SURAU.CO – Dalam pandangan Islam, Allah SWT menciptakan manusia dengan fitrah yang suci. Allah membekali manusia dengan akal, hati, dan kemampuan berpikir agar mereka mampu membedakan antara kebenaran dan kesalahan. Salah satu fitrah yang melekat pada manusia adalah dorongan seksual. Namun, dorongan itu harus disalurkan secara benar dan terhormat melalui ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Ketika manusia menyimpang dari ketentuan ini, maka ia telah melewati batas-batas yang ditetapkan Allah. Al-Qur’an dengan tegas mengecam dan mengingatkan tentang murka Allah kepada para pelaku penyimpangan seksual.
Penyimpangan Seksual dalam Perspektif Islam
Islam memandang penyimpangan seksual sebagai perilaku yang menentang aturan Allah. Perilaku itu mencakup zina, homoseksual, lesbian, dan perbuatan cabul lainnya. Semua bentuk penyimpangan tersebut bersumber dari hawa nafsu yang tidak terkendali. Allah SWT memperingatkan manusia melalui firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini melarang manusia melakukan zina dan juga melarang mereka mendekati hal-hal yang menjerumuskan ke dalamnya — seperti pergaulan bebas, pornografi, dan perilaku yang menggoda lawan jenis secara tidak sopan. Zina merusak kehormatan diri, keluarga, dan tatanan masyarakat.
Kisah Kaum Nabi Luth: Cermin Murka Allah
Kisah kaum Nabi Luth AS menjadi contoh nyata tentang bagaimana Allah menurunkan murka-Nya kepada pelaku penyimpangan seksual. Kaum Luth dikenal sebagai kelompok manusia pertama yang melakukan homoseksual secara terang-terangan. Allah SWT mengutus Nabi Luth untuk memperingatkan mereka agar kembali ke jalan yang benar. Namun, mereka menolak peringatan itu dan bahkan menantang Nabi Luth dengan sombong.
Allah menggambarkan perilaku mereka dalam firman-Nya:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). Ingatlah tatkala dia berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu melakukan perbuatan keji itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun di dunia ini sebelummu?’” (QS. Al-A’raf: 80)
Kaum Luth terus menolak ajakan Nabi Luth dan menjadikan perbuatan mereka sebagai kebiasaan sosial. Mereka menentang kebenaran dan menolak nasihat dengan kesombongan. Mereka bahkan mengancam untuk mengusir Nabi Luth dan para pengikutnya. Inilah bentuk kesombongan yang akhirnya mengundang murka Allah.
Bentuk Murka Allah kepada Kaum Luth
Ketika kaum Luth melampaui batas dan tidak mau mengonversi, Allah menurunkan azab yang sangat keras kepada mereka. Al-Qur’an menceritakan bagaimana Allah menghancurkan negeri mereka dengan cara yang menggetarkan:
“Maka Kami menghujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar secara bertubi-tubi.” (QS. Hud : 82)
Allah SWT menggerakkan negeri mereka hingga terbalik, lalu menurunkan hujan batu yang panas dari langit. Peristiwa ini menunjukkan bahwa penyimpangan seksual bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga bentuk kedurhakaan spiritual yang mengundang murka Allah.
Pelajaran dari Azab Kaum Luth
Allah menurunkan kisah kaum Luth untuk dijadikan pelajaran bagi generasi berikutnya. Allah berfirman:
“Dan Kami jadikan negeri yang telah dihancurkan itu sebagai pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab yang pedih.” (QS.Adz-Dzariyat :37)
Allah mengingatkan umat manusia agar tidak menganggap dosa ini sebagai hal biasa. Ketika masyarakat mulai menormalkan penyimpangan, , maka kehancuran moral dan sosial tinggal menunggu waktu. Allah telah memberi peringatan melalui sejarah bahwa penyimpangan terhadap fitrah manusia akan membawa kebinasaan.
Menjaga Diri dari Fitnah Seksual
Allah memberikan petunjuk agar manusia mampu menjaga diri dari godaan hawa nafsu. Islam memerintahkan umatnya untuk melarang pandangan, menjaga kemaluan, dan memperbanyak ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah lebih merendahkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah mengajarkan umat Islam agar menempuh jalan yang halal dalam memenuhi kebutuhan biologinya. Islam juga mengajak masyarakat untuk saling menasihati, melindungi generasi muda dari pengaruh negatif, dan menegakkan nilai-nilai kesucian. Menjaga lingkungan dari perilaku yang menjerumuskan menjadi tanggung jawab bersama: individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Penutup: Jalan Kembali ke Fitrah
Allah Maha Pengampun bagi siapa saja yang mau bertaubat. Meskipun murka-Nya sangat besar terhadap pelanggaran seksual, Allah tetap memberikan kesempatan bagi mereka untuk kembali. Al-Qur’an menegaskan:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain selain Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan hal tersebut, niscaya dia akan mendapat dosa.” (QS. Al-Furqan : 68)
“Kecuali, orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, Allah mengganti kejahatan mereka (dengan) kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70).
Pada akhirnya, kisah murka Allah kepada kaum penyimpang bukan sekadar ancaman, tetapi juga peringatan penuh kasih agar manusia kembali ke jalan yang lurus. Fitrah adalah anugerah, dan menjaga fitrah berarti menjaga kemuliaan manusia. Siapapun yang menganut ajaran Al-Qur’an, menahan diri dari hawa nafsu, dan memperjuangkan kesucian hidup, niscaya akan mendapat rahmat dan perlindungan dari Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
