Surau.co. Tawakal yang berwajah malas — sebuah paradoks yang sering kita temui dalam hidup. Kata tawakal terdengar agung dan menenangkan, tapi dalam diam-diam, ia bisa menjadi topeng bagi kemalasan, dalih bagi ketidakpedulian, dan pembenaran untuk menyerah terlalu dini.
Ibn al-Jawzī, dalam karya legendarisnya Talbīs Iblīs, menjelaskan bahwa iblis tidak selalu mengajak manusia untuk meninggalkan iman. Ia lebih cerdik dari itu. Ia mengubah nilai-nilai mulia menjadi jalan kebinasaan — termasuk tawakal. Dalam kitabnya, beliau menulis:
إِنَّ إِبْلِيسَ يُزَيِّنُ لِلنَّاسِ التَّرْكِ وَيُسَمِّيهِ تَوَكُّلًا
“Sesungguhnya iblis menghiasi bagi manusia perbuatan meninggalkan usaha, lalu menamakannya tawakal.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Kalimat itu menampar kesadaran. Betapa sering kita berkata, “Aku pasrah pada takdir,” padahal hati sebenarnya malas untuk berusaha. Dunia modern pun menyaksikan fenomena serupa — banyak orang menunggu perubahan tanpa gerak, lalu menamakan itu spiritualitas.
Antara Pasrah dan Pasif
Ada perbedaan halus tapi besar antara tawakal sejati dan pasrah palsu. Tawakal sejati adalah gerak hati yang berlabuh pada Allah setelah ikhtiar sempurna. Sedangkan pasrah palsu adalah diam yang membeku dalam dalih iman.
Ibn al-Jawzī menulis:
مِنْ طَلْبِيسِ إِبْلِيسِ أَنْ يَدْعُوَ الْعَبْدَ إِلَى التَّوَكُّلِ قَبْلَ الْعَمَلِ، فَيَتْرُكُ الْأَسْبَابَ وَيَدَّعِي الثِّقَةَ بِاللَّهِ
“Termasuk tipuan iblis adalah mendorong seorang hamba untuk bertawakal sebelum beramal, hingga ia meninggalkan sebab dan mengaku telah percaya kepada Allah.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Kita bisa melihat contoh itu setiap hari.
Ada yang menolak bekerja keras karena menganggap rezeki sudah dijamin. Ada yang enggan belajar karena berkata, “Kalau Allah mau, pasti paham.” Bahkan dalam ibadah, ada yang malas memperbaiki diri karena berkata, “Yang penting Allah Maha Pengampun.”
Namun tawakal bukanlah dalih untuk berhenti berjuang. Justru ia adalah puncak dari perjuangan. Nabi ﷺ bersabda:
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah (untamu), kemudian bertawakal.”
(HR. Tirmidzi)
Artinya, tawakal bukan meninggalkan ikhtiar, melainkan meluruskan niat dalam ikhtiar itu.
Ketika Iman Diserang dari Dalam
Iblis tahu bahwa manusia yang malas tidak akan mudah digoda oleh maksiat besar. Maka ia menjerumuskan mereka melalui keyakinan yang salah arah. Ia menyelinap melalui pintu iman, membisikkan keheningan yang menipu: “Tenanglah, Allah akan menolongmu,” padahal mulut masih diam dan tangan tak bergerak.
Ibn al-Jawzī menulis dengan penuh kebijaksanaan:
إِنَّمَا يَخْدَعُ إِبْلِيسُ الْغَافِلِينَ بِاسْمِ الْقُرْبِ وَالثِّقَةِ، فَيُعْجِبُهُمْ السُّكُونُ وَالْبَطَالَةُ
“Iblis menipu orang yang lalai dengan nama kedekatan (dengan Allah) dan rasa percaya, hingga mereka senang dalam diam dan kemalasan.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Fenomena ini terasa nyata di dunia modern: banyak yang menunggu “keajaiban” tanpa bekerja keras. Seringkali, spiritualitas dipahami sebagai ketenangan tanpa aksi, padahal iman sejati selalu melahirkan gerak.
Tawakal bukan berhenti berdaya, tapi berdaya tanpa menggenggam hasil. Ia adalah keseimbangan antara kerja dan keyakinan — antara tangan yang bekerja dan hati yang bersujud.
Menemukan Keindahan dalam Usaha
Rumi pernah menulis, “Tawakal bukan berarti kau berhenti mendayung. Ia berarti kau terus mendayung, tapi menyerahkan arah angin kepada Tuhan.”
Inilah makna yang juga ditekankan Ibn al-Jawzī: manusia tetap harus berusaha, karena ikhtiar adalah bagian dari ketaatan. Dunia bukan tempat tidur, melainkan ladang untuk menanam. Ia menulis:
لَا يَكُونُ التَّوَكُّلُ صَحِيحًا إِلَّا بَعْدَ بَذْلِ الْوُسْعِ وَاتِّخَاذِ الْأَسْبَابِ
“Tawakal tidak akan sah kecuali setelah seseorang mengerahkan kemampuan dan mengambil sebab-sebabnya.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Tawakal tanpa usaha adalah fatamorgana spiritual — menenangkan sesaat, tapi menipu untuk selamanya.
Sedangkan usaha tanpa tawakal adalah kegelisahan duniawi — sibuk berlari tanpa arah.
Dua-duanya harus berjalan berdampingan, seperti dua sayap burung yang mengantarkan manusia terbang menuju ridha Tuhan.
Saat Malas Dihalalkan Atas Nama Iman
Banyak orang merasa tenang karena menyandarkan segalanya pada Allah, tapi tanpa kesadaran, mereka telah mengganti iman dengan kemalasan. Dalam dunia kerja, studi, bahkan dakwah, sering kali kalimat “insyaAllah nanti juga selesai” digunakan sebagai tameng untuk menunda.
Padahal Allah tidak menolong orang yang pasif. Ia menolong yang berjuang dengan niat murni. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini membantah setiap bentuk tawakal palsu yang hanya menunggu nasib. Allah memerintahkan perubahan dimulai dari diri — dari niat, dari gerak, dari kesadaran untuk bertanggung jawab.
Menjadi Hamba yang Bergerak dan Berserah
Tawakal yang benar adalah cinta yang bekerja. Ia bukan kata yang pasif, melainkan doa yang berjalan dalam langkah-langkah kecil manusia. Ia mengajarkan keseimbangan: bekerja seolah segalanya tergantung pada usaha, dan berdoa seolah segalanya tergantung pada Allah.
Dalam dunia yang serba instan, konsep ini terasa asing. Tapi di situlah letak keindahannya — tawakal sejati menuntut kedewasaan hati: yakin tanpa menuntut, bekerja tanpa menakar hasil.
Ibn al-Jawzī menutup pelajarannya dengan doa yang dalam makna:
اللَّهُمَّ أَرِنَا حَقِيقَةَ التَّوَكُّلِ لِكَيْ لَا نَغْتَرَّ بِزُخْرُفِ إِبْلِيسِ
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami hakikat tawakal agar kami tidak tertipu oleh hiasan iblis.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Karena terkadang, wajah malas bisa tampak seperti tawakal. Tapi hati yang benar akan tahu perbedaannya — sebab tawakal sejati tidak membuat manusia berhenti, justru menyalakan keberanian untuk terus berjalan dalam cahaya kepercayaan kepada Allah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kntemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
