Khazanah
Beranda » Berita » Cahaya yang Tak Pernah Padam: Menyelami Jiwa di Dalam Filsafat Isyraq

Cahaya yang Tak Pernah Padam: Menyelami Jiwa di Dalam Filsafat Isyraq

ilustrasi hati memancarkan cahaya lembut
Hati manusia sebagai pusat pancaran cahaya yang lembut, dengan latar pohon zaitun dan siluet langit senja

Surau.co. Dalam bait pertama ini aku menyebut cahaya yang tak pernah padam, karena itulah frasa kunci yang akan kita ulas menyalakan makna dari kitab Ḥikmat al-Ishrāq karya Shihāb al-Dīn Yaḥyā al-Suhrawardī. Cahaya itu bukan sekadar metafora indah — tapi inti dari dunia batin, jembatan antara jiwa dan realitas, medium di mana alam mithāl (world of images) berpijar. Frasa cahaya hidup ini akan muncul beberapa kali, menuntun pembaca menapaki jalan iluminasi dan filsafat Isyraq dengan hangat dan lembut.

Cahaya Dalam Kehidupan Sehari-hari: Kisah Kecil, Cahaya Kecil

Bayangkan pagi hari, ketika embun memeluk dedaunan, dan sinar mentari menyentuh kaca jendela kamar Anda. Ada momen diam di situ, ketika udara seakan terhenti, dan kita melihat butir-butir cahaya menari di debu. Itu bukan sekadar pantulan — ia adalah cermin kecil dari cahaya yang lebih luas, yang telah hadir sejak awal waktu. Dalam kehidupan sehari-hari kita, kadang kita lalai menyadari bahwa setiap sudut, bayangan, dan siluet mengandung gema cahaya itu.

Suhrawardī mengajak kita agar tidak hanya melihat cahaya di luar, tetapi mengenali cahaya yang melekat dalam diri — jiwa kita sendiri sebagai residu cahaya yang pernah berada dalam hadirat Ilahiyah. Kita disebutkan memenjarakan cahaya dalam bentuk materi dan rupa, lalu harus membebaskannya lewat perjalanan batin.

Menyelami Al-Ishrāq: Ontologi Cahaya & Dunia Imajinal

Filsafat Isyraq (iluminasi) menempatkan cahaya sebagai substansi dasar realitas. Semua yang wujud — malaikat, jiwa, materi — adalah derivasi dari cahaya dalam derajat berbeda. Dunia imaginal (alam mithāl) menjadi panggung antara, di mana citra-citra batin menampakkan makna dalam rupa-rupa simbolis.

Suhrawardī berkata dalam Ḥikmat al-Ishrāq:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«النور لا يتقدم إلى شيء إلاّ بأنه مميزٌ عنه»
“Cahaya tidak mendahului suatu wujud kecuali bahwa ia berbeda daripadanya.”

Artinya: cahaya tidak bisa hadir tanpa menghadirkan perbedaan — wujud itu terpisah dari cahaya sebagai identitasnya.

Dan juga:

«كلّ شَيءٍ من نورٍ بصير»
“Segala sesuatu adalah cahaya yang melihat.”

Maksudnya: setiap entitas memiliki kapasitas melihat (wipingaya) karena ia sendiri adalah penjelmaan cahaya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ada juga:

«ما من شيء في العالم إلاّ وهو نور»
“Tiada sesuatu pun di dunia kecuali bahwa ia cahaya.”

Dan:

«نحن أشرقتنا الأنوار فلن تزلُّ تُشرِقُ في قلوب الأولياء»
“Kami adalah cahayamu; maka jangan berhenti menyinari hati para kekasih (wali).”

Keempat kutipan ini menunjukkan bahwa bagi Suhrawardī, cahaya bukan hanya penglihatan, melainkan eksistensi, fungsi, dan makna sekaligus — tiap jiwa yang sadar adalah cahaya yang melihat dan menyinari.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam kehidupan nyata, kita mengalami itu ketika kita “melihat” makna di balik wajah, ketika kita merasakan kehadiran Tuhan dalam senja, atau ketika hati tiba-tiba tergetar oleh doa — itulah momen ketika alam mithāl berkunjung.

Cahaya yang Tak Pernah Padam: Pelajaran Praktis untuk Jiwa

  1. Menyadari Cahaya Batin
    Setiap pagi, luangkan waktu diam 5–10 menit: pejamkan mata, bayangkan sinar kecil di pusat hati, kuatkan harapan bahwa cahaya itu ada di sana — lembut, tak pernah padam. Latihan sederhana ini membantu kita merasakan keterhubungan dengan prinsip Isyraq dalam Ḥikmat al-Ishrāq.

  2. Melihat dalam Bayangan
    Ketika kita melihat bayangan orang lain, coba renungkan: bayangan itu muncul karena ada cahaya di belakang kita. Simbol ini mengajarkan bahwa apa yang tampak gelap di hati bisa jadi pertanda bahwa cahaya sedang bekerja — kita hanya belum membalikkan wajah. Dalam hidup, konflik, luka, ketidakpastian — semuanya bayangan. Tapi cahaya selalu hadir di baliknya.

  3. Membaca Simbol-Simbol Hidup
    Suhrawardī sering memakai simbol: mata, cermin, pintu cahaya, malaikat, dunia mimpi. Saat Anda membaca alam — bunga, hembusan angin, kilau air — perlakukan itu sebagai teks rahasia. Tanyakan: “Apa yang ingin disampaikan?” Biarkan kata hati menjawabnya. Itu cara kita mengaktifkan alam mithāl dalam keseharian.

  4. Menjalin Kehidupan Cahaya dengan Tindakan
    Ilmu atau pemahaman saja tidak cukup jika tidak menjelma dalam amal. Cahaya yang tak pernah padam harus menerangi tindakan: bersikap jujur, rendah hati, memberi tanpa pamrih. Seperti cahaya matahari yang menyinari tanpa memilih, alam batin kita hendaknya meluap ke dunia.

Cahaya dalam Qur’an dan Hadits: Titik Temu Iluminasi

Allah berfirman:

«اللَّهُ نُورُ السماواتِ وَالأرضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ»
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya ialah seperti sebuah lobang lampu; lampu itu dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) ; dinyalakan dengan minyak dari pohon yang amat diberkahi, pohon zaitun yang tidak darinya timur dan tidak pula barat ; minyaknya hampir menerangi walau tidak disentuh api . Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis) . Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini sering dianggap sebagai fondasi spiritual bagi konsep iluminasi: “cahaya atas cahaya” (nūr ‘alā nūr) menunjukkan hierarki cahaya, bukan sekadar metafora estetis.

Dalam hadits, Nabi Muhammad saw. bersabda:

«طَلَبُ الْحِكْمَةِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»
“Menuntut hikmah adalah kewajiban atas setiap Muslim.”

Hikmah di sini selaras dengan isyraq: hikmah sebagai memetik cahaya pengetahuan, bukan sekadar pengetahuan akal semata.

Cahaya yang Menyapa Hati: Menjelajahi Makna dan Keterhubungan

Ketika kita membaca Ḥikmat al-Ishrāq, kita tak sekadar membaca teori filosofis — kita diajak memasuki ruang batin, merasakan denyut cahaya. Kita disadarkan bahwa setiap wujud adalah cahaya yang melihat dan terlihat; bahwa dunia imaginal bukan khayalan murahan, melainkan medium agar makna berpijar; bahwa jiwa merindu kembali ke cahaya asal.

Artikel ini bukan hanya ulasan; ia doa kecil agar pembaca merasakan bahwa cahaya yang tak pernah padam itu menghuni diri — menunggu disapa, disentuh, dan dinyatakan lewat tindakan. Maka, bacalah kitab itu bukan sekadar sebagai teks kuno, melainkan sebagai undangan agar jiwa berjalan menuju fajar abadi.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement