Surau.co. Di zaman serba cepat ini, banyak orang sibuk membangun masa depan, tapi lupa menata fondasi batin. Kita belajar tentang teknologi, ekonomi, bahkan cara mengatur waktu. Namun, berapa banyak dari kita yang benar-benar tahu apa yang kita yakini dalam agama sendiri? Di sinilah pentingnya mempelajari ‘Aqīdah—keyakinan dasar dalam Islam—sebuah pondasi spiritual yang dibahas dengan indah dalam kitab klasik Aqīdatul Awwām karya Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī.
‘Aqīdah bukan sekadar teori teologis; ia adalah cara kita memandang Tuhan, kehidupan, dan makna diri. Tanpa ‘aqīdah yang kokoh, ibadah bisa kehilangan arah, dan nilai-nilai moral bisa mudah tergoyahkan. Maka, pertanyaan “Mengapa aku harus tahu ‘aqīdah?” bukan sekadar renungan, melainkan kebutuhan ruhani setiap Muslim modern.
Menelusuri Makna ‘Aqīdah: Ikatan Keyakinan yang Menghidupkan
Kata ‘aqīdah berasal dari akar kata ‘aqada yang berarti “mengikat dengan kuat.” Dalam konteks iman, ia adalah simpul batin yang mengikat hati pada kebenaran. Syaikh Ahmad al-Marzūqī membuka kitabnya dengan bait penuh makna:
قَالَ الْعَبْدُ الْفَقِيرُ أَحْمَدُ مَنْ رَجَا
رَبًّا غَفُورًا وَهْوَ ذُو الْعَطَايَا“Berkata hamba yang fakir, Ahmad yang mengharap
Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Pemberi karunia.”
Bait ini bukan hanya pembuka sastra, tetapi cermin kerendahan hati seorang ulama yang menegaskan: belajar ‘aqīdah dimulai dari rasa butuh kepada Allah. Itulah ruh keilmuan dalam Islam — ilmu bukan sekadar pengetahuan, tapi pengakuan bahwa kita selalu bergantung pada Sang Pencipta.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
(“Allah meneguhkan hati orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di kehidupan dunia dan akhirat.”) — QS. Ibrahim [14]: 27
‘Aqīdah yang benar meneguhkan hati, sementara yang goyah membuat hidup kehilangan arah.
Pelajaran dari Aqīdatul Awwām: Iman yang Terstruktur dan Rasional
Salah satu keindahan kitab Aqīdatul Awwām adalah struktur penjelasannya yang sistematis dan mudah dihafal. Dengan format nazham (syair), kitab ini mengajarkan tauhid dengan pendekatan logis sekaligus lembut.
Syaikh al-Marzūqī menjelaskan sifat-sifat wajib bagi Allah seperti al-Wujūd (ada), al-Qidam (tidak berpermulaan), dan al-Baqā’ (kekal). Ia juga mengajarkan bahwa mengenal sifat-sifat Allah bukan untuk membatasi-Nya, tapi agar manusia belajar mengenal kebesaran-Nya melalui akal dan hati.
Bait lain berbunyi:
وَكُلُّ مَا أَتَى بِهِ الرَّسُولُ
فَحَقُّهُ التَّسْلِيمُ وَالْقَبُولُ“Segala yang dibawa oleh Rasul, wajib diterima dengan penuh kepasrahan dan penerimaan.”
Bait ini menegaskan pentingnya keimanan yang tidak hanya rasional, tetapi juga berserah kepada wahyu. Dalam dunia modern yang serba skeptis, pelajaran ini terasa sangat relevan: bahwa akal manusia harus menjadi jembatan menuju keimanan, bukan penghalang darinya.
Mengapa Aku Harus Tahu ‘Aqīdah? Antara Identitas dan Iman
Mengetahui ‘aqīdah berarti mengenali siapa diri kita. Tanpa ‘aqīdah, seseorang bisa pintar, sukses, dan populer—tetapi tetap merasa kosong. Karena pengetahuan duniawi tidak menggantikan kebutuhan ruhani.
Seorang Muslim yang tahu ‘aqīdahnya akan punya kompas batin yang jelas. Ia tahu dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan ke mana akan kembali. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa tiada tuhan selain Allah, maka ia akan masuk surga.” — HR. Muslim
Hadis ini menegaskan pentingnya mengetahui sebelum mengakui. Iman bukan hanya ucapan lisan, tapi pemahaman yang mengakar dalam hati. Maka, belajar ‘aqīdah adalah bagian dari perjalanan mengenal Tuhan dengan sadar.
Aqidah dalam Realitas Modern: Antara Tantangan dan Harapan
Remaja dan dewasa muda kini hidup di tengah lautan informasi. Media sosial memengaruhi cara berpikir, dan ide-ide baru bisa dengan mudah menggeser nilai iman. Tanpa pondasi ‘aqīdah, seseorang bisa terseret pada relativisme moral — merasa semua kebenaran relatif dan agama hanyalah pilihan gaya hidup.
Di sinilah Aqīdatul Awwām kembali menemukan relevansinya. Kitab ini bukan hanya warisan ulama masa lalu, tetapi juga panduan spiritual masa kini. Ia mengajarkan bahwa mengenal Allah adalah kebutuhan manusia sepanjang zaman.
Dengan ‘aqīdah, kita belajar menghidupkan iman di tengah rutinitas modern — menjadikan zikir dan pikir seimbang. ‘Aqīdah membuat kita sadar bahwa teknologi adalah alat, bukan Tuhan baru; kesuksesan adalah amanah, bukan tujuan akhir.
Menanamkan Aqidah Sejak Dini: Dari Sekadar Hafalan ke Penghayatan
Banyak dari kita mempelajari ‘aqīdah hanya sebagai hafalan di madrasah. Padahal, Syaikh al-Marzūqī mengajarkan agar setiap bait dihayati dengan pemahaman dan rasa. Misalnya, bait tentang para rasul:
وَالْرُّسُلُ الْعِدَدُ خَمْسَةٌ عَشَرْ
مَنْ ذُكِرُوا بِالذِّكْرِ فِي الْخَبَرْ“Jumlah rasul ada lima belas, yang disebut dalam kabar (wahyu).”
Bait ini bukan sekadar angka, tapi ajakan mengenal manusia-manusia pilihan yang membawa cahaya iman. Mengajarkan ‘aqīdah berarti menghidupkan kesadaran spiritual—bahwa setiap sifat Allah dan kisah para nabi adalah cermin untuk memperbaiki diri.
Guru agama, orang tua, dan lembaga pendidikan perlu mengemas pembelajaran ‘aqīdah dengan bahasa yang dekat dengan dunia anak muda: melalui kisah, refleksi, dan aplikasi hidup sehari-hari. Dengan begitu, ‘aqīdah tidak lagi terasa berat, tapi menjadi napas keseharian.
Penutup
Belajar ‘aqīdah bukan sekadar mengenal konsep, tapi mengikat hati pada kebenaran yang hakiki. Ia adalah ilmu yang menenangkan, menuntun manusia untuk hidup dengan makna, dan meneguhkan langkah di tengah dunia yang berubah cepat.
Syaikh Ahmad al-Marzūqī menulis Aqīdatul Awwām dengan niat menyelamatkan umat dari kebingungan zaman. Kini, di era digital, kitab itu kembali mengajak kita menata ulang keyakinan: agar hati tetap bersandar pada Allah, bukan pada algoritma.
Karena pada akhirnya, iman adalah cahaya yang tidak pernah padam bagi mereka yang mau mengenalnya.
“Dan Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” — QS. Al-Baqarah [2]: 257
Maka, mengapa aku harus tahu ‘aqīdah?
Karena hanya dengan mengenal Tuhan, aku benar-benar mengenal diriku sendiri.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
