Surau.co. Perjalanan pulang dari bayangan diri adalah perjalanan yang paling sunyi dan paling panjang. Ia bukan tentang berpindah tempat, melainkan berpindah kesadaran. Ibn al-Jawzī, dalam karyanya yang menakjubkan Talbīs Iblīs, menulis tentang hal ini bukan dengan nada teologis yang kering, melainkan dengan keprihatinan seorang ayah terhadap anak-anaknya yang tersesat.
Dalam kitab itu, beliau menjelaskan bahwa iblis tidak selalu datang dengan wajah gelap dan tawa jahat. Ia lebih sering datang dalam bentuk bayangan diri—sesuatu yang tampak seperti kita, berbicara seperti kita, namun perlahan menggiring kita menjauh dari kejujuran.
إِنَّ إِبْلِيسَ لَا يَأْتِي بِالْمَعْصِيَةِ صَرَاحَةً، بَلْ يُزَيِّنُهَا حَتَّى تَصِيرَ فِي الْقَلْبِ حَسَنَةً
“Sesungguhnya iblis tidak mendatangkan maksiat secara terang-terangan, melainkan menghiasinya hingga tampak indah di hati manusia.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Betapa sering kita menyangka sedang melakukan kebaikan, padahal sedang menuruti ego. Betapa sering kita mencari Allah, tapi yang kita temukan hanyalah bayangan diri yang mengaku suci.
Bayangan itulah yang sering membuat kita lelah dalam ibadah, kecewa dalam doa, dan hampa dalam pencarian. Sebab yang kita kejar bukan Tuhan, tapi pantulan diri kita sendiri.
Ketika Ego Memakai Jubah Iman
Dalam kehidupan sehari-hari, bayangan diri itu muncul dalam banyak bentuk. Ia hadir dalam kalimat “aku sudah berbuat cukup,” atau “aku lebih baik dari mereka.” Ia bersembunyi di balik ketaatan, meniru kelembutan doa, bahkan meniru wajah kesalehan.
Ibn al-Jawzī menulis dengan jujur tentang hal ini:
يُزَيِّنُ إِبْلِيسُ لِلْعَابِدِ تَعَبَّهُ وَيُرِيْهِ أَنَّهُ قَدْ بَلَغَ مَنْزِلَةً لَا يَحْتَاجُ فِيهَا إِلَى النُّصْحِ
“Iblis menghiasi bagi seorang ahli ibadah kesungguhannya, dan menampakkan bahwa ia telah sampai pada derajat yang tidak lagi membutuhkan nasihat.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Betapa halusnya racun ini. Seseorang yang terjebak di dalamnya tidak lagi mendengar teguran, sebab ia merasa sudah dekat dengan Tuhan. Padahal yang sebenarnya terjadi, ia sedang berputar dalam labirin ego spiritual.
Dalam dunia yang penuh pencitraan rohani, fenomena ini semakin nyata. Banyak yang menjadikan “perjalanan spiritual” sebagai kebanggaan, bukan pengabdian. Orang merasa istimewa karena sedang mencari Tuhan, tapi lupa bahwa Tuhan tidak ditemukan lewat rasa istimewa — melainkan lewat kerendahan hati.
Ketika Iblis Menjadi Pemandu Palsu
Iblis tidak pernah memerintahkan manusia untuk berhenti menyebut nama Allah. Ia tahu, itu akan membuat manusia sadar. Maka ia menempuh jalan lain: ia menjadi pemandu perjalanan, tapi dengan arah yang melingkar. Ia menuntun manusia agar sibuk dengan “rasa mencari,” tapi tidak pernah benar-benar sampai.
Ibn al-Jawzī mengibaratkannya seperti orang yang berputar di padang pasir: haus tapi tak pernah menemukan oase. Ia menulis:
يُخَيِّلُ إِبْلِيسُ لِلصُّوفِيِّ أَنَّهُ وَصَلَ، فَيَرْكَنُ وَيَسْكُنُ، وَفِي الْحَقِيقَةِ مَا زَالَ فِي أَوَّلِ الطَّرِيقِ
“Iblis membisikkan kepada seorang sufi bahwa ia telah sampai, maka ia pun tenang dan berhenti, padahal sejatinya ia masih berada di awal jalan.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Bayangan diri sering menipu kita dengan rasa “cukup.” Ia membuat kita puas dengan pencapaian rohani yang dangkal. Ia berkata, “Engkau telah mengenal Allah,” padahal yang kita kenal baru rasa kagum kepada diri sendiri yang sedang mengenal.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kalian menyucikan diri kalian sendiri, Dia lebih mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Ayat ini bukan sekadar larangan sombong, tapi juga seruan agar kita terus waspada terhadap “rasa sampai.” Karena pencarian Tuhan adalah perjalanan tanpa garis akhir.
Pulang ke Dalam Diri, Bukan ke Bayangan
Perjalanan pulang sejati bukanlah menuju tempat baru, tapi kembali ke hati yang lama terlupakan. Namun hati itu sering tertutup kabut bayangan: ambisi, rasa ingin diakui, dan kesalehan yang ingin dipuji.
Ibn al-Jawzī menulis dengan nada getir namun penuh kasih:
إِذَا عَرَفَ الْعَبْدُ نَفْسَهُ وَقَدْرَهَا، وَعَرَفَ رَبَّهُ وَعَظَمَتَهُ، سَلِمَ مِنْ طَلْبِيسِ إِبْلِيسِ
“Apabila hamba mengenal dirinya dan batasnya, serta mengenal Tuhannya dan keagungan-Nya, maka ia akan selamat dari tipu daya iblis.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Pulang dari bayangan diri berarti belajar mengenal diri tanpa topeng. Ia bukan perjalanan cepat, tapi lambat dan sunyi. Setiap kali ego muncul, kita menunduk; setiap kali iblis berbisik, kita tersenyum dan berkata, “Aku tahu ini bukan Engkau, ya Rabb.”
Dalam keheningan itu, hati mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan lagi keinginan untuk merasa dekat, tapi kerinduan yang tulus untuk diperhatikan oleh-Nya — bahkan jika tak ada yang tahu.
Cahaya yang Menyala dari Dalam
Perjalanan pulang dari bayangan diri adalah perjalanan menyalakan cahaya kesadaran. Ia tidak berakhir di puncak pengetahuan, tapi di lembah kerendahan hati. Ia bukan tentang menjadi suci, tapi tentang menjadi jujur — jujur bahwa kita rapuh, mudah tertipu, dan butuh rahmat Allah setiap detik.
Dalam dunia yang penuh hiruk-pikuk pencitraan spiritual, Ibn al-Jawzī mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan ketika kita merasa menang melawan iblis, tapi ketika kita sadar bahwa iblis tidak pernah berhenti mencoba.
Dan di titik itu, manusia akan menemukan makna terdalam dari pulang — pulang ke dalam hati yang kembali jernih, yang hanya mengenal satu cahaya: Allah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
