SURAU.CO – Di tengah kehidupan modern, tradisi memperingati ulang tahun sudah menjadi kebiasaan yang lazim, termasuk di kalangan pasangan suami istri. Ada yang merayakan dengan potong kue, saling memberi hadiah, hingga membuat pesta kecil untuk menunjukkan kasih sayang. Namun, bagaimana sebenarnya ulang tahun ini dipandang dalam Islam, khususnya dalam konteks hubungan suami istri? Apakah termasuk bentuk cinta yang dibenarkan, atau justru menyerupai budaya yang sebaiknya dihindari?
Makna Ulang Tahun dalam Perspektif Dunia Modern
Bagi banyak orang, ulang tahun adalah momen refleksi dan syukur atas bertambahnya usia. Dalam hubungan pasangan, ulang tahun sering dianggap simbol perhatian dan penghargaan.
Suami memberi hadiah pada istri, atau sebaliknya, sebagai tanda cinta dan ucapan terima kasih karena telah setia mendampingi.
Namun, perlu disadari bahwa tradisi ini berasal dari budaya Barat, bukan dari ajaran Islam. Dalam sejarahnya, perayaan ulang tahun merupakan bagian dari ritual kepercayaan non-Islam yang berhubungan dengan ramalan nasib dan simbol kelahiran dewa. Maka, para ulama sejak dahulu berhati-hati menilai tradisi ini agar tidak terjebak dalam tasyabbuh bil kuffar — menyerupai perbuatan kaum yang tidak beriman.
Pandangan Islam tentang Ulang Tahun
Islam tidak mengenal ritual peringatan kelahiran pribadi, baik Nabi, sahabat, maupun umatnya. Rasulullah ﷺ tidak pernah memperingati hari lahir beliau sebagai “hari ulang tahun”, melainkan hanya berpuasa pada hari Senin — karena pada hari itulah beliau dilahirkan.
Beliau bersabda:
> “Itu adalah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku.”
(HR. Muslim)
Dengan kata lain, Rasulullah ﷺ tidak menjadikan hari kelahiran sebagai ajang pesta atau perayaan, melainkan sebagai momentum syukur spiritual melalui ibadah.
Jadi, Islam tidak melarang seseorang mengingat hari lahirnya, tetapi mengubahnya dari sekadar pesta menjadi muhasabah — introspeksi diri.
Ketika Ulang Tahun Menjadi Ekspresi Cinta Pasangan
Jika seorang suami atau istri ingin menunjukkan perhatian di hari ulang tahun pasangannya, tidak serta-merta itu salah. Asalkan tidak disertai unsur keyakinan ritual, pesta berlebihan, atau tindakan menyerupai budaya non-Islam.
Misalnya, suami yang mengucapkan, “Selamat bertambah usia, semoga Allah memberkahi hidupmu,” lalu memberi hadiah kecil sebagai bentuk kasih sayang — itu bukan perayaan, tapi ta‘bir mahabbah (ungkapan cinta).
Islam tidak menentang kasih sayang; justru menuntun agar cinta diikat dengan adab dan syukur. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.”
(HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad)
Hadiah tidak harus menunggu momen ulang tahun. Tetapi jika momentum itu dimanfaatkan untuk menumbuhkan cinta yang halal, mengingat nikmat usia, dan memperbanyak doa, maka nilai utamanya bukan pada ulang tahunnya, melainkan pada niat dan maknanya.
Ulang Tahun Sebagai Momentum Muhasabah
Alih-alih merayakan dengan lilin dan kue, Islam mengajarkan untuk merenung setiap kali usia bertambah. Karena sesungguhnya, bertambah usia berarti berkurang waktu hidup.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
“Wahai anak Adam, engkau hanyalah kumpulan hari. Setiap kali satu hari berlalu, maka hilanglah sebagian darimu.”
Maka, hari lahir bukan sekadar “hari jadi”, tapi “hari menuju”. Menuju pertemuan dengan Allah. Setiap ulang tahun seharusnya menjadi momen muhasabah: sudah sejauh mana umur ini digunakan untuk kebaikan, sudah seberapa banyak suami-istri saling menolong dalam takwa, dan sejauh mana rumah tangga diarahkan menuju ridha Allah.
Bentuk Syukur yang Disyariatkan
Dalam Islam, bentuk syukur atas bertambahnya umur dapat diwujudkan dengan amal saleh, bukan pesta.
Beberapa di antaranya:
- Berpuasa sunnah, sebagaimana Nabi ﷺ berpuasa setiap Senin.
- Bersedekah, karena sedekah adalah wujud syukur yang paling nyata.
- Doa dapat menjadi sumber kekuatan dan penenang hati dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Semoga pasanganmu selalu dalam lindungan dan kasih sayang-Nya.
- Memperbaiki diri, menjadikan setiap tahun baru sebagai awal yang lebih baik dalam ketaatan.
Cinta yang Islami Tak Butuh Momentum Duniawi
Bagi pasangan muslim, cinta bukan sekadar perasaan, tetapi ibadah. Maka, ungkapan cinta sejati tidak bergantung pada tanggal lahir atau momen ulang tahun.
Setiap hari adalah waktu untuk saling mengasihi, menolong, dan memaafkan.
Iman mengikat cinta agar tidak layu. Tapi cinta yang tumbuh dari ketaatan akan selalu hidup, meski tanpa pesta, tanpa kue, tanpa ucapan formal.
Allah berfirman:
> “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.”
(QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menegaskan bahwa kasih sayang sejati adalah rahmat dari Allah, bukan dari perayaan duniawi.
Penutup: Rayakan dengan Iman, Bukan Hura-hura
Ulang tahun bukanlah ibadah, tapi bisa menjadi ibrah. Jadikan setiap pertambahan usia sebagai pengingat bahwa waktu hidup semakin singkat, dan kesempatan beramal semakin sedikit.
Jika ingin memberi hadiah, berilah doa. Dan jika ingin merayakan, rayakan dengan sujud syukur. Jika ingin memperingati, peringatkan diri untuk memperbaiki iman.
Suami berkata kepada istrinya:
“Hari ini usiamu bertambah satu tahun, semoga surga juga semakin dekat untukmu.”
Dan istri menjawab:
“Semoga Allah panjangkan umurmu dalam ketaatan, bukan dalam kelalaian.”
Itulah perayaan ulang tahun yang sejati — bukan pesta, tapi doa; bukan kue, tapi cinta yang berbuah pahala.
“Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama seperti kemarin, maka ia rugi. Dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, maka ia celaka.”
(HR. al-Hakim)
Maka, ulang tahun sejati dalam Islam adalah ketika umur bertambah dan iman ikut meningkat.
Wallāhu a‘lam. (Tengku Iskandar – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
