Surau.co. Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī membuka mata pembaca tentang bahaya ketika ketaatan berubah menjadi citra. Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī menegaskan bahwa tipu daya terbesar bukan selalu maksiat yang jelas, melainkan pujian palsu yang menempel pada pengabdi. Oleh karena itu, membaca Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī mengajak kita tidak hanya menilai tindakan lahir, tetapi juga menelisik niat dan mekanisme batin yang menghasilkan amalan itu.
Suara yang Lembut, Bahaya yang Halus
Di kehidupan sehari-hari, fenomena ini kerap hadir: guru dihormati, komunitas dipertahankan, dan ajaran diikuti tanpa kritik. Namun, kadang penghormatan itu berubah menjadi panggung. Misalnya, seseorang meniru kebiasaan ulama bukan karena faham, melainkan karena ingin bagian dari kelompok. Sejak awal hingga akhir, Ibn al-Jawzī memperingatkan: ketika kehormatan diri mengambil tempat pusat, ilmu menjadi topeng, bukan cahaya.
“ومن تلبيس إبليس أنه يجعل العبد يشتغل بعيوب الناس وينسى عيبه.”
“Termasuk tipu daya Iblis ialah ketika ia membuat hamba sibuk dengan kesalahan orang lain hingga lupa akan kesalahannya sendiri.”
Artinya: penglihatan luar sering menutup cermin batin.
Ketika Pujian Menjadi Silau
Selain itu, buku ini menjelaskan bagaimana pujian dapat menggerogoti akhlak ulama. Kadang jamaah memuji seorang pengajar sampai sang guru mulai meragukan niatnya sendiri. Sehingga, niat awal yang suci beralih menjadi upaya mempertahankan citra. Dalam konteks Indonesia saat ini—di mana popularitas mudah diukur melalui pengikut—risiko ini semakin nyata. Maka, kita membutuhkan skeptisisme lembut: tanya, kaji, dan dialog.
“إن إبليس لا يأتي العبد العابد فيقول له اكفر، ولكنه يأتيه من باب الطاعة فيغره بها.”
“Iblis tidak mendatangi hamba yang taat dengan berkata: ‘Kufurlah!’, melainkan ia datang melalui pintu ketaatan lalu menipunya dengan hal itu.”
Maknanya: iblis sering memanfaatkan hal tampak baik untuk menebar kesesatan.
Tanda-Tanda Bayangan Cahaya
Praktisnya, bagaimana mengenali bila seorang ulama atau pemimpin menjadi bayangan cahayanya sendiri? Pertama, jika kritik dianggap pengkhianatan bukannya koreksi, itu tanda berbahaya. Kedua, jika pengajar lebih menjaga nama daripada mengoreksi kesalahan, maka fungsi ilmu tergeser. Ketiga, jika pengikut lebih berorientasi pada figur ketimbang dalil dan adab, maka institusi rentan lahirkan kebid’ahan. Langkah-langkah kecil bisa mencegahnya: catat, diskusikan, dan cek silang dengan sumber primer.
“ومن أعظم تلبيسه أنه يرضي العبد بظاهر العمل ويحرمه لباب الإخلاص.”
“Termasuk tipu daya terbesarnya ialah ketika ia membuat hamba puas dengan tampilan luar amalnya lalu menahannya dari pintu keikhlasan.”
Ini peringatan agar amalan tidak berhenti pada gambar.
Al-Qur’an dan Hadits sebagai Penuntun
Kitab suci mengingatkan pentingnya hati yang jernih:
﴿الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat (nama) Allah. Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” — (Ar-Ra`d: 28).
Makna praktisnya: kedekatan spiritual tampak dari ketenangan dan rendah hati, bukan sorotan publik.
Sementara itu, hadits memberi garis tegas soal inovasi dalam agama:
“مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.”
“Barang siapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami yang bukan darinya, maka ia tertolak.”
Maksudnya: setiap praktik baru yang diklaim agama harus diuji dengan dalil, maslahat, dan adab ilmiah.
Langkah Actionable bagi Pembaca Muda
Pertama, biasakan bertanya: kenapa? Bertanya bukan berarti menentang, melainkan menjaga kualitas ibadah dan ilmu. Kedua, ajarkan adab ilmiah: rujuk sumber, hormati sanad, dan belajar dari perbedaan. Ketiga, bangun komunitas kecil untuk diskusi kritis: bacaan bareng, tukar pandang, dan evaluasi praktek secara berkala. Keempat, tanamkan kerendahan: ulama itu manusia; ilmu sehat bila melahirkan malu terhadap pujian, bukan ketergantungan pada pujian.
“من عرف الله استحيا أن يرى لنفسه عملا، فكيف يعجب به؟”
“Barang siapa mengenal Tuhan, ia akan malu melihat amalnya sendiri—bagaimana mungkin ia mengaguminya?”
Dengan kata lain: cinta hakiki selalu melahirkan malu, bukan bangga.
Penutup: Menyirami Ilmu dengan Adab
Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī adalah panggilan kembali: cintailah ilmu dengan kepala dan hati, bukan mata pengagum. Dengan demikian, ulama tetap cahaya, bukan bayangan cahayanya sendiri. Selalu ingat: ilmu tanpa adab menjadi racun; adab tanpa ilmu menjadi kosong. Gabungkan keduanya, dan jagalah komunitas agar cinta tidak menjadi buta, melainkan menjadi wasilah menuju perbaikan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
