Khazanah
Beranda » Berita » Sifat Mustahil dan Jaiz bagi Allah Menurut Kitab Aqīdatul Awwam

Sifat Mustahil dan Jaiz bagi Allah Menurut Kitab Aqīdatul Awwam

ilustrasi reflektif tentang keagungan Allah menurut Aqidatul Awwam
Ilustrasi realistik-filosofis seorang lelaki duduk di serambi surau pada malam hari, menatap langit yang bercahaya lembut dengan kaligrafi “الله” di tengah langit. Cahaya itu menyimbolkan keagungan dan kemahakuasaan Allah yang tak terjangkau oleh akal manusia.

Surau.co. Setiap manusia memiliki dorongan alami untuk mengenal siapa Tuhannya. Dalam Islam, dorongan itu terarah melalui ilmu tauhid atau aqidah, yang menjadi pondasi bagi segala amal. Salah satu kitab klasik yang banyak dikaji di surau-surau, pesantren, dan madrasah di Nusantara adalah Aqīdatul Awwam, karya Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī. Kitab kecil ini berisi penjelasan singkat namun mendalam tentang sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, disusun dalam bentuk nazham (syair Arab) agar mudah dihafal.

Di antara pembahasan penting dalam kitab ini adalah tentang sifat mustahil dan jaiz bagi Allah. Melalui pemahaman sifat-sifat ini, seorang mukmin dapat menumbuhkan keyakinan yang teguh dan cinta yang mendalam kepada Sang Pencipta. Ilmu ini bukan sekadar hafalan, tetapi jendela untuk melihat keagungan Allah yang tiada batas.

Syaikh Ahmad al-Marzūqī berkata dalam salah satu baitnya:

وَبِالضِّدَادِ خُذْ لِكُلِّ وَاحِدِ
أَعْنِي وَبِالْمُسْتَحِيلِ فَاعْتَقِدِ

“Dan ketahuilah kebalikan dari setiap sifat wajib bagi Allah, yaitu sifat mustahil, wajib pula kamu yakini.”

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Bait ini menjadi pengantar bagi kita untuk memahami dua sisi penting dalam ilmu tauhid: apa yang tidak mungkin bagi Allah, dan apa yang mungkin bagi-Nya sesuai kehendak-Nya.

Sifat Mustahil bagi Allah: Mustahil Kekurangan bagi Dzat Yang Maha Sempurna

Sifat mustahil bagi Allah adalah segala sifat yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya. Mustahil di sini bukan berarti “tidak bisa dilakukan oleh Allah,” tetapi “tidak layak bagi keagungan dan kesempurnaan-Nya.” Misalnya, mustahil bagi Allah untuk mati, tidur, lupa, atau lemah. Semua itu adalah sifat makhluk, bukan Sang Khaliq.

Al-Qur’an dengan tegas menafikan segala kekurangan dari Allah:

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
“Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Ayat ini bukan hanya pernyataan teologis, tetapi juga undangan untuk merenungi betapa sempurnanya Allah dalam memelihara ciptaan-Nya tanpa lelah. Manusia membutuhkan istirahat, sementara Allah tidak pernah terpengaruh oleh kelemahan.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Tanda-Tanda Mustahil yang Menguatkan Tauhid

Dalam Aqīdatul Awwam, disebutkan bahwa jumlah sifat mustahil bagi Allah ada dua puluh, sebagai kebalikan dari dua puluh sifat wajib bagi-Nya. Di antaranya: ‘adam (tiada), hudūth (baru), fanā’ (binasa), ‘ajz (lemah), jahlu (bodoh), mayyit (mati), dan sebagainya.

Ketika seorang mukmin memahami mustahilnya sifat-sifat itu bagi Allah, ia semakin yakin bahwa Allah adalah Dzat Yang Kekal, Mahakuasa, dan Maha Mengetahui. Inilah bentuk tanzīh — menyucikan Allah dari segala kekurangan. Syaikh Ahmad al-Marzūqī menekankan pentingnya keyakinan ini agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang menyerupakan Allah dengan makhluk.

Sifat Jaiz bagi Allah: Allah Maha Berkehendak, Tidak Terikat Apa Pun

Selain sifat wajib dan mustahil, Allah memiliki satu sifat yang disebut sifat jaiz, yaitu “fi‘lu al-syai’ aw tarkuhu” — boleh melakukan sesuatu atau tidak melakukannya sesuai kehendak-Nya. Artinya, Allah tidak terikat oleh keharusan apa pun. Ia berbuat atas dasar hikmah dan kehendak yang sempurna.

Syaikh Ahmad al-Marzūqī menjelaskan dalam nazhamnya:

وَجَائِزٌ فِي حَقِّهِ الْفِعْلُ أَوْ تَرْكُهُ لِكُلِّ مَا يُرَادُ
“Dan jaiz bagi Allah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, sesuai dengan kehendak-Nya.”

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Sifat jaiz ini mengajarkan kepada kita bahwa seluruh kejadian di alam semesta — baik yang kita suka maupun tidak — terjadi dengan izin dan kehendak Allah. Tidak ada yang terjadi di luar rencana-Nya. Karena itu, seorang hamba yang beriman akan senantiasa berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah, bahkan ketika takdir tampak pahit.

Kehendak Allah dan Hikmah di Baliknya

Kehendak Allah bukan kehendak buta. Setiap takdir memiliki hikmah yang sering kali tak dapat dijangkau akal manusia. Allah berfirman:

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini menjadi penenang bagi hati yang sedang diuji. Sifat jaiz Allah menunjukkan bahwa Dia Maha Merdeka dari segala paksaan, dan setiap kehendak-Nya pasti mengandung kebijaksanaan.

Mengapa Memahami Sifat Mustahil dan Jaiz Itu Penting?

Pemahaman terhadap sifat mustahil dan jaiz bagi Allah membentuk pola pikir teologis yang sehat. Ia membuat manusia sadar bahwa segala sesuatu berada di bawah kekuasaan Allah. Tidak ada kekuatan selain dari-Nya. Dari kesadaran itu lahir sikap tawakal yang sejati — bukan pasrah tanpa usaha, tapi percaya penuh bahwa hasil akhir ada di tangan Allah.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang mudah cemas karena ingin mengendalikan segalanya. Padahal, hanya Allah yang memiliki kuasa mutlak. Sifat jaiz Allah menjadi pengingat bahwa takdir tidak tunduk pada keinginan manusia, melainkan pada kehendak-Nya yang sempurna.

Menjauhkan dari Pemikiran Antropomorfis

Sebagian orang tergelincir dalam kesalahan memahami sifat Allah secara lahiriah, sehingga menyamakannya dengan makhluk. Dengan mengenal sifat mustahil, kita terhindar dari pandangan sempit tersebut. Ketika kita berkata “Allah Maha Melihat,” kita meyakini penglihatan-Nya tidak seperti penglihatan manusia. Ketika kita berkata “Allah berkehendak,” kita sadar kehendak-Nya tidak terbatas ruang dan waktu.

Pemahaman semacam ini menjaga kemurnian tauhid dan menuntun kita pada ma‘rifatullah — pengenalan yang benar terhadap Allah.

Refleksi Spiritual: Dari Pengetahuan Menuju Penghayatan

Ilmu aqidah bukan hanya bahan hafalan untuk ujian, melainkan cermin yang memantulkan cahaya keimanan dalam hati. Syaikh Ahmad al-Marzūqī menyusun Aqīdatul Awwam dengan penuh hikmah agar umat awam mampu memahami dasar-dasar tauhid tanpa harus menjadi ahli filsafat. Dengan mengenal sifat mustahil dan jaiz Allah, kita belajar untuk mengenal Dzat yang tidak serupa dengan apa pun.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia; dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini adalah inti dari seluruh pembahasan tauhid: Allah ada tanpa menyerupai makhluk. Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan setiap kehendak-Nya adalah keadilan dan kasih sayang yang tak terhingga.

Penutup

Ketika seorang hamba menyadari bahwa Allah mustahil lemah, mustahil lupa, mustahil zalim, dan hanya berkehendak sesuai hikmah-Nya, maka hatinya akan penuh kedamaian. Ia tidak lagi menggugat takdir, karena tahu semua berjalan dalam kuasa Allah yang jaiz berbuat apa saja. Ia pun beribadah bukan karena takut semata, tetapi karena cinta dan kagum pada Dzat yang tak terlukiskan oleh kata.

Sifat mustahil dan jaiz bagi Allah bukan sekadar doktrin dalam buku aqidah, melainkan peta hati menuju pengenalan yang lebih dalam terhadap Sang Pencipta. Di surau-surau kecil, di antara zikir dan doa, para guru tua mengajarkan nazham Aqīdatul Awwam dengan lembut — mengajak murid-muridnya untuk tidak sekadar tahu siapa Allah, tetapi juga merasakan kehadiran-Nya dalam setiap detak kehidupan.

“Barang siapa mengenal Tuhannya, ia akan mengenal dirinya.”
— Pepatah ulama terdahulu

Maka, memahami sifat mustahil dan jaiz bukan akhir dari ilmu, tetapi awal dari perjalanan menuju kedekatan yang sejati dengan Allah. Dalam kesunyian surau, kita belajar menafikan segala yang fana, untuk menyadari bahwa hanya Allah yang kekal dan berhak disembah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement