Surau.co. Iblis yang menulis kitab tafsir — kalimat ini terdengar aneh, tapi Ibn al-Jawzī dalam karya monumentalnya Talbīs Iblīs seolah memang sedang memperingatkan hal serupa: bahwa iblis bukan hanya menyesatkan orang bodoh, tetapi juga mereka yang berilmu. Ia tidak selalu datang dengan godaan maksiat, melainkan dengan pena, dalil, dan kata-kata yang tampak benar.
Dalam kitab itu, Ibn al-Jawzī menulis dengan kegetiran yang jujur:
إِنَّ إِبْلِيسَ لَمْ يَتْرُكِ الْعُلَمَاءَ وَلَا الزُّهَّادَ حَتَّى خَدَعَهُمْ بِالْعِلْمِ وَالزُّهْدِ
“Sesungguhnya iblis tidak meninggalkan para ulama dan ahli zuhud, melainkan menipu mereka melalui ilmu dan kezuhudan mereka sendiri.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Inilah “iblis yang menulis kitab tafsir” — bukan karena ia memegang pena, tetapi karena ia menulis di hati manusia yang berilmu namun kehilangan cahaya. Ia tidak melarang seseorang belajar, tapi mengubah ilmunya menjadi kebanggaan. Ia tidak melarang menafsirkan ayat, tapi menukar maknanya dengan kepentingan diri.
Dan betapa sering fenomena ini kita temui hari ini — di mana kebenaran diucapkan bukan untuk mendekatkan manusia kepada Allah, tapi untuk memperkuat posisi di mata manusia.
Ketika Ilmu Menjadi Cermin Kesombongan
Kita hidup di masa di mana ilmu begitu mudah diakses. Seseorang bisa menjadi “alim digital” hanya dengan kutipan singkat. Tapi Ibn al-Jawzī telah memperingatkan delapan abad lalu bahwa iblis sangat menyukai orang berilmu yang tak lagi rendah hati.
يُزَيِّنُ إِبْلِيسُ لِلْعَالِمِ قَوْلَهُ فَيُرِيْهِ أَنَّهُ يُنْقِذُ النَّاسَ، وَإِنَّمَا يُرِيْهِ لِيُعْجِبَ بِنَفْسِهِ
“Iblis menghiasi perkataan seorang alim, seolah ia sedang menyelamatkan manusia, padahal hanya agar ia kagum pada dirinya sendiri.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Bayangkan, iblis tidak mengganggu dengan maksiat, melainkan dengan kebanggaan dalam menafsirkan makna. Ia menjadikan tafsir sebagai cermin untuk memuja diri, bukan jendela untuk melihat Tuhan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mengenal bentuknya. Seseorang yang bicara tentang akhlak tapi mudah menghina. Yang menafsirkan sabar tapi sulit menahan diri. Yang mengajarkan keikhlasan tapi ingin dikenal sebagai guru ruhani.
Ilmu, tanpa kehadiran cahaya hati, bisa menjadi senjata iblis yang paling tajam.
Allah telah memperingatkan dalam Al-Qur’an:
كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
“(Orang yang diberi ilmu tapi tidak mengamalkannya) seperti keledai yang membawa kitab-kitab di punggungnya.” (QS. Al-Jumu’ah: 5)
Ayat ini menggambarkan dengan getir: pengetahuan tanpa kerendahan hati hanyalah beban, bukan penerang.
Tafsir yang Hilang dari Kehidupan
Ibn al-Jawzī menulis Talbīs Iblīs bukan untuk menghukum orang berilmu, tapi untuk mengguncang mereka agar sadar bahwa ilmu bisa menjadi jerat. Dalam salah satu bagian, beliau menulis:
الْعِلْمُ يُرَادُ لِتَهْذِيبِ النَّفْسِ، فَإِذَا صَارَ سَبَبًا لِلْكِبْرِ فَقَدْ تَحَوَّلَ إِلَى بَلَاءٍ
“Ilmu ditujukan untuk menyucikan jiwa. Namun bila menjadi sebab kesombongan, maka ia telah berubah menjadi bencana.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Tafsir sejati bukanlah tentang menjelaskan makna ayat, tapi menjadikan diri kita sebagai cermin ayat itu. Sayangnya, banyak tafsir berhenti di lidah dan tinta, tapi tak pernah tumbuh dalam laku.
Kita mungkin hafal ayat tentang kasih sayang, tapi sulit memaafkan. Dan kita mengutip ayat tentang sedekah, tapi ragu memberi. Kita menafsirkan surga, tapi masih sibuk menata dunia.
Iblis, kata Ibn al-Jawzī, berbahagia setiap kali ilmu dijadikan pajangan. Ia tidak ingin manusia bodoh — ia ingin manusia cerdas tapi tak sadar bahwa kecerdasannya telah menjauhkan mereka dari Allah.
Ilmu yang Menghidupkan, Bukan Membutakan
Ibn al-Jawzī menulis dalam Talbīs Iblīs dengan nada doa dan luka. Ia tidak mencaci para ulama, melainkan meratap atas mereka yang lupa hakikat ilmu. Ia berkata:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِلْعَمَلِ زَكَّاهُ اللَّهُ، وَمَنْ طَلَبَهُ لِلرِّيَاءِ أَعْمَاهُ اللَّهُ
“Barang siapa mencari ilmu untuk diamalkan, Allah akan menyucikannya; dan barang siapa mencarinya untuk pamer, Allah akan membutakannya.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Ilmu yang benar adalah yang menundukkan hati, bukan yang mengangkat kepala. Ia tidak menjadikan manusia merasa lebih tinggi, tapi justru lebih takut kepada kesalahan diri.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللَّهِ إِلَّا بُعْدًا
“Barang siapa bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka ia hanya bertambah jauh dari Allah.”
(HR. Dārimī)
Kebenaran tanpa keikhlasan adalah rumah yang indah tapi tak berpenghuni. Tafsir yang indah tanpa ketundukan adalah kitab kosong di atas mimbar.
Menulis Kembali dengan Cahaya Hati
Hari ini, mungkin kita semua menulis “tafsir” dalam bentuk yang berbeda — di media sosial, di ruang kelas, di percakapan sehari-hari. Tapi pertanyaan Ibn al-Jawzī tetap relevan: siapa yang menulisnya, hati atau ego?
Karena iblis bisa menulis kitab tafsir juga — bukan dalam bentuk ayat, tapi dalam bentuk kebanggaan, debat, dan keinginan untuk selalu benar.
Perjalanan melawan “iblis yang menulis tafsir” adalah perjalanan melawan diri sendiri. Ia menuntut kejujuran untuk mengakui bahwa terkadang, kita bicara tentang Allah lebih banyak daripada kita mendengar Allah.
Namun ada harapan. Ibn al-Jawzī menutup banyak bagian kitabnya dengan nada lembut: bahwa siapa pun yang kembali kepada keikhlasan akan diselamatkan dari talbis. Karena keikhlasan adalah cahaya yang tidak bisa ditiru oleh iblis.
إِذَا صَدَقَ الْعَبْدُ فِي طَلَبِ الْحَقِّ أَنْجَاهُ اللَّهُ مِنْ كُلِّ خِدَاعٍ
“Apabila seorang hamba tulus dalam mencari kebenaran, Allah akan menyelamatkannya dari setiap tipu daya.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Akhirnya, Tentang Menjadi Murid Lagi
Pada akhirnya, perjalanan ini mengajarkan satu hal: jangan pernah berhenti menjadi murid. Sebab ketika manusia merasa sudah menjadi guru, di situlah iblis mulai menulis tafsir di hatinya.
Menjadi murid berarti terus mencari, terus rendah hati, terus berdoa agar ilmu tidak menjauhkan dari Allah. Sebab ilmu tanpa nur (cahaya) hanya menambah gelapnya kebanggaan.
Maka sebelum menulis tafsir, biarkan hati lebih dulu ditafsirkan oleh Allah.
Dan di situlah, pengetahuan berubah menjadi cahaya — bukan godaan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
