Fiqih
Beranda » Berita » Ayah yang Tidak Menafkahi Anak, Apa Hukumnya dalam Islam?

Ayah yang Tidak Menafkahi Anak, Apa Hukumnya dalam Islam?

Ayah yang Tidak Menafkahi Anak, Apa Hukumnya dalam Islam?
Salah satu tanggung jawab utama seorang ayah adalah memberikan nafkah, baik berupa kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, maupun pendidikan dan kasih sayang. Gambar : SURAU.CO

SURAU.CO – Dalam ajaran Islam, kedudukan seorang ayah sangatlah mulia dan penuh tanggung jawab. Ia tidak hanya menjadi pemimpin keluarga, tetapi juga penopang kehidupan bagi istri dan anak-anaknya. Salah satu tanggung jawab utama seorang ayah adalah memberikan nafkah, baik berupa kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, maupun pendidikan dan kasih sayang. Namun, bagaimana jika seorang ayah mengabaikan kewajiban ini? Ayah yang Tidak Menafkahi Anak, Apa Hukumnya dalam Islam?

Makna Nafkah dalam Islam

Secara bahasa, nafkah berasal dari kata nafaqa yang berarti “mengeluarkan” atau “memberikan sesuatu untuk kebutuhan hidup.” Dalam istilah fikih, nafkah berarti sebagai segala bentuk pengeluaran yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan hidup keluarga, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, dan hal-hal lain yang menjadi kebutuhan dasar.

Allah SWT telah menegaskan kewajiban ini dalam firman-Nya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
(QS. An-Nisa: 34)

Ayat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan laki-laki dalam keluarga lahir dari dua hal, yaitu kelebihan tanggung jawab dan kewajiban menafkahi. Artinya, seorang laki-laki baru pantas sebagai pemimpin keluarga jika ia menunaikan tanggung jawab nafkahnya.

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Nafkah Anak: Kewajiban yang Tidak Bisa Terabaikan

Islam memandang bahwa anak adalah amanah dan titipan Allah SWT. Orang tua, terutama ayah, memiliki kewajiban untuk menjamin kehidupan lahir dan batin anaknya hingga anak tersebut mampu mandiri. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena perceraian, perpisahan tempat tinggal, atau masalah pribadi antara suami dan istri.

Allah SWT berfirman:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
(QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat ini menjelaskan bahwa meskipun seorang ayah telah berpisah dengan ibu dari anaknya, kewajiban menafkahi tetap melekat padanya. Ayah tetap wajib memberikan nafkah bagi anak-anaknya sesuai kemampuan dan kelayakan yang berlaku.

Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:

Bencana Alam Dari Perspektif Islam: Ujian atau Peringatan Allah?

“Cukuplah seseorang dianggap berdosa apabila ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.”
(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

Hadis ini menunjukkan betapa beratnya dosa seorang ayah yang tidak menafkahi anaknya. Islam memandang penelantaran keluarga bukan sekadar kelalaian sosial, tetapi sebuah dosa besar yang berdampak langsung pada kehancuran rumah tangga dan masyarakat.

Hukuman dan Konsekuensi bagi Ayah yang Tidak Menafkahi

Dalam hukum Islam (fiqh), seorang ayah yang tidak memberikan nafkah kepada anaknya tanpa alasan yang sah termasuk dalam golongan orang yang melanggar kewajiban syariat. Ada dua bentuk konsekuensi terhadap hal tersebut yakni konsekuensi moral (dosa) dan konsekuensi hukum (sanksi sosial atau pengadilan).

a. Konsekuensi Moral dan Dosa

Seorang ayah yang menelantarkan anaknya bisa termasuk berdosa besar karena ia telah mengabaikan perintah Allah. Dalam pandangan Islam, dosa ini sebanding dengan perbuatan zalim terhadap keluarga sendiri. Rasulullah bersabda:

Nikah Siri Tanpa Izin Istri: Tinjauan Agama, Etika, dan Pidana

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ayah sebagai pemimpin keluarga akan dimintai pertanggungjawaban atas nafkah anak-anaknya, baik di dunia maupun akhirat. Apabila seorang ayah mampu memberi nafkah tetapi dengan sengaja menelantarkan anak, maka ia akan dimintai hisab (pertanggungjawaban) yang berat di hadapan Allah SWT.

b. Konsekuensi Hukum Dunia

Dalam konteks hukum positif pada berbagai negara Muslim, termasuk Indonesia, ayah yang tidak menafkahi anak setelah perceraian dapat tergugat secara hukum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, ayah tetap berkewajiban menanggung biaya hidup anak-anaknya hingga mereka dewasa.

Dalam perspektif fikih Islam, hakim berwenang memaksa ayah untuk menunaikan kewajiban nafkahnya. Jika ayah tetap menolak, maka dapat menyita harta kekayaannya atau menggunakan harta tersebut untuk memenuhi kebutuhan anak.

Nafkah Sesuai Kemampuan

Islam adalah agama yang adil. Allah SWT tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Maka dari itu, kadar nafkah seorang ayah terhadap anak-anaknya menyesuaikan dengan kemampuan finansialnya.

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.”
(QS. At-Thalaq: 7)

Ayat ini menegaskan bahwa nafkah tidak tergantung oleh jumlah nominal tertentu, tetapi oleh kemampuan dan keikhlasan seorang ayah. Namun, bukan berarti hal ini bisa menjadi alasan untuk menghindari tanggung jawab. Seorang ayah tetap wajib berusaha sekuat tenaga mencari rezeki halal demi anak-anaknya.

Dampak Sosial dari Ayah yang Tidak Menafkahi Anak

Kegagalan seorang ayah dalam menunaikan kewajiban nafkah bukan hanya berdampak pada kehidupan ekonomi keluarga, tetapi juga meninggalkan luka psikologis dan sosial yang mendalam bagi anak-anak. Anak yang tumbuh tanpa kasih dan perhatian ayah akan lebih rentan mengalami:

  1. Kehilangan rasa aman dan kasih sayang.
    Anak merasa tidak mendapatkan cinta dan terabaikan oleh figur yang seharusnya melindungi.
  2. Krisis kepribadian dan moral.
    Banyak anak yang tumbuh tanpa bimbingan ayah akhirnya mencari figur pengganti di luar rumah, yang sering kali menjerumuskan.
  3. Kesenjangan sosial.
    Ibu yang harus menanggung semua beban sering kali kesulitan ekonomi, sehingga berdampak pada pendidikan dan masa depan anak.

Rasulullah sangat menekankan pentingnya kasih sayang terhadap anak. Beliau bersabda:

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua.”
(HR. Tirmidzi)

Artinya, seorang ayah yang tidak menyayangi anak-anaknya — baik dengan kasih sayang maupun dengan nafkah yang layak — termasuk orang yang jauh dari sifat-sifat orang beriman.

Cara Menebus Dosa dan Memperbaiki Kesalahan

Bagi seorang ayah yang telah menyadari kelalaiannya dalam menafkahi anak, pintu tobat selalu terbuka. Islam memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk memperbaiki diri, selama ia benar-benar menyesal dan berkomitmen untuk berubah.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:

  1. Segera menunaikan kewajiban nafkah yang tertunda, baik dalam bentuk uang, makanan, atau kebutuhan lain.
  2. Memohon maaf kepada anak dan istri, serta berusaha membangun kembali hubungan kasih sayang yang rusak.
  3. Bertobat dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT, memohon ampun atas kelalaian dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
  4. Berusaha bekerja keras dengan niat menafkahi keluarga karena Allah, sebagaimana sabda Rasulullah :
    “Satu dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu lebih besar pahalanya daripada sedekah kepada fakir miskin.”
    (HR. Muslim)

Dengan demikian, memberi nafkah bukan sekadar kewajiban, tetapi juga ibadah yang sangat mulia di sisi Allah SWT.

Penutup

Kewajiban ayah untuk menafkahi anak bukan sekadar aturan sosial, melainkan perintah langsung dari Allah SWT. Seorang ayah yang lalai menunaikan kewajiban ini telah melakukan dosa besar dan akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

Namun, Islam juga membuka jalan perbaikan dan ampunan bagi siapa pun yang ingin kembali kepada jalan yang benar. Menafkahi anak bukan hanya bentuk tanggung jawab, tetapi juga bukti cinta, kasih sayang, dan ketaatan kepada Allah SWT.

“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, Kami akan masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang yang mensucikan diri.”
(QS. Thaha: 75–76)

Semoga setiap ayah menyadari betapa mulianya tanggung jawabnya, dan menjadikannya sebagai jalan menuju keberkahan hidup di dunia dan akhirat. Karena ayah sejati adalah yang bekerja keras, berkorban, dan tidak pernah lelah menafkahi anak-anaknya — bukan hanya dengan harta, tetapi juga dengan cinta dan doa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement