Khazanah
Beranda » Berita » Kebid’ahan yang Tumbuh dari Cinta yang Buta

Kebid’ahan yang Tumbuh dari Cinta yang Buta

Ilustrasi remaja memegang kitab dengan bayangan simbolik talbīs di cermin.
Visualisasi metafora Talbīs Iblīs—cinta pada praktik yang tanpa uji menyebabkan bayangan menyulam kebiasaan menjadi bid’ah.

Surau.co. Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī membuka mata kita lebih dari sekadar kisah tentang iblis; ia menyingkap bagaimana kecintaan yang tidak sadar bisa melahirkan kebid’ahan. Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī mengingatkan bahwa cinta yang buta pada bentuk, tradisi, atau figur sering kali menjadi tanah subur bagi bid’ah. Dengan demikian, kitab ini relevan ketika kita menyaksikan praktik-praxis agama yang lahir bukan dari ilmu dan niat, melainkan dari pengagungan tanpa uji. Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī berulang kali menantang pembaca agar memeriksa niat sebelum menilai bentuk.

Ketika Cinta Menutup Mata

Pertama, perhatikan fenomena sehari-hari: orang menyukai tradisi karena itu milik keluarga, jamaah, atau guru tertentu. Namun, seringkali tradisi itu belum diuji; sebaliknya, ia dipertahankan dengan emosi. Misalnya, seseorang mempertahankan sebuah ritual karena “begitu kami diajar,” bukan karena makna dan manfaatnya. Akibatnya, bukannya memperkaya agama, praktik itu berpotensi mengaburkan ajaran.

“ومن تلبيس إبليس أنه يفتح لهم باب الخير ليوقعهم في باب شرٍ أعظم.”
“Termasuk tipu daya Iblis ialah ketika ia membuka bagi mereka pintu kebaikan untuk menjatuhkan mereka ke dalam kejahatan yang lebih besar.”

Kutip di atas memberi isyarat tajam: sesuatu yang tampak baik bisa jadi pintu masuk kebid’ahan jika hati tidak diuji.

Mengapa Bentuk Bisa Menipu

Selain itu, Talbīs Iblīs menjelaskan mekanik tipuan: iblis memanfaatkan kecenderungan manusia untuk mengukuhkan identitas. Akibatnya, pengikut lebih melekat pada bentuk daripada esensi. Misalnya, orang menilai ketaatan berdasarkan jumlah ritual yang dikerjakan—sementara esensi keikhlasan dan koreksi diri terabaikan. Dengan kata lain, kecintaan pada tampilan ibadah bisa mematikan kualitas ibadah itu sendiri.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“إن إبليس لا يأتي العبد العابد فيقول له اكفر، ولكنه يأتيه من باب الطاعة فيغره بها.”
“Sesungguhnya Iblis tidak mendatangi hamba yang taat dengan berkata: ‘kufurlah!’, tetapi ia mendatanginya melalui pintu ketaatan, lalu menipunya dengan hal itu.”

Jadi, kitab itu memperingatkan kita: berhati-hatilah ketika kebaikan lahir tanpa introspeksi.

Fenomena Sosial-Religius di Indonesia

Di konteks Indonesia sekarang, fenomena ini tampak nyata. Pemuliaan figur, kultus komunitas, dan endorsement spiritual sering berbaur. Misalnya, sebuah ajar/disiplin agama mendadak populer karena figur tertentu; tanpa kritis, praktik baru itu cepat dianggap “benar.” Sementara itu, diskusi ilmiah tentang dasar hukum dan tujuan praktik jarang terjadi. Oleh karena itu, bid’ah lahir bukan dari kebencian terhadap agama, melainkan dari cinta yang tidak diuji.

“ما هلك من هلك إلا بإعجابه بنفسه وظنه أنه قد نجا.”
“Tidaklah binasa seseorang melainkan karena kekagumannya terhadap dirinya sendiri dan keyakinannya bahwa ia telah selamat.”

Maksudnya jelas: ketika kita kagum pada citra diri—bahkan citra religius—kita rentan terhadap kesalahan besar.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Rambu-rambu Teknis: Hadits dan Kewaspadaan

Sementara talbīs ini bekerja pada level psikologis, syariat memberi peringatan tegas. Nabi bersabda:

“مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.”
“Barang siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami yang tidak termasuk di dalamnya, maka ia tertolak.”

Artinya, tindakan baru yang mengaku bagian dari agama perlu diuji: apakah ia berlandaskan dalil, maslahat, dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar? Jika tidak, maka waspadalah.

Lebih lanjut, Al-Qur’an memberi penekanan pada niat dan hikmah:

﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ﴾
“Mereka tidak diperintahkan selain agar mereka mengabdi kepada Allah dengan ikhlas menunaikan agama untuk-Nya semata.” — (ringkasan makna).

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dalam konteks ini, cinta harus mengarahkan pada keikhlasan, bukan pada ikatan sosial semata.

Praktis: Cara Menahan Laju Bid’ah

Pertama, sebelum memeluk praktik baru, tanyakan: apakah ada dalil? Kedua, konsultasikan dengan ulama yang menguasai metodologi ushul fiqh. Ketiga, uji praktik itu pada maqashid syariah—apakah melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta? Keempat, lakukan evaluasi secara berkala; jika praktik menumbuhkan sikap menganggap lebih suci dibanding orang lain, hentikan dan koreksi niat. Dengan langkah-langkah ini, kita mengubah cinta buta menjadi cinta yang berfikir.

“ومن أعظم تلبيسه أنه يرضي العبد بظاهر العمل ويحرمه لباب الإخلاص.”
“Termasuk tipu daya terbesarnya adalah ketika ia membuat hamba merasa puas dengan tampilan luar amalnya, lalu menahannya dari pintu keikhlasan.”

Saran terakhir: jadikan ilmu dan adab sebagai penopang untuk mencegah cinta berubah jadi kebid’ahan.

Penutup: Cinta yang Mengembalikan Akal

Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī mengingatkan kita bahwa cinta harus menyuburkan keikhlasan, bukan kebanggaan. Jika kita mengasuh kecintaan dengan ilmu, adab, dan niat jernih, maka praktik agama akan sehat dan akarnya tidak berubah menjadi bid’ah. Akhirnya, penting diingat:

“من عرف الله استحيا أن يرى لنفسه عملا، فكيف يعجب به؟”
“Barang siapa yang mengenal Tuhan, ia akan malu melihat amalnya sendiri—bagaimana mungkin ia mengaguminya?”

Dengan demikian, cinta yang sadar dan diuji selalu memelihara tradisi sehat dan menolak kebid’ahan.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement