Khazanah
Beranda » Berita » Harapan Panjang yang Mencuri Sekejap Cahaya

Harapan Panjang yang Mencuri Sekejap Cahaya

ilustrasi manusia berdiri di bawah senja dengan bayangan panjang, simbol harapan panjang yang menutupi cahaya kesadaran
Visual simbolik tentang manusia yang kehilangan cahaya kesadaran karena terperangkap dalam angan panjang dan penundaan.

Surau.co. Harapan panjang yang mencuri sekejap cahaya — begitu halusnya kalimat ini menggambarkan penyakit hati yang diam-diam tumbuh dalam diri manusia. Ibn al-Jawzī dalam Talbīs Iblīs menulis dengan penuh kebijaksanaan: bahwa salah satu tipu daya iblis yang paling berbahaya bukanlah dosa besar, melainkan panjangnya angan. Ia membiarkan manusia sibuk menunda kebaikan dengan kalimat yang manis: “Masih ada waktu.”

Dalam kitabnya, Ibn al-Jawzī berkata:

إِنَّ إِبْلِيسَ يُمَنِّي الْعَبْدَ بِطُولِ الْأَمَلِ حَتَّى يَغْفُلَ وَيَسْهُوَ، وَيُسَوِّفَ بِالتَّوْبَةِ
“Sesungguhnya iblis menipu seorang hamba dengan angan panjang hingga ia lalai, terlena, dan selalu menunda taubat.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Setiap manusia hidup dengan harapan — dan itu bukan salah. Tapi ketika harapan berubah menjadi penundaan, ia menjelma menjadi kabut yang menutupi cahaya kesadaran. Ia membuat manusia menunggu waktu yang “tepat” untuk berubah, padahal waktu tak pernah benar-benar tepat.

Penundaan yang Terbungkus Kebaikan

Kita sering berkata, “Nanti saja aku bertaubat,” atau “Setelah urusan ini selesai aku akan berubah.” Iblis, menurut Ibn al-Jawzī, tidak menggoda dengan ajakan menolak kebenaran, melainkan dengan menunda-nundanya. Ia paham manusia lebih mudah kalah oleh waktu daripada oleh logika.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

مَا أَكْثَرَ مَنْ يَقُولُ سَأَتُوبُ غَدًا، وَمَا أَقَلَّ مَنْ بَلَغَ غَدًا
“Betapa banyak yang berkata, ‘Aku akan bertaubat besok,’ dan betapa sedikit yang benar-benar sampai kepada besok itu.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Kalimat ini menohok seperti cermin. Dalam hidup modern, bentuknya semakin halus. Kita menunda ibadah karena pekerjaan, menunda belajar agama karena sibuk, menunda menulis kebaikan karena menunggu “inspirasi.” Semua terdengar masuk akal, padahal sejatinya itu adalah bentuk penipuan.

Iblis tidak memerlukan kekuatan besar untuk menjatuhkan manusia; cukup membuatnya percaya bahwa masih ada waktu.

Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an:

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Biarkan mereka makan, bersenang-senang, dan dilalaikan oleh angan-angan; kelak mereka akan mengetahui (akibatnya).”
(QS. Al-Hijr: 3)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ayat ini bukan sekadar ancaman, tapi juga pengingat bahwa angan yang tak terkendali dapat mematikan rasa cukup.

Ketika Dunia Terlihat Tak Pernah Selesai

Ibn al-Jawzī menulis dengan kegetiran yang masih relevan hingga hari ini. Ia melihat manusia di zamannya mengejar dunia tanpa ujung, seperti berlari di padang pasir dengan fatamorgana di depan mata.

يُزَيِّنُ إِبْلِيسُ لِلْإِنْسَانِ الدُّنْيَا وَيَقُولُ لَهُ: إِنَّمَا هِيَ سَاعَاتٌ، ثُمَّ تَتُوبُ، فَيَبْقَى عَلَى الْغَفْلَةِ سِنِينَ
“Iblis menghiasi dunia bagi manusia dan berkata, ‘Hanya sebentar saja, nanti engkau akan bertaubat,’ maka ia pun terus dalam kelalaian bertahun-tahun.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Kita mengenalnya sebagai fenomena “nanti.” Nanti setelah kaya, nanti setelah stabil, nanti setelah punya waktu. Padahal, dunia tak pernah memberi ruang yang cukup bagi “nanti.”

Setiap kali manusia mengejar harapan panjangnya, ia kehilangan sekejap cahaya kehadiran. Ia lupa bahwa hidup hanya bisa disentuh sekarang — bukan kemarin, bukan besok.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Harapan yang Menenangkan Tapi Menjerat

Harapan panjang membuat manusia merasa tenang dalam keterlambatan. Ia menipu dengan rasa aman palsu: seolah waktu berpihak pada kita. Tapi sebagaimana dijelaskan Ibn al-Jawzī, harapan itu seperti pelukan yang hangat namun beracun.

إِذَا طَالَ الْأَمَلُ قَسَا الْقَلْبُ، وَإِذَا قَسَا الْقَلْبُ بَعُدَ عَنِ اللَّهِ
“Jika angan terlalu panjang, hati menjadi keras; dan jika hati telah keras, ia akan jauh dari Allah.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Harapan yang tak terukur mengubah manusia menjadi penonton hidupnya sendiri. Ia tak lagi bergerak, hanya menunggu. Ia menunda berbuat baik karena menunggu kondisi ideal, padahal kebaikan sejati tumbuh di tengah ketidaksempurnaan.

Seperti bunga yang tetap mekar di tanah kering, amal terbaik sering lahir justru di saat yang tak kita rencanakan.

Menyadari Cahaya yang Tersisa

Namun Ibn al-Jawzī bukanlah penulis yang membawa keputusasaan. Ia menulis Talbīs Iblīs bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membangunkan manusia dari tidur panjangnya. Ia mengajak kita menyadari bahwa setiap napas adalah pintu yang bisa diketuk oleh kesadaran.

الدَّوَاءُ لِطُولِ الْأَمَلِ ذِكْرُ الْمَوْتِ وَالْآخِرَةِ، فَإِذَا ذَكَرَهُمَا قَصُرَ أَمَلُهُ وَأَحْسَنَ عَمَلَهُ
“Obat bagi panjang angan adalah mengingat kematian dan akhirat. Jika seseorang mengingatnya, angannya menjadi pendek dan amalnya menjadi baik.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Mengingat mati bukan berarti takut hidup, tapi menyadari betapa berharganya detik yang kita miliki.
Setiap detik adalah kesempatan untuk memperbaiki niat, memperindah amal, dan menyentuh hati orang lain dengan kasih.

Dalam setiap nafas yang masih ada, kita bisa memilih untuk tidak lagi menjadi tawanan harapan panjang, tapi penikmat cahaya yang hadir sekarang.

Harapan yang Tak Lagi Mencuri

Harapan tidak harus dihapus — ia hanya perlu dibersihkan. Dan harapan yang lahir dari iman akan mendorong tindakan, bukan penundaan. Ia membuat manusia tetap bersemangat, tapi juga sadar batas waktu.

Allah berfirman:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Maka apabila engkau telah selesai (dari satu urusan), tetaplah bekerja keras, dan hanya kepada Tuhanmu engkau berharap.” (QS. Asy-Syarh: 7–8)

Ayat ini adalah penawar bagi setiap harapan panjang yang menipu. Ia mengajarkan: setelah satu hal selesai, lanjutkan yang lain — jangan berhenti di angan.

Karena cahaya Allah tidak menunggu masa depan; ia hadir dalam kesungguhan hari ini.

Menutup dengan Kesadaran yang Hangat

Harapan panjang yang mencuri sekejap cahaya bukanlah larangan untuk bermimpi, tapi ajakan untuk hidup dengan kesadaran.
Ibn al-Jawzī seolah ingin berkata: berhentilah menunda. Jangan menunggu saat sempurna untuk memulai kebaikan, karena kesempurnaan bukan syarat untuk dicintai Allah.

Mulailah dari apa yang ada, dari langkah yang kecil, dari hati yang sadar.
Sebab setiap detik yang dijalani dengan jujur kepada-Nya akan berubah menjadi cahaya — cahaya yang tak akan pernah bisa dicuri oleh angan.

 

* Sugianto Al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement