Surau.co. “Air mata Iblis di pundak para sufi” — ungkapan metaforis yang menggetarkan hati ketika saya membaca Talbīs Iblīs karya Ibn al-Jawzī. Tema ini mengajak kita menyelami bagaimana setan bisa menangis diam-diam ketika mereka berhasil menipu bahkan para pecinta hakikat (para sufi). Frasa kunci air mata iblis di pundak para sufi akan hadir dalam penjelajahan ini sebagai benang merah, dan muncul sejak baris pertama agar pencarian daring menautkan kita langsung ke makna terdalamnya.
Di balik senyum ibadah: kisah sehari-hari hati
Saat kita melihat seorang murid tasawuf yang rutin bertakbir, berdzikir di tengah malam, kita bisa terkagum. Kita pikir: “Ah, dia sudah dekat dengan Allah.” Namun seringkali di balik itu, ada lembah kecil kosong di dalam jiwa — suatu kekosongan yang tak terisi oleh kehadiran Allah, melainkan oleh bisikan halus. Di situlah air mata iblis menetes, seolah merayakan bahwa tipuannya berhasil: membuat orang semacam sufi merasa aman dalam ilusi.
Ibn al-Jawzī dalam Talbīs Iblīs menegaskan bahwa tipu daya setan menjalar ke semua kelompok—termasuk para sufi yang mereka kagumi. Dia menulis:
«إن أول تلبيس إبليس على الناس صدّهم عن العلم»
“Sesungguhnya tipuan pertama Iblis terhadap manusia adalah menjauhkan mereka dari ilmu.”
(Artinya: ketika hati kehilangan pengetahuan yang benar, ia mudah dikelabui.)
Orang bisa membaca dzikir panjang, tetapi jika hatinya tak mendapatkan ilmu dan pengertian, maka gerombolan bayangan tipuan akan merayakan.
Ibn al-Jawzī juga menyampaikan:
«وَمِنْ تَلْبِيْسِهِ أَنْ يُعْطِيَ لِكِنَا غَيْرَ مَا يُعْطِيُ»
“Dan dari tipuan-Nya adalah Dia memberi kita sesuatu selain apa yang Dia berikan.”
(Maknanya: setan bisa menyulap nikmat kecil agar tampak seperti nikmat besar, lalu kita terlena.)
Dalam pengalaman sehari-hari, hal ini seperti seseorang yang merasa sangat dekat dengan Allah setelah berjibaku shalat malam, padahal hati masih dikendalikan prasangka, riya’, atau keangkuhan batin.
Air mata di pundak sufi: paradoks tipu dan pengabdian
Para sufi memiliki kecenderungan untuk menyelami kedalaman batin, merawat ikatan hati kepada Allah. Namun dalam Talbīs Iblīs, Ibn al-Jawzī membentangkan bahwa tipuan setan bisa memasuki ruang itu juga, menyamar sebagai penghibur likuiditas ruhani. Dalam suatu bab, ia mengungkap:
«أَشَدُّ التلبيسِ على أهلِ الزُّهدِ أن يَظُنُّوا أنهم في رِحالِ اللهِ»
“Tipuan paling kuat terhadap para ahli zuhud adalah ketika mereka mengira bahwa mereka sedang berada dalam perjalanan Allah (tanpa sadar tersesat).”
(Artinya: merasa sudah benar ketika hati masih bisa menyimpang.)
Bayangkan seorang sufi yang berdiam di gunung, menangis merintih dalam dzikir panjang, namun dalam diamnya ia berada dalam ironi: ia menangis kepada Allah, tetapi hatinya menangis bersama tipu daya. Di pundaknya, seakan iblis menaruh air mata halus — simbol kegembiraan bahwa kesucian itu telah disusupi keangkuhan spiritual.
Ibn al-Jawzī juga memberi peringatan:
«وَمَا يَشْعُرُ بِهِما إِلَّا مَنْ فَتَحَ اللهُ لَهُ قَلْبًا يَرَى»
“Dan tidak merasakan (tipu daya itu) kecuali orang yang Allah buka hatinya sehingga ia bisa melihat.”
(Artinya: hanya jiwa yang dibukakan Allah yang sanggup membedakan cahaya dan tipuan.)
Jadi, “air mata iblis di pundak para sufi” bukan hanya puisi simbolis; itu realita batin bahwa suka-duka spiritual sering berjalan bersisian.
Langkah agar air mata iblis tak menetap di pundak kita
Menyemai Ilmu untuk Meredam Tipu
Ibn al-Jawzī menegaskan bahwa ilmu adalah tembok terhadap tipu daya. Tanpa ilmu, kita mudah disesatkan oleh kata-kata suci yang kosong makna. Maka, mendalami kitab-kitab, tafsir Qur’ān, hadits, serta mempelajari warisan sufi yang sahih menjadi kebutuhan mendesak.
Zikir dengan Kesadaran Hati
Jangan hanya membaca rangkaian dzikir, tetapi hadirkan diri — rasakan getaran makna, jantung doa, dan hadapkan jiwa kepada Allah. Bila hati mendadak kosong atau melayang, itu tanda angin tipuan berkeliaran.
Merenung setelah ibadah
Setelah dzikir dan shalat, duduklah dalam diam dan tanyakan: “Apakah aku ikhlas? Apakah niatku bersih? Apakah ada tempat kelalaian?” Seperti yang dikatakan Ibn al-Jawzī:
«خيرُ الأعمالِ ما قلّ ودَلّ»
“Amal terbaik adalah yang sedikit tetapi penuh makna.”
Langkah sederhana tapi berdampak besar ialah merenungkan: lebih baik sedikit dengan kualitas dan kesadaran tinggi, daripada banyak dengan hati kosong.
Bergaul dengan orang saleh, tetapi tetap uji
Berkumpullah dengan para wali dan ahli ilmu, namun jangan sekadar mengikuti tanpa kritis. Ibn al-Jawzī mengingatkan bahwa ada yang memakai pakaian sufi, tetapi hatinya penuh tipu daya. Maka, uji dengarkan adab mereka, sikap rendah hati, dan integritas rohaninya.
Istighfār dan tobat kontinyu
Doa memohon ampun dan pertolongan adalah kekuatan melawan tipu daya. Bila terasa hati mulai membeku, istighfār menjadi air lembut yang bisa membersihkan sisa-sisa tipuan.
Refleksi akhir: Dari sufi yang merintih kepada sufi yang melek
Air mata iblis di pundak para sufi mungkin bukan gambaran mistis semata, melainkan panggilan agar kita menjaga keaslian jiwa, jangan mudah dikecoh oleh gema spiritual semu. Ibn al-Jawzī melalui Talbīs Iblīs menantang kita agar tidak sekadar “terlihat sufi” tetapi menjadi sufi yang sadar, yang hatinya jernih, tanpa kabut tipuan.
Kita harus menjadi sufi yang melek — hadir dalam dzikir, berbicara dalam doa dengan makna, sekaligus memeriksa niat. Dengan ilmu, kesadaran, dan adab, maka air mata iblis tak akan menetap di pundak kita; sebaliknya, kita menjadi khadam cahaya bagi diri sendiri dan sesama.
Semoga Allah menjaga kita dari jebakan Talbīs Iblīs, menjadikan hati kita bebas dari tipu, dan menjadikan doa kita jembatan ke hadirat-Nya yang paling mulia.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
