Surau.co. Pernahkah kita berpikir, bagaimana manusia bisa tahu tentang Allah, kebaikan, dan kehidupan setelah mati? Jawabannya bukan dari imajinasi manusia, melainkan dari wahyu — pesan suci yang turun dari langit kepada manusia pilihan: para nabi dan rasul.
Kitab Aqīdatul Awwām karya Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī mengajarkan bahwa Allah telah menurunkan empat kitab suci sebagai pedoman hidup manusia: Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an.
Dalam salah satu baitnya beliau menulis:
وَكُلُّ مَا أَتَى بِهِ الرَّسُولُ
فَحَقُّهُ التَّسْلِيمُ وَالْقَبُولُ“Segala yang dibawa oleh Rasul, wajib diterima dengan penuh kepasrahan dan penerimaan.”
Bait ini menegaskan bahwa wahyu bukan sekadar teks, melainkan jembatan antara langit dan bumi — antara kehendak Ilahi dan kehidupan manusia.
Makna Wahyu dan Pentingnya Kitab Suci
Dalam Islam, wahyu berarti kalam Allah yang diturunkan kepada para nabi sebagai petunjuk hidup.
Setiap wahyu membawa pesan universal: tauhid, moralitas, dan keadilan.
Al-Qur’an menyatakan:
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya.” — (QS. Al-Mā’idah [5]: 44)
Dari ayat ini, kita memahami bahwa setiap kitab suci adalah cahaya yang membimbing langkah manusia di kegelapan zaman.
Ketika manusia tersesat oleh hawa nafsu, wahyu datang untuk menuntun mereka kembali kepada fitrah kemanusiaan.
Kitab Aqīdatul Awwām menegaskan bahwa beriman kepada kitab-kitab Allah adalah bagian dari rukun iman. Iman bukan hanya percaya kitab itu ada, tetapi juga memahami dan mengamalkan pesan yang dibawanya — terutama Al-Qur’an, kitab terakhir yang menyempurnakan semuanya.
Taurat: Pedoman Bani Israil dan Kekuatan Hukum Ilahi
Taurat adalah kitab suci pertama yang diturunkan kepada Nabi Musa عليه السلام.
Allah berfirman:
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِن كُلِّ شَيْءٍ مَّوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِّكُلِّ شَيْءٍ
“Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (papan-papan) nasihat dan penjelasan tentang segala sesuatu.” — (QS. Al-A‘rāf [7]: 145)
Taurat diturunkan untuk menjadi panduan hukum bagi Bani Israil. Ia menegakkan nilai keadilan, disiplin, dan ketaatan kepada perintah Allah.
Namun, seiring waktu, sebagian pengikutnya mengubah isinya — menjadikannya alat kepentingan, bukan sarana kedekatan dengan Allah.
Dalam konteks modern, pesan Taurat masih relevan: hukum dan keadilan tidak boleh dimonopoli oleh hawa nafsu manusia.
Ia mengingatkan kita bahwa aturan hidup yang benar harus berpijak pada nilai ilahiah, bukan sekadar kesepakatan sosial.
Zabur: Nyanyian Jiwa dan Bahasa Cinta kepada Tuhan
Zabur diturunkan kepada Nabi Daud عليه السلام.
Berbeda dari Taurat yang berisi hukum, Zabur berisi pujian, doa, dan zikir — bahasa hati yang tulus kepada Allah.
Allah berfirman:
وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
“Dan Kami berikan kepada Daud kitab Zabur.” — (QS. Al-Isrā’ [17]: 55)
Zabur mengajarkan bahwa spiritualitas bukan hanya tentang hukum, tapi juga tentang cinta dan kelembutan hati.
Dalam dunia yang keras dan cepat, Zabur menjadi pengingat bahwa manusia butuh keheningan untuk mendengar suara jiwanya sendiri — suara yang memanggil untuk kembali kepada Tuhan.
Remaja masa kini sering mencari kedamaian lewat musik atau seni. Spirit Zabur seakan mengajarkan bahwa seni sejati adalah yang membawa hati kepada Allah, bukan menjauh dari-Nya.
Injil: Cahaya Kasih dan Kelembutan Hati
Kitab ketiga, Injil, diturunkan kepada Nabi Isa عليه السلام.
Ia datang untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya, mengajarkan cinta, kasih sayang, dan ketulusan.
Allah berfirman:
وَقَفَّيْنَا عَلَى آثَارِهِم بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَآتَيْنَاهُ الإِنجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ
“Dan Kami iringi jejak mereka dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab sebelumnya, yaitu Taurat; dan Kami berikan kepadanya Injil yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya.” — (QS. Al-Mā’idah [5]: 46)
Pesan Injil mengajak manusia untuk melembutkan hati. Ia mengajarkan bahwa kekuatan bukan hanya dalam pedang, tapi juga dalam kasih.
Sayangnya, sebagian manusia mengubah isi Injil, menghapus sebagian wahyu dan menambahkan tafsir yang menyesatkan.
Namun, semangatnya tetap abadi: bahwa iman sejati lahir dari hati yang penuh kasih dan kejujuran.
Remaja hari ini bisa belajar dari Injil tentang kekuatan empati dan cinta tanpa pamrih — sesuatu yang semakin langka di era digital.
Al-Qur’an: Penutup Wahyu dan Puncak Petunjuk
Akhirnya, Allah menurunkan kitab terakhir: Al-Qur’an, kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Kitab ini menyempurnakan semua wahyu sebelumnya dan menjadi panduan universal bagi seluruh manusia.
تَنزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِن رَّبِّ الْعَالَمِينَ
“Turunnya kitab ini tidak diragukan, ia berasal dari Tuhan semesta alam.” — (QS. As-Sajdah [32]: 2)
Berbeda dari kitab-kitab sebelumnya, Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami pula yang menjaganya.” — (QS. Al-Hijr [15]: 9)
Kitab ini bukan hanya teks suci, tapi juga sumber ilmu dan inspirasi kehidupan.
Ia membicarakan alam, manusia, etika, bahkan sains dengan kedalaman yang tidak lekang oleh zaman.
Menurut Aqīdatul Awwām, beriman kepada Al-Qur’an berarti meyakini bahwa ia wahyu terakhir dan paling sempurna, yang meneguhkan risalah semua nabi sebelumnya.
Maka, siapa yang berpegang pada Al-Qur’an, sesungguhnya ia sedang berpegang pada tali langit yang kokoh.
Empat Kitab, Satu Pesan: Tauhid dan Kemanusiaan
Walaupun turun pada masa dan umat yang berbeda, keempat kitab suci membawa satu pesan yang sama: tauhid dan kemanusiaan.
Mereka menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa manusia harus hidup dalam keadilan dan kasih sayang.
Pesan inilah yang menjadi inti dari ajaran para rasul.
Dari Taurat kita belajar disiplin, dari Zabur kita belajar dzikir, dari Injil kita belajar cinta, dan dari Al-Qur’an kita belajar kesempurnaan iman.
Syaikh Ahmad al-Marzūqī melalui Aqīdatul Awwām ingin mengingatkan bahwa iman kepada kitab-kitab Allah adalah bukti bahwa manusia tak pernah ditinggalkan.
Langit selalu berbicara kepada bumi — hanya saja, sering kali manusialah yang tak lagi mau mendengar.
Membaca Wahyu di Era Digital
Di era media sosial, manusia membaca ribuan pesan setiap hari — dari layar ponsel, dari dunia maya yang bising. Namun berapa banyak di antara kita yang membaca pesan dari langit? Membaca Al-Qur’an bukan sekadar ritual, melainkan membaca kembali jati diri manusia.
Ia mengajak kita berhenti sejenak dari kebisingan dunia dan mendengar bisikan Ilahi: “Kembalilah kepada-Ku.”
Wahyu, dalam makna modern, adalah cara Allah menyapa hati manusia di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Maka remaja hari ini tidak perlu merasa jauh dari kitab suci — cukup buka hati, dan biarkan wahyu berbicara dengan cara yang paling lembut.
Penutup
Empat kitab suci bukan sekadar kisah sejarah; mereka adalah kisah tentang cinta Allah kepada manusia. Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an adalah empat cahaya yang menyatu dalam satu sumber: kasih sayang Tuhan.
Allah menurunkan wahyu bukan karena manusia sempurna, tetapi karena manusia mudah lupa.
Dan di setiap kelupaan, wahyu datang sebagai pengingat yang lembut: bahwa ada langit yang selalu menjaga bumi.
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” — (QS. An-Nūr [24]: 35)
Maka, setiap kali kita membaca kitab suci, sejatinya kita sedang membuka jendela menuju cahaya itu.
Langit masih berbicara, dan wahyu itu masih turun — bukan di atas kertas, tapi di hati yang terbuka.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
