Khazanah
Beranda » Berita » Bukan sebagai Pelengkap, Perempuan Adalah Jantung Peradaban Islam

Bukan sebagai Pelengkap, Perempuan Adalah Jantung Peradaban Islam

Perempuan penentu peradaban
Ilustrasi perempuan musliman sebagai penentu peradaban melalui perannya.

SURAU.CO. Di era modern ini, perempuan harus menghadapi dua sisi kehidupan yang berujung ekstrem. Di satu sisi, perubahan zaman menuntut perempuan untuk bebas tanpa batas, sementara di sisi lain banyak yang menganggap perempuan terbelenggu ketika memilih untuk taat. Pandangan sempit ini sering kali menutupi keindahan hakiki ajaran Islam yang memuliakan perempuan jauh melampaui sekadar citra fisik atau peran sosial.

Islam melihat perempuan bukan dari penampilannya, tapi dari hatinya yang taat dan pikirannya yang cerdas. Ia bukan sekadar pelengkap hidup, tetapi pilar penyangga peradaban. Dari tangannya lahir generasi berilmu, dari doanya tumbuh pemimpin yang adil, dan dari kelembutannya terpancar kasih yang menyejukkan dunia.

Menjadi muslimah di masa kini bukan berarti harus memilih antara rumah dan karier, antara keluarga dan cita-cita. Justru, Islam memberi ruang luas agar perempuan bisa menapaki semua jalan itu dengan adab dan keseimbangan. Setiap langkah perempuan yang diniatkan untuk kebaikan, baik itu di rumah, ruang rapat, atau ruang kelas, adalah bentuk ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah.

Sebagai Penjaga Ilmu dan Peradaban

Perempuan dalam Islam bukan hanya penerima ilmu, tetapi juga penjaga dan penyebarnya. Mereka menjadi jantung peradaban yang menyalakan api pengetahuan. Allah memuliakan siapa pun yang berilmu tanpa membedakan gender.

Allah berfirman, “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9). Rasulullah ﷺ pun menegaskan, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah.” (HR. Ibnu Majah, no. 224)

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Sejarah Islam mencatat nama-nama perempuan yang menjadi pelita ilmu. Aisyah r.a., istri Rasulullah ﷺ, adalah ulama besar yang meriwayatkan lebih dari dua ribu hadis. Hafshah binti Umar r.a. menjadi penjaga mushaf Al-Qur’an pertama. Ummu Salamah dikenal sebagai rujukan hukum Islam di masa sahabat. Mereka membuktikan bahwa kecerdasan dan ilmu tidak mengenal batas gender. Cahaya ilmu bisa bersinar lembut di tangan perempuan yang bertakwa.

Di masa kini, semangat itu hidup dalam diri perempuan-perempuan hebat: para guru yang mencerdaskan bangsa, penulis yang menyalakan pemikiran, jurnalis yang menyuarakan kebenaran, dan pemimpin yang menuntun dengan nurani. Mereka semua melanjutkan jejak para ulama terdahulu dengan cara yang sesuai zamannya. Seorang perempuan berilmu ibarat lentera di tengah gelapnya zaman. Ia tak hanya menerangi rumahnya, tapi juga jalan umat.

Lima Wajah Perempuan dalam Kehidupan

Islam tidak membatasi perempuan pada satu peran. Justru Islam memberi ruang luas bagi perempuan untuk mengisi banyak peran mulia sesuai fitrahnya.

 a. Sebagai Wanita Karier

Rasulullah ﷺ menikahi Siti Khadijah r.a., seorang pebisnis sukses. Ia bukan hanya istri yang penuh cinta, tapi juga rekan perjuangan dalam dakwah. Adalagi, Aisyah r.a. seorang ulama dan ahli hadis yang banyak meriwayatkan sabda Nabi. Artinya, perempuan di lingkungan Nabi banyak yang berkarier.

Kini, semangat itu hidup dalam diri perempuan modern seperti Tri Rismaharini, pemimpin yang dikenal tegas namun berhati lembut. Atau Najelaa Shihab, yang berjuang di dunia pendidikan dengan semangat ibu bangsa.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Islam tidak melarang perempuan bekerja. Islam mengizinkan perempuan bekerja, selama menjaga adab dan prioritas keluarga. Karena bekerja pun bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk menebar manfaat.

Namun, pekerjaan dengan tidak mengabaikan kewajiban keluarga. Pekerjaan di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial sangat sesuai dengan peran alamiah perempuan sebagai pembimbing dan pelindung kehidupan.

 b. Sebagai Istri

Rumah tangga adalah madrasah cinta pertama. Peran seorang istri bukan hanya pendamping, tapi juga penenang dan sumber kasih sayang. Perempuan adalah penyejuk jiwa. Dalam rumah tangga, ia adalah tiang penyangga kebahagiaan, bukan sekadar pelengkap.

Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Menjadi istri bukan berarti kehilangan jati diri, tapi menemukan kedamaian bersama. Dalam hubungan yang islami, suami dan istri adalah dua sayap yang terbang bersama, bukan satu di atas yang lain.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

c. Sebagai Ibu

Rasulullah ﷺ pernah ditanya: “Siapa yang paling berhak mendapatkan bakti?” Beliau menjawab “Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ibu adalah sosok pertama yang memperkenalkan anak kepada cinta, iman, dan ilmu. Ia bukan sekadar pengasuh, tapi pembentuk peradaban. Seorang ibu yang salehah mencetak generasi yang tangguh, karena di balik setiap pemimpin besar, selalu ada doa seorang ibu yang tak pernah putus mendoakan.

Perempuan memiliki kedudukan luar biasa karena perannya sebagai pendidik generasi. Dari tangan seorang ibu lahir peradaban. Karena itu, mendidik anak dengan ilmu dan kasih sayang adalah amal jariyah yang terus mengalir pahalanya.

d. Sebagai Anggota Masyarakat

Perempuan juga punya tanggung jawab sosial, menebar kebaikan, menolong sesama, dan menjaga lingkungan. Perempuan harus mampu mengambil peran menebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Di banyak pesantren perempuan, kita melihat santriwati yang aktif berdakwah, mengajar anak yatim, dan mengelola usaha kecil. Mereka menunjukkan bahwa kontribusi tak harus di panggung besar. Bahkan di dapur pun, perempuan bisa menyalakan cahaya peradaban.

Perempuan juga memiliki tanggung jawab sosial: Dalam sejarah, banyak muslimah aktif di bidang dakwah, pendidikan, dan kemanusiaan. Mereka bukan hanya “pengikut”, tapi juga penggerak perubahan.

e. Sebagai Pemimpin dan Pejuang

Dalam sejarah Islam, Aisyah r.a. pernah menjadi pemimpin dalam Perang Jamal, menunjukkan bahwa perempuan dapat memiliki peran strategis dalam urusan publik. Islam memperbolehkan perempuan berpartisipasi dalam politik, selama tujuannya untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat. Aisyah r.a. menjadi contoh pemimpin yang cerdas dan bijak.

Kini, semangat itu diteruskan oleh perempuan-perempuan Indonesia di dunia politik, sosial, dan hukum. Sebut saja, Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, Retno Marsudi, Sri Mulyani, Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan banyak lagi contoh lainnya.

Selama niatnya lillahi ta’ala dan sesuai syariat, Islam tidak melarang perempuan memimpin. Yang terpenting adalah amanah, bukan jenis kelamin.

Cahaya dari Rahim Kehidupan

Perempuan dalam pandangan Islam bukan sekadar sosok pelengkap kehidupan, tetapi sumber cahaya yang menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Ia tidak hanya hadir di lingkup rumah tangga sebagai pendidik pertama bagi generasi, tetapi juga menjadi penopang peradaban dengan kelembutan, kecerdasan, dan kekuatan nuraninya. Setiap langkah dan peran yang ia jalani, merupakan pancaran dari cahaya ilahi yang Allah titipkan padanya.

Islam memuliakan perempuan bukan dengan menempatkannya di bawah atau di atas laki-laki, melainkan di sampingnya sebagai mitra sejati dalam membangun kehidupan yang seimbang. Perempuan dijaga bukan karena lemah, tetapi karena berharga. Martabatnya tidak ditentukan oleh seberapa mirip ia dengan laki-laki, melainkan oleh kesetiaan dan keteguhannya dalam menjalankan amanah sebagai hamba Allah. Dalam pandangan Islam, kemuliaan bukanlah soal kesetaraan bentuk, tetapi kesempurnaan fungsi dan peran sesuai fitrah yang ditetapkan oleh Sang Pencipta.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Ahmad). Hadis ini seolah menegaskan bahwa keduanya berasal dari asal yang sama, berbagi kemuliaan dan tanggung jawab yang setara di hadapan Allah. Maka, menghormati perempuan berarti menghormati separuh kemanusiaan itu sendiri.

Dari rahim perempuan lah, kehidupan bermula. Melalui kasihnya, lahir generasi berilmu dan berakhlak. Dari keteguhannya, berdiri peradaban yang beradab. Dalam setiap doa seorang ibu, tersimpan harapan yang menggerakkan sejarah. Perempuan bukan hanya penjaga kehidupan, tetapi juga penulis awal dari kisah umat manusia. Cahaya mereka bukan sekadar sinar lembut di rumah tangga, melainkan obor yang menerangi jalan peradaban menuju ridha Allah.

 

 

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement