Surau.co. Di tengah dunia modern yang serba cepat, banyak remaja mengenal tokoh panutan dari film, influencer, atau tokoh publik. Namun, sedikit yang benar-benar mengenal para nabi dan rasul — sosok yang bukan hanya pahlawan moral, tapi juga pembawa cahaya kebenaran dari Allah.
Mereka bukan legenda masa lalu, melainkan teladan abadi yang ajarannya hidup di setiap detak zaman.
Kitab Aqīdatul Awwām, karya ulama besar Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī, memberikan penjelasan ringkas namun mendalam tentang iman kepada para nabi dan rasul. Dalam salah satu baitnya, beliau menulis:
وَالرُّسُلُ الْعِدَدُ خَمْسَةٌ عَشَرْ
مَنْ ذُكِرُوا بِالذِّكْرِ فِي الْخَبَرْ“Jumlah rasul ada lima belas, yang disebut dalam kabar (wahyu).”
Melalui bait sederhana ini, beliau mengajak kita mengenal siapa saja para rasul yang diutus, dan lebih penting lagi, mengapa kita harus beriman kepada mereka.
Siapa Nabi dan Rasul Menurut Aqīdatul Awwām
Dalam Islam, nabi dan rasul adalah dua istilah yang sering digunakan, tetapi memiliki perbedaan makna.
Syaikh al-Marzūqī menjelaskan bahwa rasul adalah nabi yang diutus dengan syariat baru dan diperintahkan untuk menyampaikannya, sementara nabi adalah orang yang menerima wahyu tetapi melanjutkan syariat sebelumnya.
Al-Qur’an menyebutkan:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, (dengan menyerukan): Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” — (QS. An-Nahl [16]: 36)
Artinya, kehadiran nabi dan rasul bukan hanya untuk bangsa tertentu, tapi untuk semua umat manusia agar mereka kembali kepada tauhid, kepada Allah yang Esa.
Mengetahui dan memahami siapa mereka bukan hanya soal sejarah, tetapi cara untuk memahami perjalanan manusia menuju kebenaran.
Mengapa Kita Harus Percaya kepada Nabi dan Rasul
Iman kepada nabi dan rasul adalah rukun iman keempat. Namun lebih dari sekadar keyakinan, ia adalah bentuk kepercayaan bahwa Allah selalu menuntun umat manusia melalui utusan-Nya.
Allah tidak membiarkan manusia berjalan tanpa arah. Melalui para nabi, Allah mengajarkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang.
رُّسُلًا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Kami mengutus) para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah datangnya para rasul.” — (QS. An-Nisā’ [4]: 165)
Iman kepada nabi dan rasul membuat kita yakin bahwa agama ini bukan hasil pikiran manusia, melainkan bimbingan dari Allah.
Kepercayaan itu membentuk hati yang tenang, karena tahu bahwa kebenaran sudah dijelaskan oleh orang-orang yang paling jujur dan paling mencintai umatnya.
15 Rasul yang Disebut dalam Kitab Aqīdatul Awwām
Syaikh al-Marzūqī menyebut 15 nama rasul yang dikenal melalui Al-Qur’an, yakni:
Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syu’aib, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakariya, Yahya, Isa, dan Muhammad ﷺ.
Namun dalam bait beliau, 15 nama yang disebutkan menekankan pada rasul-rasul utama yang memiliki kisah agung dan pelajaran besar bagi umat manusia.
Masing-masing dari mereka membawa pesan universal — dari kesabaran Nabi Nuh, keteguhan Ibrahim, hingga kelembutan Nabi Isa dan rahmat Nabi Muhammad ﷺ.
Para Rasul Adalah Cermin Kehidupan Kita
Ketika kita mengenal para rasul, sebenarnya kita sedang belajar tentang kehidupan.
Nabi Nuh mengajarkan keteguhan di tengah ejekan; Nabi Ibrahim mengajarkan keberanian melawan arus; Nabi Yusuf mengajarkan kesabaran dan keikhlasan; Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan cinta dan kasih yang tak bertepi.
Mereka adalah manusia yang diuji, tapi tidak menyerah. Dihina, tapi tetap mendoakan.
Dengan meneladani mereka, kita belajar bahwa menjadi baik bukan berarti hidup tanpa ujian — justru ujian itulah yang membentuk kemurnian iman.
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sungguh, pada kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” — (QS. Yusuf [12]: 111)
Rasul Bukan Sekadar Pembawa Wahyu, Tapi Pendidik Umat
Kitab Aqīdatul Awwām menegaskan bahwa keimanan kepada para rasul juga mencakup keyakinan pada sifat-sifat yang wajib dimiliki mereka, yaitu shidq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas).
Sifat-sifat ini menjadikan mereka bukan hanya penyampai pesan, tapi pendidik spiritual yang membimbing manusia dengan hikmah dan kasih.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai seorang guru.” — (HR. Ibnu Majah)
Maka, meneladani rasul bukan berarti meniru seluruh aspek hidupnya secara lahiriah, tetapi mengambil nilai dan semangat pendidikannya: jujur, sabar, berilmu, dan berakhlak mulia.
Keimanan kepada Rasul di Era Modern
Di zaman teknologi dan informasi, keimanan kepada rasul sering kali dihadapkan pada keraguan dan skeptisisme.
Sebagian remaja bertanya, “Apakah kisah para nabi masih relevan untuk kita yang hidup di era digital?”
Jawabannya: sangat relevan.
Karena esensi risalah mereka adalah menegakkan nilai kemanusiaan — kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan ketundukan kepada Allah. Nilai-nilai itu tidak pernah usang, bahkan semakin dibutuhkan ketika dunia dipenuhi kelelahan moral dan kebingungan identitas.
Mengenal para nabi mengingatkan kita bahwa modernitas tanpa moral hanyalah kehampaan. Teknologi tanpa iman akan melahirkan generasi cerdas tapi kehilangan arah.
Pelajaran Spiritual dari Aqīdatul Awwām
Syaikh Ahmad al-Marzūqī menulis Aqīdatul Awwām dengan gaya nazham agar mudah dihafal oleh umat awam — termasuk anak-anak dan remaja.
Namun di balik kesederhanaannya, terdapat kedalaman spiritual yang luar biasa.
Beliau menulis dengan harapan agar setiap Muslim mengenal Allah dan rasul-Nya dengan hati yang hidup.
Iman bukan sekadar hafalan, tapi cahaya yang menuntun setiap langkah.
فَكُلُّ مَا أَتَى بِهِ الرَّسُولُ
فَحَقُّهُ التَّسْلِيمُ وَالْقَبُولُ“Segala yang dibawa oleh Rasul, wajib diterima dengan penuh kepasrahan dan penerimaan.”
Ayat dan bait ini mengajarkan bahwa keimanan sejati adalah sikap menerima dengan sadar, bukan karena takut, tapi karena cinta dan keyakinan.
Meneladani Rasul dalam Kehidupan Sehari-hari
Meneladani para rasul bisa dimulai dari hal sederhana:
- Meneladani kejujuran Nabi Muhammad ﷺ dalam setiap kata.
- Meneladani kesabaran Nabi Ayyub dalam menghadapi ujian.
- Meneladani kesetiaan Nabi Ibrahim dalam berkorban demi cinta kepada Allah.
- Meneladani kebijaksanaan Nabi Sulaiman dalam memimpin dan bersyukur.
Remaja masa kini dapat mengekspresikan keteladanan itu dengan cara modern: menebar kebaikan di media sosial, menahan diri dari kebencian daring, dan menjaga integritas dalam lingkungan sekolah atau kampus.
Karena iman kepada rasul bukan sekadar ucapan, tapi tindakan nyata yang menghidupkan akhlak dalam keseharian.
Penutup
Para nabi dan rasul adalah jejak cahaya di jalan kehidupan manusia.
Mereka bukan sekadar nama dalam kitab, tapi ruh yang menghidupkan iman. Dalam dunia yang penuh kebisingan, kisah mereka adalah panggilan untuk kembali tenang.
Seperti kata Allah dalam Al-Qur’an:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” — (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 107)
Maka, marilah kita meneladani para nabi bukan hanya dengan kata, tapi dengan perbuatan.
Karena iman kepada rasul bukan sekadar percaya bahwa mereka pernah hidup, tetapi memastikan ajaran mereka hidup dalam diri kita.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
