Surau.co. Sebelum kau mengusir iblis, kenalilah ia di dalam dirimu — demikian seakan pesan yang ingin disampaikan oleh Ibn al-Jawzī dalam kitabnya Talbīs Iblīs. Kitab ini bukan sekadar kisah tentang setan yang menggoda manusia, melainkan tentang bagaimana manusia sendiri menjadi tempat persembunyian paling aman bagi iblis.
Ibn al-Jawzī tidak menggambarkan iblis sebagai makhluk yang selalu mengajak kepada dosa terang-terangan, melainkan sebagai arsitek halus yang membangun istana kebohongan di dalam niat manusia. Ia menulis dengan ketajaman seorang ulama dan kelembutan seorang tabib jiwa. Dalam salah satu bagiannya, beliau menegaskan:
إِنَّ إِبْلِيسَ لَا يَفْرَحُ بِمَعْصِيَةٍ ظَاهِرَةٍ، بَلْ يَفْرَحُ بِطَاعَةٍ تُفْسِدُ الْقَلْبَ
“Sesungguhnya iblis tidak bergembira atas maksiat yang tampak, tetapi ia bergembira atas ketaatan yang merusak hati.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Peringatan ini mengguncang kesadaran: ternyata musuh terbesar bukanlah godaan dunia, melainkan rasa bangga dalam diri yang mengira sudah aman dari tipu daya.
Ketika Iblis Bersujud di Dalam Diri
Fenomena sehari-hari menunjukkan betapa iblis bukan lagi musuh eksternal. Ia hidup dalam keputusan-keputusan kecil yang kita anggap sepele. Saat kita menilai orang lain tanpa sadar, ketika amal baik terasa menjadi pembuktian diri, atau ketika hati diam-diam menginginkan tepuk tangan setelah berdoa panjang — di situlah iblis sedang bersujud dalam jiwa kita.
Ibn al-Jawzī menulis tentang hal ini dengan gaya lembut namun tajam:
يُزَيِّنُ إِبْلِيسُ لِلْعَابِدِ عِبَادَتَهُ، وَيُرِيْهِ أَنَّهُ قَدْ بَلَغَ مَرْتَبَةً لَا يَنْقُصُهَا شَيْءٌ
“Iblis menghiasi ibadah bagi ahli ibadah, dan memperlihatkan seolah ia telah mencapai derajat yang tak lagi perlu diperbaiki.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Begitulah cara iblis bekerja: tidak dengan menolak kebaikan, tetapi dengan mengubah arah kebaikan itu. Ia tidak menghalangi orang beribadah, melainkan menjadikan ibadah sebagai cermin untuk memuja diri.
Di zaman ini, bentuknya mungkin berbeda. Amal diunggah di media sosial, kata-kata bijak disebar untuk disukai, dan kebaikan menjadi bagian dari citra. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Allah:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa berharap bertemu dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam ibadah kepada-Nya.” (QS. Al-Kahf: 110)
Kesyirikan halus bukan hanya menyembah berhala, tapi juga menyembah pengakuan.
Saat Setan Berkhotbah di Mimbar Hati
Ada bentuk tipu daya yang lebih berbahaya: ketika iblis berbicara melalui kebaikan. Ia datang lewat logika yang tampak benar. Ia membisikkan, “Engkau berbeda, engkau lebih mengerti, engkau lebih dekat dengan Tuhan.”
Ibn al-Jawzī menyebutnya sebagai talbīs al-‘ulamā’ — tipuan terhadap orang-orang berilmu:
إِنَّ الْعَالِمَ إِذَا أُعْجِبَ بِعِلْمِهِ وَرَأَى أَنَّهُ فَوْقَ النَّاسِ فَقَدْ صَارَ أَضْعَفَ مِنْ جَاهِلٍ
“Apabila seorang alim kagum dengan ilmunya dan menganggap dirinya di atas manusia, maka ia lebih lemah daripada orang bodoh.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Betapa banyak orang yang tersesat bukan karena kurang ilmu, tetapi karena kehilangan kerendahan hati.
Dan betapa sering iblis bersandar di bahu orang yang berdoa, berbisik lembut, “Engkau sudah cukup suci.”
Seperti Rumi berkata, “Kesombongan adalah tabir yang paling halus antara manusia dan Tuhan.”
Iblis yang Tersenyum dalam Kesalehan
Ada ironi yang menyakitkan: iblis bisa membuat manusia merasa lebih saleh justru ketika ia sedang paling jauh dari Allah. Ia membiarkan seseorang berpuasa, shalat malam, bahkan menangis dalam doa — selama semua itu menguatkan rasa bangga pada diri sendiri.
Ibn al-Jawzī menulis, iblis tahu bahwa manusia mencintai rasa “dekat dengan Allah,” dan dari sanalah ia menjerat mereka.
مَا أَكْثَرَ مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ وَصَلَ، فَإِذَا هُوَ فِي أَوَّلِ الطَّرِيقِ، وَإِبْلِيسُ يَمْشِي بِجَانِبِهِ
“Betapa banyak orang menyangka telah sampai (kepada Allah), padahal ia masih di awal jalan, dan iblis berjalan di sampingnya.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Kita semua mungkin sedang berjalan di jalan itu — antara cahaya dan bayangan, antara ikhlas dan ego. Tapi sebagaimana iblis bisa berbisik, hati pun bisa memilih untuk mendengar suara lain: kesadaran.
Menemukan Iblis, Menemukan Diri
Mengusir iblis bukan berarti berteriak menolaknya, tapi menyingkap wajahnya di balik hati.
Ia tidak bisa diusir dengan doa yang kencang, tapi dengan kejujuran yang dalam.
Ibn al-Jawzī mengajarkan bahwa cara melawan iblis bukanlah dengan benci, tapi dengan tahu di mana ia bersembunyi.
الدَّوَاءُ لِطَلْبِيسِ إِبْلِيسِ هُوَ الْعِلْمُ وَالْإِخْلَاصُ
“Obat dari tipu daya iblis adalah ilmu dan keikhlasan.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)
Ilmu menyingkap tipu dayanya. Keikhlasan menutup pintu hatinya.
Dan di antara keduanya, manusia belajar bahwa musuhnya bukan iblis di luar sana — melainkan bayangannya sendiri.
Ketika Kesadaran Menjadi Doa
Sebagaimana Rumi menulis, “Tuhan bersemayam bukan di masjid atau gereja, tapi di hati yang bersih dari kebohongan.” Maka, membersihkan hati adalah jihad paling sunyi.
Sebelum kau mengusir iblis, kenalilah ia. Ia bukan makhluk bersayap gelap di luar sana, tapi bisikan halus yang menyamar menjadi cinta, kesalehan, dan keyakinan diri. Ia hidup dalam setiap “aku” yang merasa lebih benar, lebih suci, lebih dicintai Tuhan.
Dan saat engkau berani melihatnya, itulah awal dari kemenangan yang sejati.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
