Sosok
Beranda » Berita » Sang Tuan Rumah Nabi: Ketulusan Abu Ayyub Al Anshari yang Abadi

Sang Tuan Rumah Nabi: Ketulusan Abu Ayyub Al Anshari yang Abadi

abu-ayyub-al-anshari
abu-ayyub-al-anshari

SURAU.CO-Sang Tuan Rumah Nabi: Ketulusan Abu Ayyub Al Anshari yang Abadi menggambarkan cinta sejati yang hidup melampaui zaman. Sang Tuan Rumah Nabi: Ketulusan Abu Ayyub Al Anshari yang Abadi bukan sekadar kisah sejarah, tetapi potret manusia yang memuliakan Rasulullah ﷺ dengan tindakan nyata. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, unta beliau berhenti di depan rumah Abu Ayyub Al Anshari. Tanpa ragu, Abu Ayyub menyambut Rasul dengan penuh sukacita dan menawarkan rumahnya untuk beliau tempati. Rasulullah menerimanya dengan senyum lembut yang menggetarkan hati.

Abu Ayyub segera menyiapkan ruangan sederhana di lantai bawah agar Nabi mudah menerima tamu. Ia mempersiapkan makanan dengan tangannya sendiri, memastikan semua kebutuhan Rasul terpenuhi. Malam itu, ia dan istrinya tidak dapat tidur. Ia berkata lirih, “Bagaimana aku bisa beristirahat di atas kepala Rasulullah?” Keesokan harinya ia memohon agar Rasulullah tinggal di atas, namun Nabi menolak dengan alasan kemudahan tamu-tamu yang datang. Sejak saat itu, Abu Ayyub berjalan pelan di lantai atas agar langkahnya tidak terdengar oleh Nabi.

Ia memerhatikan setiap hidangan yang disentuh Rasul dan memakannya dari bagian yang sama untuk mencari keberkahan. Ketika Nabi meninggalkan bawang, Abu Ayyub pun berhenti memakannya. Rasul tersenyum dan bersabda, “Aku tidak memakannya karena aku berbicara dengan malaikat. Engkau boleh memakannya, wahai Abu Ayyub.” Kisah kecil itu memperlihatkan betapa cinta kepada Rasul membentuk adab yang halus dan tulus.

Rumah yang Hidup karena Cinta dan Adab

Rumah Abu Ayyub bukan sekadar bangunan, tetapi tempat lahirnya cahaya Islam di Madinah. Rasulullah ﷺ menerima tamu, bermusyawarah, dan mengatur urusan umat di sana. Abu Ayyub dan istrinya melayani tanpa merasa terbebani. Mereka memandang rumah itu sebagai amanah, bukan kebanggaan. Keikhlasan mereka membuat tempat itu menjadi bagian penting dalam sejarah awal Islam.

Abu Ayyub mengubah kesederhanaan menjadi kemuliaan. Ia tidak menunggu pujian, ia bergerak dengan cinta. Rumahnya menjadi saksi dakwah pertama di Madinah, tempat Rasul merencanakan pembangunan Masjid Nabawi dan menyusun sistem persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dalam setiap kesempatan, Abu Ayyub selalu hadir, mendengarkan, belajar, dan mengamalkan.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Ketika masjid selesai dibangun, Rasulullah ﷺ pindah ke rumah yang berdampingan dengan masjid. Abu Ayyub meneteskan air mata. Ia merasa kehilangan kesempatan melayani Rasul setiap hari. Namun ia tidak berhenti berkhidmah. Ia terus membantu umat dan menjadi sahabat yang selalu siap berkorban.

Kisah ini menegaskan bahwa siapa pun bisa meniru Abu Ayyub dengan menjadikan rumahnya tempat dzikir, ilmu, dan kasih sayang. Rumah yang diisi dengan adab dan ketulusan akan memancarkan keberkahan yang tidak hilang oleh waktu.

Perjalanan Akhir: Dari Madinah ke Konstantinopel

Puluhan tahun berlalu, rambut Abu Ayyub memutih, tetapi semangatnya tetap menyala. Ketika Khalifah Muawiyah memerintahkan pasukan menuju Konstantinopel, Abu Ayyub memohon ikut serta. Orang-orang menasihatinya untuk beristirahat karena usianya telah lanjut, namun ia berkata tegas,

“Aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Pasukan pertama yang menyerang Konstantinopel akan diampuni dosanya.’ Aku ingin menjadi bagian dari mereka.”

Abu Ayyub ikut berangkat menempuh perjalanan panjang melintasi lautan dan medan berat. Dalam perjalanan, tubuhnya melemah, tetapi hatinya tidak menyerah. Saat ajal mendekat, ia memanggil panglima pasukan Yazid bin Muawiyah dan berpesan,

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

“Jika aku wafat, bawalah jasadku sejauh mungkin ke depan, lalu kuburkan aku di bawah tembok kota itu. Aku ingin berada di garis depan ketika pasukan Islam menaklukkan kota itu.”

Yazid melaksanakan wasiat itu. Pasukan Muslim menguburkan Abu Ayyub di bawah benteng Konstantinopel, di tempat yang kini dikenal sebagai Eyüp Sultan di Istanbul. Hingga hari ini, makamnya menjadi saksi cinta yang tak pernah padam. Setiap tahun, ribuan orang datang berziarah, mengenang sosok sahabat yang menjadikan rumahnya tempat bersemayamnya Rasulullah ﷺ dan hidupnya ladang pengabdian bagi Allah.

Warisan Abadi dari Seorang Tuan Rumah Nabi

Abu Ayyub Al Anshari mengajarkan bahwa cinta kepada Rasulullah tidak berhenti pada kata-kata, tetapi tumbuh dalam tindakan nyata. Ia melayani tanpa pamrih, berkorban tanpa ragu, dan menjaga adab di atas segalanya. Ia hidup dengan prinsip bahwa kehormatan sejati lahir dari pengabdian, bukan kedudukan.

Kisahnya tetap relevan di zaman modern. Setiap Muslim bisa meniru semangatnya dengan menjadikan rumah, pekerjaan, dan kehidupannya sebagai ruang khidmah. Abu Ayyub membuktikan bahwa ketulusan mampu menyalakan cahaya yang tidak padam oleh waktu. (Hendri Hasyim)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement