Surau.co. Mencari Tuhan di antara bayang-bayang cinta — kalimat ini terdengar indah, tetapi juga menakutkan. Sebab sering kali cinta yang kita kira suci justru menuntun pada kejatuhan. Ibn al-Jawzī, dalam karya agungnya Talbīs Iblīs, menulis tentang manusia yang ingin mencari Tuhan, tetapi justru tersesat oleh perasaannya sendiri. Ia ingin dekat kepada Allah, namun langkahnya dibelokkan oleh iblis yang berpura-pura menjadi guru cinta.
Cinta kepada Tuhan sejatinya adalah nyala yang murni. Namun iblis adalah penjaga bayangan — ia meniru cahaya cinta agar manusia berjalan menuju pantulan dirinya sendiri. Dalam Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī menegaskan:
إِنَّ إِبْلِيسَ لَا يَمْنَعُ الْعَابِدَ مِنَ الْعِبَادَةِ وَلَكِنَّهُ يُزَيِّنُ لَهُ فِيهَا الْعُجْبَ وَالْغُرُورَ
“Sesungguhnya iblis tidak melarang ahli ibadah dari beribadah, tetapi ia menghiasi dalam ibadah itu rasa bangga dan tertipu.” (Talbīs Iblīs)
Begitu banyak orang mencintai Allah, namun sebenarnya mereka sedang mencintai diri sendiri yang merasa telah mencintai Allah. Karena itu, cinta berubah menjadi cermin ego, bukan jembatan menuju penghambaan.
Ketika Iblis Menyamar sebagai Guru Cinta
Dalam kehidupan modern, bayangan cinta ini mudah ditemukan di mana-mana. Orang ingin “merasa spiritual,” namun sering menjadikan spiritualitas sebagai kebanggaan baru. Mereka menulis, berbagi, dan berbicara tentang Tuhan, tetapi hatinya haus akan kekaguman manusia. Iblis datang dengan bisikan lembut, membungkus keinginan dunia dengan kalimat cinta ilahi.
Ibn al-Jawzī menulis tentang para sufi yang tertipu oleh ekstase batin. Mereka mengira telah mencapai derajat makrifat, padahal baru berhenti di tengah jalan.
قَدْ يُخَيَّلُ لِلصُّوفِيِّ أَنَّهُ وَصَلَ، وَإِنَّمَا وَقَفَ فِي الطَّرِيقِ، فَيَظُنُّهُ الْمَقَامُ
“Kadang seorang sufi menyangka dirinya telah sampai (kepada Allah), padahal ia hanya berhenti di tengah jalan, lalu menyangka itulah puncaknya.” (Talbīs Iblīs)
Karena itu, cinta kepada Allah tidak selalu hadir dalam rasa yang memabukkan. Kadang, cinta sejati justru tumbuh dalam kesabaran yang panjang, dalam kesunyian ibadah yang tidak mencari tanda.
Namun manusia — termasuk yang beriman — sering ingin bukti. Mereka ingin pengalaman spiritual yang terasa megah dan dramatis. Di situlah iblis menunggu, menawarkan rasa, bukan makna.
Ketika Bayangan Menggantikan Wajah
Pernahkah engkau merasa sedang dekat dengan Allah, tetapi tiba-tiba muncul kesombongan halus dalam hati? Saat itulah bayangan cinta menutupi cahaya sejati. Ibn al-Jawzī menggambarkan hal ini dengan lembut: iblis tidak menolak cinta manusia kepada Tuhan, ia hanya menggeser fokusnya.
يُحِبُّ إِبْلِيسُ مِنَ الْمُتَعَبِّدِ أَنْ يَسْتَلِذَّ بِالْعِبَادَةِ وَلَا يَنْظُرَ إِلَى مَنْ لَهُ يُصَلِّي
“Iblis menyukai seorang ahli ibadah yang menikmati ibadahnya, namun lupa kepada siapa ia beribadah.” (Talbīs Iblīs)
Betapa lembut jebakan itu.
>Kita membaca Al-Qur’an bukan karena cinta kepada Allah, tetapi karena ingin merasa damai. Kita shalat bukan karena rindu, melainkan demi ketenangan diri. Kita mencari Tuhan bukan karena ingin bertemu-Nya, tetapi agar diri merasa “lebih utuh.”
Sementara itu, di balik “ingin” itu, iblis tersenyum. Ia tahu bahwa manusia sedang mencintai rasa, bukan Pencipta rasa.
Cinta yang Menuntun Pulang
Meski begitu, Ibn al-Jawzī tidak menulis dengan putus asa. Ia tidak menolak cinta, melainkan menunjukkan bagaimana cinta dapat menjadi jalan pulang yang murni. Dalam setiap halamannya, ia memanggil manusia untuk kembali menyadari bahwa cinta kepada Allah harus lahir dari ilmu, bukan sekadar perasaan.
مَنْ عَرَفَ اللَّهَ بِعِلْمِهِ أَحَبَّهُ بِقَلْبِهِ، وَمَنْ أَحَبَّهُ لَا يُرِيدُ سِوَاهُ
“Barang siapa mengenal Allah dengan ilmunya, ia akan mencintai-Nya dengan hatinya; dan siapa mencintai-Nya, ia tidak menginginkan selain Dia.” (Talbīs Iblīs)
Karena itu, cinta sejati membebaskan, bukan mengikat. Ia tidak menuntut pengakuan, tidak meminta pembuktian, dan tidak menjadikan ibadah sebagai alat pencitraan. Sebaliknya, ia menjadikan ibadah sebagai ungkapan syukur terdalam.
Cinta yang benar melahirkan kerendahan hati, bukan rasa istimewa. Ia membuat seseorang menangis, bukan karena merasa dekat dengan Allah, tetapi karena sadar betapa sering dirinya menjauh.
Menyucikan Cinta dari Bayang-Bayangnya
Dalam perjalanan menuju Tuhan, tidak ada yang lebih berbahaya daripada merasa telah sampai. Iblis memakai perasaan itu untuk memadamkan kehausan spiritual. Ia membisikkan bahwa engkau sudah cukup, sudah dekat, sudah mulia.
Padahal cinta sejati tidak mengenal kata “cukup.”
Ia tumbuh dalam kerinduan yang lembut — rindu akan keridhaan, bukan pengakuan.
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Dan orang-orang yang beriman itu sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Ayat ini sederhana, namun dalam. Cinta kepada Allah bukan hanya perasaan hangat, tetapi keberanian untuk terus mencari, bahkan ketika tidak mengerti. Ia bukan ekstase, melainkan ketekunan yang jujur.
Menemukan Tuhan di Balik Bayang-Bayang
Mencari Tuhan di antara bayang-bayang cinta bukan berarti menolak cinta, tetapi menemukan cahaya sejatinya. Ibn al-Jawzī, melalui Talbīs Iblīs, mengingatkan bahwa cinta bisa menjadi jembatan atau jurang — tergantung arah hatimu.
Jangan biarkan iblis mengajarkan cara mencintai Allah dengan cara yang membuatmu jauh dari-Nya. Sebab cinta tanpa keikhlasan hanyalah pantulan dari cermin berdebu: tampak bersinar, namun menutupi wajah yang sebenarnya.
Pada akhirnya, cinta sejati bukan sekadar merasakan Allah di dalam hati, tetapi juga memuliakan-Nya dalam tindakan.
Dan mungkin, di ujung pencarian itu, ketika semua bayangan telah hilang, barulah kita sadar — Tuhan tidak pernah jauh. Hanya hati kita yang lama tertutup oleh cinta kepada diri sendiri.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
