SURAU.CO – Dalam kehidupan manusia, sering kali kita menyaksikan seseorang yang hidupnya tampak begitu berlimpah dengan kenikmatan. Kekayaan melimpah, jabatan tinggi, kehormatan sosial, bahkan kesehatan yang prima. Semua itu tampak sebagai tanda keberuntungan dan kebaikan hidup. Namun, dalam pandangan Islam, tidak semua nikmat yang Allah berikan adalah bentuk kasih sayang atau keridhaan-Nya. Ada kalanya, nikmat justru menjadi jalan menuju kehancuran, sebab ia menipu dan menjerumuskan manusia dalam kesombongan serta kelalaian. Fenomena inilah yang dalam Islam disebut istidraj.
Istidraj adalah sebuah konsep penting yang sering disebut dalam Al-Qur’an dan hadis, namun banyak orang tidak selalu menyadarinya. Orang yang mendapatkan istidraj biasanya merasa dirinya sedang mendapat kemuliaan Allah. Padahal sejatinya ia sedang berjalan perlahan menuju azab tanpa ia sadari.
Istidraj Secara Bahasa dan Istilah
Secara bahasa, istidraj berasal dari kata “daraja” yang berarti “tingkatan” atau “tahapan.” Dari akar kata tersebut, istidraj bermakna naik sedikit demi sedikit atau mendapatkan sesuatu secara bertahap. Dalam konteks keagamaan, istilah ini berarti Allah memberikan kenikmatan duniawi kepada seseorang yang berbuat maksiat dan kufur sebagai bentuk penundaan hukuman, bukan karena cinta atau ridha.
Secara istilah, para ulama menjelaskan bahwa istidraj adalah pemberian nikmat secara terus-menerus kepada orang yang bermaksiat, sementara hatinya semakin jauh dari ketaatan kepada Allah. Ia merasa aman dan bangga dengan apa yang dimilikinya, padahal hakikatnya Allah sedang menjeratnya perlahan untuk kemudian menimpakan azab.
Dalil Al-Qur’an Tentang Istidraj
Allah SWT dengan tegas menjelaskan konsep istidraj dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Salah satu yang paling jelas terdapat dalam Surah Al-An‘ām ayat 44:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; hingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami timpakan azab kepada mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”
(QS. Al-An‘ām: 44)
Ayat ini menggambarkan bahwa ketika manusia lalai dan menolak peringatan Allah, justru Allah membuka pintu-pintu nikmat dan kesenangan bagi mereka. Namun, saat mereka sedang larut dalam kebahagiaan duniawi itu, azab datang secara mendadak tanpa mereka sempat bertaubat. Inilah hakikat istidraj — kenikmatan yang mengantarkan kepada kebinasaan.
Ayat lain yang mengandung makna serupa terdapat dalam Surah Al-Qalam ayat 44:
“Maka biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an); nanti Kami akan menarik mereka secara berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui.”
(QS. Al-Qalam: 44)
Kata “sanastadrijuhum” (Kami akan menarik mereka sedikit demi sedikit) adalah bentuk kata kerja dari istidraj. Artinya, Allah memberikan kelapangan rezeki, kekuasaan, atau kesenangan dunia kepada mereka yang sebenarnya sedang menuju kehancuran spiritual. Semua itu berlangsung tanpa mereka sadari — azab yang tertunda tapi pasti.
Hadis Nabi Tentang Istidraj
Rasulullah ﷺ juga memperingatkan umatnya tentang bahaya istidraj. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, beliau bersabda:
“Apabila kamu melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seseorang padahal dia tetap melakukan maksiat kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj.”
(HR. Ahmad, Baihaqi, dan Thabrani)
Hadis ini menegaskan bahwa tidak semua bentuk keberlimpahan dunia adalah tanda keberkahan. Kadang itu justru ujian berat berupa istidraj, yang menipu hati manusia hingga ia merasa aman dari murka Allah.
Ciri-Ciri Orang yang Mendapat Istidraj
Banyak orang sulit membedakan antara nikmat yang penuh berkah dengan istidraj yang berujung pada azab. Padahal keduanya bisa tampak serupa di permukaan. Ciri-ciri orang yang mendapat istidraj adalah :
- Bergelimang Nikmat, Tapi Lalai dari Ibadah
Orang yang diberi kelapangan dunia namun tidak semakin rajin beribadah patut waspada. Nikmat yang tidak membuat seseorang bersyukur dan taat adalah tanda istidraj. - Meremehkan Dosa dan Tidak Takut Azab
Mereka yang merasa aman berbuat maksiat karena mengira Allah akan terus mengampuni tanpa taubat, sesungguhnya sedang terperangkap dalam tipuan istidraj. - Tidak Mau Menerima Nasihat
Orang yang mendapatkan istidraj biasanya keras hati. Ia tidak mau mendengarkan nasihat, bahkan menertawakan orang yang mengingatkannya. - Semakin Jauh dari Kebenaran Meski Dikelilingi Kenikmatan
Setiap nikmat baru membuatnya semakin cinta dunia, bukan cinta Allah. Ia sibuk menghitung kekayaannya, bukan amalnya.
Kisah-Kisah Istidraj Dalam Sejarah
Banyak kisah dalam Al-Qur’an yang menggambarkan contoh nyata dari istidraj. Salah satunya adalah Kisah Qarun, seorang kaya raya dari Bani Israil. Allah memberinya harta yang kuncinya saja harus dipikul oleh beberapa orang kuat. Namun, Qarun justru sombong dan berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi (harta itu) karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78).
Kesombongan itu membuat Allah menenggelamkannya bersama hartanya ke dalam bumi. Harta yang ia banggakan justru menjadi sebab kehancurannya — itulah istidraj.
Contoh lain adalah kaum Ad dan Tsamud, bangsa yang diberi kekuatan dan kemegahan luar biasa. Namun mereka ingkar kepada Allah dan mendustakan rasul-Nya. Mereka hidup makmur, tetapi kesombongan dan kemaksiatan mereka mengundang azab yang membinasakan. Semua kemegahan itu tidak lain hanyalah istidraj sebelum datangnya kehancuran.
Mengapa Allah Memberikan Istidraj
Seseorang mungkin bertanya, “Mengapa Allah memberikan istidraj? Mengapa Allah membiarkan orang kafir atau zalim hidup senang?”
Jawabannya adalah: karena Allah Maha Adil dan Maha Mengetahui. Istidraj adalah bentuk ujian sekaligus penundaan hukuman. Allah memberi waktu kepada hamba-Nya untuk bertobat. Namun, jika ia tetap keras kepala, maka azab akan datang secara tiba-tiba.
Allah berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 178:
“Dan jangan sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa Kami memberi tangguh kepada mereka itu baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan.”
(QS. Ali Imran: 178)
Menghindari Istidraj
Agar terhindar dari istidraj, setiap Muslim harus melakukan introspeksi diri (muhasabah) dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Berikut beberapa langkahnya:
- Bersyukur dan Rendah Hati Atas Nikmat
Syukur adalah kunci utama untuk menjaga nikmat agar tetap menjadi berkah. Bersyukur bukan hanya dengan ucapan, tetapi dengan amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. - Jangan Terlena Dengan Dunia
Dunia adalah tempat ujian, bukan tempat bersenang-senang abadi. Seorang mukmin sejati memandang dunia hanya sebagai sarana menuju akhirat. - Perbanyak Istighfar dan Taubat
Allah membuka pintu taubat selebar-lebarnya. Setiap nikmat yang kita rasakan seharusnya membuat kita semakin takut kepada Allah, bukan semakin lalai. - Menerima Nasihat dan Peringatan
Orang yang beriman tidak alergi terhadap nasihat. Ia justru berterima kasih ketika diingatkan, sebab ia tahu bahwa peringatan adalah tanda kasih sayang Allah. - Gunakan Nikmat untuk Kebaikan
Harta, waktu, ilmu, dan kekuasaan harus digunakan untuk menegakkan kebaikan dan kemaslahatan, bukan kesombongan dan kemaksiatan.
Penutup
Istidraj adalah nikmat yang menipu, karunia yang tampak indah namun berujung pada kehancuran. Ia adalah bentuk azab yang ditunda, jebakan halus dari Allah bagi orang yang lalai dan sombong. Karena itu, seorang Muslim harus senantiasa berhati-hati dalam menikmati kehidupan dunia. Jangan sampai kita termasuk orang yang diberi kelapangan dunia, tetapi dicabut keberkahannya.
Semoga Allah menjauhkan kita dari istidraj dan menjadikan setiap nikmat yang kita terima sebagai jalan untuk semakin dekat kepada-Nya. Sebab, nikmat sejati bukanlah yang melimpah di dunia, tetapi yang membawa kita menuju keselamatan di akhirat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
