SURAU.CO-Dari Tahlil ke Toleransi: Menyelami Ruh Tradisi NU yang Menyatukan Umat menyingkap makna mendalam di balik ritual dan kehidupan sosial umat Islam di Indonesia. Dari Tahlil ke Toleransi: Menyelami Ruh Tradisi NU yang Menyatukan Umat memperlihatkan bagaimana tahlil membentuk kebiasaan untuk hidup rukun, sabar, dan saling menghargai. Tradisi ini mengajarkan kesadaran bahwa doa bukan hanya permohonan spiritual, tetapi juga jembatan sosial yang mengikat hati umat.
Tradisi Nahdlatul Ulama tumbuh dari pertemuan antara ajaran Islam, kebudayaan Nusantara, dan pengalaman komunitas pesantren. Jamaah duduk melingkar, membaca kalimat tauhid dengan khusyuk, lalu menutupnya dengan doa keselamatan untuk semua. Kebersamaan itu menghapus batas sosial dan mempererat silaturahmi.
Tahlil menjadi ruang belajar yang menanamkan nilai toleransi secara praktis. Jamaah terbiasa mendengarkan, menghormati, dan menerima perbedaan cara membaca atau melagukan doa. Nilai-nilai seperti sabar, ikhlas, dan kasih sayang lahir dari rutinitas yang sederhana. Dari situ, masyarakat belajar bahwa perbedaan tidak selalu mengundang konflik, tetapi bisa menjadi sumber keberkahan.
Berbagai kegiatan kultural NU—seperti pengajian, ziarah, dan haul—menjadi wadah untuk memperkuat persaudaraan lintas golongan. Santri, petani, hingga pedagang datang dengan pakaian sederhana, membawa hati yang sama: berdoa bersama. Kegiatan semacam ini menjaga kesinambungan tradisi spiritual yang menyatu dengan budaya lokal, sehingga nilai Islam terasa membumi dan menghangatkan kehidupan sehari-hari.
Tahlil dan Toleransi dalam Tradisi NU
Tahlil menumbuhkan kebiasaan berkumpul dalam suasana damai dan terbuka. Dalam acara tahlil di pesisir Madura, beberapa tokoh agama non-Muslim ikut hadir menghormati. Mereka duduk bersama, mendengarkan bacaan doa, dan tersenyum ramah. Momen itu memperlihatkan bagaimana tahlil menjembatani perbedaan dan memupuk penghormatan lintas iman.
Warga NU mempraktikkan nilai maslahat dengan mengutamakan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi. Prinsip ini terlihat saat masyarakat bergotong royong mengadakan tahlil untuk mendoakan orang tua yang wafat, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau status sosial. Tradisi itu mengajarkan bahwa keberagamaan sejati terwujud melalui tindakan nyata yang menenangkan lingkungan.
Tahlil juga menjadi peneduh di masa politik yang panas. Ketika perbedaan pandangan muncul, tokoh-tokoh NU mengadakan tahlil bersama agar suasana kembali sejuk. Mereka lebih memilih doa dan dialog daripada pertengkaran. Pendekatan ini menunjukkan bahwa tradisi keagamaan bisa menjadi alat sosial untuk menanamkan nilai perdamaian.
Pesantren sebagai pusat tradisi NU terus menanamkan semangat toleransi dalam pendidikan. Para santri belajar membaca tahlil sambil memahami makna persaudaraan di baliknya. Guru menekankan bahwa tahlil bukan sekadar bacaan, melainkan latihan untuk berempati dan memaafkan. Dari situ lahir generasi muda yang menghargai perbedaan tanpa kehilangan jati diri keislaman.
Santri, Kearifan Lokal, dan Ruh Persaudaraan
Tradisi NU mengajarkan umat Islam untuk hidup sederhana, terbuka, dan menghormati sesama. Melalui tahlil, masyarakat belajar menyeimbangkan antara kesalehan spiritual dan kepedulian sosial. Dalam setiap doa, terselip harapan agar desa tetap damai dan persaudaraan tetap kuat. Itulah mengapa tahlil bukan sekadar ibadah, melainkan budaya yang menumbuhkan empati.
Nilai-nilai dalam tahlil juga memperkuat karakter bangsa. Di tengah derasnya arus modernisasi, tahlil mengingatkan masyarakat untuk kembali kepada akar spiritualitas yang menenangkan. Ketika generasi muda mulai jauh dari tradisi, pesantren dan tokoh NU terus menghidupkan kembali makna kebersamaan melalui kegiatan tahlil bersama.
Kearifan lokal yang menyatu dengan ajaran Islam membuat tradisi NU mudah diterima lintas budaya. Masyarakat Bali, Kalimantan, dan Sulawesi pun mengenal bentuk-bentuk doa bersama yang serupa. Hal ini menunjukkan bahwa tahlil tidak eksklusif, melainkan terbuka untuk siapa saja yang ingin merasakan kedamaian spiritual.
Melalui pengalaman langsung dan pengamatan, jelas bahwa tahlil menjadi fondasi bagi tumbuhnya toleransi di tengah masyarakat. Tradisi NU menjaga ruh Islam yang ramah, bukan marah. Ia membangun kedamaian melalui doa, memperkuat persaudaraan lewat kebersamaan, dan menyalakan cahaya keimanan di tengah dunia yang makin cepat berubah. Selama tahlil tetap hidup, nilai kemanusiaan akan selalu menemukan tempatnya di hati umat. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
