SURAU. CO. Suatu sore di sebuah kafe, seorang mahasiswi berhijab rapi duduk di depan laptop. Di hadapannya, segelas kopi dingin mulai mencair. Ia tengah menulis skripsi tentang “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam.” Di sisi lain ruangan, dua orang membisiki, “Kasihan, masih muda sudah dibatasi begitu.” Mahasiswi itu tersenyum tipis. “Dibatasi? Justru aku dilindungi,” gumamnya pelan.
Di era ketika banyak perempuan berkiprah dalam berbagai jabatan dan karier. Ketika ada yang menjadi presiden, menteri, politikus, ilmuwan, hingga pengusaha sukses, masih saja ada yang bertanya: “Apakah Islam mengekang perempuan?” Pertanyaan ini muncul di tengah derasnya arus modernisasi yang menuntut kesetaraan gender dalam segala bidang. Di tengah dunia yang menjunjung kesetaraan, masih banyak yang mengira Islam mengekang perempuan.
Padahal, sejak 14 abad lalu, Islam justru datang untuk mengangkat derajat perempuan dari jurang kehinaan menjadi makhluk yang mulia. Banyak muslimah merasa tenang dan merdeka dalam naungan ajaran Islam. Mereka tidak melihat hijab sebagai belenggu, melainkan sebagai mahkota. Mereka tidak merasa syariat sebagai pembatasan, melainkan memuliakan.
Islam sejak awal datang bukan untuk membatasi langkah perempuan, melainkan untuk menata arah langkah itu agar tetap mulia. Ia memberi ruang bagi perempuan untuk beribadah, bekerja, berkarya, bahkan berperan dalam politik, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai hamba Allah yang bermartabat.
Islam dan Martabat Perempuan
Sebelum Islam datang, perempuan adalah beban. Melahirkan anak perempuan merupakan aib. Di masa jahiliyah, mereka mengubur bayi perempuan hidup-hidup karena mereka anggap membawa malu. Al-Qur’an menceritakan kisahnya dalam surat An-Nahl ayat 58-59.
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.“ (QS. An-Nahl: 58–59)
Lalu datanglah Islam membawa revolusi peradaban. Rasulullah ﷺ menegaskan dalam sabdanya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi). Pada zaman ketika dunia masih menafikan hak perempuan, Islam telah menanamkan nilai kesetaraan spiritual. Perempuan dan laki-laki sama di hadapan Allah. Bedanya hanya pada takwa, bukan jenis kelamin.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu…(QS. Al-Hujurat: 13).
Islam menempatkan perempuan pada derajat yang tinggi, sejajar dengan laki-laki dalam hal kemanusiaan dan tanggung jawab di hadapan Allah. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS. An-Nisa: 32)
Ayat ini menegaskan prinsip keadilan, bukan kesamaan mutlak. Islam tidak menuntut perempuan menjadi seperti laki-laki, melainkan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri sesuai fitrah. Islam menegakkan kemuliaannya sebagai rahmat, bukan beban. Sebagai sumber kasih, pendidik generasi, dan mitra sejajar dalam kehidupan.
Tiga Pilar Kemuliaan Muslimah
Islam tidak datang dengan janji kosong. Ia membangun kemuliaan perempuan dengan tiga pilar utama yaitu ibadah, aurat, dan akhlak.
1. Ibadah sebagai Pintu Kemerdekaan Hati
Dalam pandangan Islam, perempuan bukan makhluk pasif yang hanya menunggu. Mereka adalah hamba Allah dengan tugas suci untuk beribadah, menuntut ilmu, dan memberi manfaat.
Allah berfirman, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Seorang perempuan bisa menjadi ahli ilmu seperti Aisyah r.a., yang dikenal sebagai “ensiklopedia hidup” dari Rasulullah ﷺ. Ia meriwayatkan lebih dari dua ribu hadis dan menjadi rujukan hukum Islam di masa sahabat.
Di Indonesia, jejak itu diteruskan oleh perempuan-perempuan hebat seperti Prof. Quraish Shihab melalui putrinya Najwa Shihab yang berani menyuarakan kebenaran lewat jurnalisme. Ada contoh lain, Khofifah Indar Parawansa seorang pemimpin dengan ketegasan dan kelembutan yang berjalan seiring.
Dan masih banyak tokoh perempuan Islam yang berkiprah dan berjuang untuk kemaslahatan umat. Bagi mereka, ibadah bukan sekadar sujud di atas sajadah, tapi juga perjuangan menegakkan nilai, keadilan, dan ilmu di tengah masyarakat.
2. Menutup Aurat sebagai Mahkota, Bukan Belenggu
Banyak orang menyalahpahami hijab sebagai simbol pengekangan. Padahal, dengan berhijab merupakan upaya melindungi diri. Dan perintah berhijab datang langsung dari Allah SWT dalam Al-Qur’an.
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Hijab adalah bentuk penghargaan diri. Ia bukan tanda “tidak bebas”, tapi bentuk kebebasan sejati yaitu kebebasan dari pandangan yang merendahkan.
Dewi Sandra seorang artis yang menemukan kedamaian setelah berhijab, dalam sebuah wawancara pernah mengatakan sebuah quotes yang menarik. “Aku tidak kehilangan diriku karena berhijab, aku justru menemukannya.”
Dengan berhijab bukan sedang menyembunyikan kecantikan, tetapi sedang menjaga makna dari kecantikan itu sendiri.
3. Menjaga Akhlak sebagai Elegansi Sejati
Islam menuntun perempuan agar menjaga kehormatan dan sikap. Allah berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Ayat ini bukan larangan untuk bekerja atau berkarya. Ia adalah panduan agar setiap langkah, berada dalam kesantunan. Dalam Islam, akhlak adalah perhiasan paling indah. Perempuan yang berakhlak baik tak perlu berteriak untuk dihormati. Sikapnya yang santun sudah cukup membuat dunia menunduk penuh respek.
Kemerdekaan yang Hakiki
Menjadi seorang muslimah sejati berarti meraih kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan yang membebaskan diri dari penilaian semu dunia, dari standar kecantikan yang dangkal, dan dari ukuran keberhasilan yang hanya menilai permukaan. Islam membebaskan perempuan dari penjara pandangan manusia, mengangkatnya menuju derajat kemuliaan dengan iman, ilmu, dan akhlak. Dalam pandangan Islam, rupa atau status sosial bukan menjadi tolak ukur nilai seorang perempuan, melainkan dari keteguhan hatinya dalam menjaga kehormatan dan ketaatan kepada Allah.
Hakikat kemerdekaan bagi muslimah bukanlah kebebasan untuk meniru siapa pun, melainkan kemampuan untuk menjadi diri sendiri di bawah bimbingan wahyu. Seorang muslimah yang berhijab tidak sedang membatasi diri, tetapi sedang memerdekakan dirinya dari tuntutan pandangan yang menundukkan perempuan sebagai objek. Ia menegakkan martabatnya sebagai subjek yang berdaulat. Dengan demikian, ia sadar akan nilai dan arah hidupnya.
Demikian pula, perempuan yang mengasuh dan mendidik anak-anaknya sedang membangun masa depan peradaban, perempuan yang menulis sedang menyalakan obor pengetahuan, dan perempuan yang memimpin sedang menunaikan amanah kepemimpinan dengan bijak. Apapun peran perempuan sama mulianya, selama menjalankannya dengan niat yang tulus dan adab yang luhur.
Islam tidak membatasi ruang gerak perempuan, tetapi mengajarkan keseimbangan agar setiap langkahnya bernilai ibadah. Karena pada hakikatnya, kebebasan yang sejati adalah ketika seorang muslimah mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan memilih jalan yang Allah ridhoi. Itulah kemerdekaan yang tidak bergantung pada pengakuan manusia, tetapi berakar pada kesadaran ruhani, bahwa menjadi hamba Allah adalah puncak dari kebebasan yang sesungguhnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
