Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Kebenaran Terlihat Seperti Dusta

Ketika Kebenaran Terlihat Seperti Dusta

ilustrasi manusia berjalan di antara dua cahaya, simbol kebenaran dan dusta dalam batin
Ilustrasi metaforis tentang pergulatan batin antara kebenaran dan dusta yang menyamar.

Surau.co. “Ketika kebenaran terlihat seperti dusta,” tulis Ibn al-Jawzī dalam Talbīs Iblīs. Ia tidak sedang berbicara tentang kebohongan yang terang, melainkan tentang kekacauan batin—saat nurani kehilangan arah, dan cahaya justru tampak seperti kegelapan.

Namun, Talbīs Iblīs bukan sekadar buku tentang setan. Ia adalah peta rahasia perjalanan jiwa, tempat manusia berhadapan dengan musuh paling cerdas: iblis. Musuh itu tidak menunggu di luar diri, melainkan bersembunyi di balik niat dan kesalehan. Di sanalah dusta sering menyamar sebagai kebenaran, dan kebenaran dianggap terlalu pahit untuk diterima.

Ibn al-Jawzī menulis dengan ketelitian sekaligus rasa iba. Ia tahu, iblis jarang menggoda lewat dosa besar; ia menjerat lewat niat kecil yang bergeser arah.

إِنَّمَا يُرِيدُ إِبْلِيسُ مِنَ الْعَابِدِ أَنْ يَنْقُلَهُ مِنَ الْفَضِيلَةِ إِلَى الرَّذِيلَةِ عَلَى وَجْهٍ لَا يَشْعُرُ بِهِ
“Sesungguhnya iblis ingin memindahkan seorang ahli ibadah dari keutamaan menuju keburukan dengan cara yang tidak ia sadari.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Fenomena ini terasa nyata dalam kehidupan modern. Banyak orang merasa berada di jalan kebenaran, padahal mungkin sedang berjalan di bawah cahaya palsu yang iblis nyalakan dari ambisi mereka sendiri.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Ketika Amal Baik Menjadi Jebakan

Tidak setiap ibadah membawa kedamaian. Ada kalanya ibadah justru menjadi panggung untuk merasa lebih tinggi dari orang lain. Ibn al-Jawzī menyebutnya talbīs al-‘ibād—tipuan terhadap para ahli ibadah.

يُزَيِّنُ إِبْلِيسُ لِلْمُتَعَبِّدِ اجْتِهَادَهُ وَيُرِيْهِ أَنَّهُ قَدْ بَلَغَ مَرْتَبَةً لَا يَفْتَقِرُ فِيهَا إِلَى نُصْحٍ أَوْ تَعْلِيمٍ
“Iblis menghiasi bagi seorang ahli ibadah amalnya dan menampakkan seolah ia telah mencapai derajat yang tak lagi butuh nasihat atau ilmu.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Betapa halus racunnya. Kita membaca, beribadah, bahkan menulis dengan keinginan untuk dikenal sebagai orang saleh atau berilmu. Namun, di dalam diam hati, kita mungkin sedang menyembah ego yang mengenakan jubah putih kesucian.

Fenomena ini mudah ditemui di dunia digital. Seseorang menulis nasihat di media sosial, tetapi diam-diam ingin dihormati. Orang lain menulis tentang keikhlasan, namun berharap disukai. Begitulah dusta tampak seperti kebenaran—dibungkus oleh niat yang tampak tulus, tetapi beraroma pamrih.

Saat Lidah Mengucap Benar, tapi Hati Berbohong

Ibn al-Jawzī juga memperingatkan tentang para ahli ilmu yang tertipu oleh kata-kata mereka sendiri. Mereka bicara tentang kebenaran, tetapi tak lagi merasakannya dalam diri.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

مَنْ نَطَقَ بِالْعِلْمِ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ فَقَدْ صَارَ عَلَيْهِ حُجَّةً، وَإِبْلِيسُ يَرْقُصُ مِنْ فَرَحٍ عَلَيْهِ
“Barang siapa berbicara dengan ilmu tetapi tidak mengamalkannya, maka ilmunya menjadi hujjah atas dirinya, dan iblis menari gembira karenanya.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Kini, lidah banyak bicara tentang cinta, akhlak, dan kebenaran. Namun, kata-kata itu sering berhenti di ujung bibir. Ia menjadi perhiasan, bukan jalan pulang. Akibatnya, kebenaran tampak seperti dusta—sebab tak lagi dihidupi—dan dusta tampak seperti kebenaran karena dikemas dengan retorika manis.

Allah telah mengingatkan:

فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci, karena Dia lebih mengetahui siapa yang bertakwa.”
(QS. An-Najm: 32)

Ayat ini mengajarkan kerendahan hati. Kesucian tidak bisa diklaim, ia diuji oleh waktu, keikhlasan, dan kesunyian.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Di Antara Cinta dan Tipuan

Selain itu, Ibn al-Jawzī berbicara tentang mereka yang tertipu di jalan cinta kepada Allah. Mereka menangis dalam doa, namun tidak berubah dalam perilaku.

مَا أَكْثَرَ مَنْ يَبْكِي فِي الدُّعَاءِ وَلَكِنَّهُ إِذَا انْقَطَعَ الدُّعَاءُ عَادَ إِلَى مَعَاصِيهِ، فَتِلْكَ دُمُوعٌ قَدْ خَدَعَهُ بِهَا إِبْلِيسُ
“Betapa banyak orang yang menangis dalam doa, tetapi setelah doa usai ia kembali pada maksiatnya. Itulah air mata yang iblis gunakan untuk menipunya.”
(Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī)

Kita semua mengenal momen itu: hati tersentuh, air mata jatuh, lalu keesokan harinya segalanya kembali seperti semula. Iblis tidak takut pada tangisan; ia takut pada perubahan.

Karena itu, kebenaran bukan sekadar air mata yang jatuh, tetapi kesetiaan untuk berubah setelahnya. Dusta bukan hanya kebohongan di lidah, melainkan kebiasaan menunda pertobatan.

Kembali kepada Kesadaran yang Tenang

Pada akhirnya, Talbīs Iblīs mengajarkan bahwa kebenaran dan dusta tidak selalu bisa dilihat oleh mata. Keduanya tersembunyi di niat.

Kiamat batin terjadi ketika manusia berhenti mengoreksi diri, ketika kesombongan mengenakan jubah kebaikan, dan ketika ilmu dijadikan pelarian dari kebodohan hati. Meski begitu, Ibn al-Jawzī tidak menulis dengan nada putus asa. Ia menulis untuk membangunkan kesadaran: bahwa iblis hanya berkuasa selama kita lengah.

Selama hati masih mau jujur, jalan pulang selalu terbuka.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang tulus.”
(QS. At-Tahrim: 8)

Kebenaran akan kembali bersinar ketika hati berhenti ingin tampak benar. Sementara itu, dusta akan kehilangan pesonanya ketika kejujuran lebih kita cintai daripada pujian.

Menemukan Cahaya di Balik Bayangan

Ibn al-Jawzī menutup Talbīs Iblīs dengan pesan mendalam: manusia tidak akan selamat dari tipu daya setan tanpa ilmu dan keikhlasan. Ilmu melindungi dari kesalahan, sedangkan keikhlasan menyelamatkan dari kesombongan.

Mungkin, di zaman ini, kita tidak lagi berhadapan dengan iblis yang berbisik secara nyata. Namun, kita terus berhadapan dengan cerminan diri sendiri—yang kadang lebih pandai menipu daripada iblis.

Dan justru di sanalah kebenaran menunggu. Ia tidak berteriak, tidak memaksa, hanya menunggu hati yang berani melihat bayangan dalam dirinya sendiri.

* Sugianto al-jawi
Budayawan kokntemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement