ketaatan Malaikat dan Makna Pengabdian
Dalam konteks kehidupan modern, ketaatan malaikat bisa dimaknai sebagai disiplin spiritual. Mereka menjalankan tugasnya tanpa pamrih, tanpa menuntut imbalan. Inilah bentuk pengabdian yang sejati. Seorang guru yang mengajar dengan niat ikhlas, seorang dokter yang menolong tanpa pamrih, atau seorang ibu yang mendidik anaknya dengan sabar — semuanya meneladani sifat malaikat dalam wujud manusiawi.
Kita tidak akan pernah menjadi malaikat, tetapi kita bisa menyalakan secercah cahaya malaikat di dalam diri melalui amal yang ikhlas.
Malaikat dalam Kitab Aqīdatul Awwam: Antara Iman dan Penghayatan
Dalam Aqīdatul Awwam, pembahasan tentang malaikat termasuk bagian dari iman kepada enam rukun iman. Seorang mukmin wajib mempercayai keberadaan malaikat, meskipun tidak pernah melihatnya. Keimanan ini menumbuhkan kesadaran bahwa dunia tak hanya berisi hal-hal yang tampak, tapi juga kekuatan gaib yang berjalan sesuai kehendak Allah.
Syaikh al-Marzūqī menyusun bait tentang malaikat dengan gaya yang mudah diingat agar anak-anak dan awam bisa menghafalnya sejak kecil. Itulah keindahan tradisi keilmuan Islam klasik — mengajarkan yang berat dengan cara yang ringan.
فَآمِنُوا بِهِمْ كَمَا قَدْ جَاءَ فِي الْكِتَابْ
“Berimanlah kepada mereka sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab (wahyu).”
Pelajaran dari Ketaatan Malaikat dalam Kehidupan Sehari-hari
Keberadaan malaikat memberi pelajaran moral bagi manusia: kesucian niat, ketekunan dalam tugas, dan ketulusan dalam ketaatan. Dalam dunia yang penuh pencitraan dan kompetisi, malaikat mengingatkan kita bahwa yang paling penting bukanlah penilaian manusia, tetapi pandangan Allah.
Malaikat Raqib dan Atid, misalnya, menjadi simbol bahwa setiap amal kecil sekalipun dicatat. Sementara Jibril menjadi simbol ilmu dan wahyu — mengajarkan bahwa pengetahuan sejati datang dari cahaya petunjuk Ilahi, bukan hanya dari logika duniawi.
Manusia dan Malaikat: Dua Cermin Kehendak Allah
Allah menciptakan manusia dengan akal dan kehendak, sementara malaikat diciptakan dengan kepatuhan penuh. Perbedaan ini bukan untuk membandingkan siapa lebih mulia, tetapi menunjukkan keindahan variasi ciptaan Allah.
Ketika manusia memilih taat dalam keadaan bisa bermaksiat, maka derajatnya bisa lebih tinggi dari malaikat. Namun jika ia memilih durhaka, maka ia bisa lebih rendah dari binatang. Malaikat tidak punya pilihan selain taat, sedangkan manusia diberi kebebasan untuk memilih. Di sinilah nilai perjuangan spiritual manusia diuji.
Kesucian Malaikat dan Perjalanan Suci Manusia
Kesucian malaikat adalah pemberian, sementara kesucian manusia adalah hasil perjuangan. Karena itu, setiap upaya manusia untuk menahan hawa nafsu, menahan amarah, atau menolak kejahatan adalah langkah menuju cahaya yang sama — cahaya ketaatan yang menyinari hati para malaikat.
Dengan mengenal malaikat, kita mengenal arah hidup: bahwa tujuan utama bukan kekuasaan atau kesenangan, melainkan menjadi hamba yang tulus seperti mereka. Itulah makna terdalam dari iman kepada malaikat.
Penutup
Dalam kesunyian malam, ketika manusia lelah dan tertidur, malaikat masih bertasbih memuji Tuhannya. Mereka berdoa untuk manusia yang berzikir, memohonkan ampun bagi hamba yang beriman, dan mencatat amal kebaikan yang sering kali kita lupakan.
Bayangkan, ada makhluk yang terus mendoakan kita tanpa pamrih, tanpa mengenal letih. Betapa besarnya kasih sayang Allah yang mengutus mereka menjaga kita setiap saat.
Syaikh Ahmad al-Marzūqī menutup bait tentang malaikat dengan ajakan halus agar manusia selalu mengingat keberadaan mereka — bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihayati.
Maka, memahami malaikat bukan sekadar mengenal nama-nama mereka, tetapi juga meneladani cahaya yang mereka bawa. Dalam setiap sujud dan doa, semoga ada percikan nur malaikat yang menyinari hati kita — menjadikannya lembut, patuh, dan damai di bawah kasih sayang Allah.
“Siapa yang berzikir di tengah malam, para malaikat mengelilinginya dengan sayap-sayap doa.”
Dan semoga setiap langkah kita menjadi bagian dari tasbih semesta — bersama malaikat, dalam cahaya yang tak pernah padam.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
