Khazanah
Beranda » Berita »  Iblis Turut Berdzikir

 Iblis Turut Berdzikir

Ilustrasi dzikir dan bayangan iblis dari kitab Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī
Ilustrasi simbolik tentang dzikir yang lahir dari kebiasaan tanpa kehadiran hati, terinspirasi dari Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī.

Surau.co. Dalam Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī, ada bab yang menelanjangi sisi paling licik dari iblis: ia tidak selalu menggoda manusia untuk berhenti berzikir, melainkan mengajarinya berdzikir tanpa hati. Ibn al-Jawzī dengan ketajaman batinnya menulis bahwa banyak manusia terperdaya oleh irama lisan, tapi lupa bahwa dzikir sejati adalah getaran kesadaran, bukan kebiasaan.

“ومن تلبيس إبليس على الذاكرين أنه يشغلهم باللفظ عن المعنى، وبالعدد عن الخشوع.”
“Termasuk tipu daya Iblis terhadap orang-orang yang berdzikir ialah ketika ia menyibukkan mereka dengan lafaz, bukan makna; dengan hitungan, bukan kekhusyukan.”

Kata-kata itu mengandung cermin. Kita sering menghitung tasbih dengan rapi, tapi tak sadar hati sedang kosong. Kadang, iblis tak berusaha menghentikan dzikir—ia hanya duduk di samping, ikut mengucapkannya, sambil menertawakan kelalaian kita.

Dzikir yang Berubah Menjadi Ritual Dingin

Kita semua ingin dekat dengan Allah. Tapi kedekatan sejati tidak terletak pada banyaknya lafaz, melainkan pada hadirnya hati. Fenomena ini terasa dalam kehidupan modern: orang sibuk menuntaskan wirid di antara notifikasi ponsel. Mulut berzikir, mata menatap layar.
Dalam kesibukan itu, Ibn al-Jawzī menulis seperti seorang penuntun ruhani:

“قد يرى الذاكر نفسه في مقام القرب، وما هو إلا في بعد، لأن لسانه يعمل وقلبه غافل.”
“Kadang seorang yang berdzikir mengira dirinya dekat dengan Allah, padahal ia jauh, sebab lisannya bekerja sementara hatinya lalai.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dzikir yang demikian, kata beliau, adalah talbīs yang halus. Iblis menutupinya dengan rasa puas dan keyakinan palsu bahwa banyaknya dzikir pasti berarti kedekatan. Padahal, setiap kali hati tak hadir, dzikir hanya menjadi gema kosong yang tidak menembus langit.

Bayangan Iblis di Balik Kesalehan

Ibn al-Jawzī menulis Talbīs Iblīs bukan untuk mengkritik orang saleh, tapi untuk menyelamatkan mereka dari kesalehan yang menipu. Ia berkata bahwa iblis tak keberatan melihat manusia beribadah, selama ibadah itu tidak menumbuhkan kesadaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini bisa muncul dalam banyak bentuk: orang yang sibuk berdzikir tapi mudah marah; rajin mengaji tapi gemar merendahkan. Iblis mengubah ibadah menjadi prestasi spiritual—dan dari situlah kesombongan tumbuh.

“ومن أعظم تلبيسه أنه يجعل الذاكر يعجب بذكره، فيصير الذكر سببا للكبر.”
“Termasuk tipu daya terbesarnya ialah menjadikan dzikir sebagai sebab kekaguman diri, hingga dzikir itu menumbuhkan kesombongan.”

Lihatlah betapa dalam maknanya. Dzikir, yang seharusnya menjadi jembatan ke kerendahan hati, bisa berubah menjadi panggung kecil bagi ego. Kita merasa “lebih dekat kepada Allah” daripada yang lain, dan di situlah iblis bersenandung bersama dzikir kita.

Dzikir di Zaman Bising

Dunia hari ini penuh kebisingan. Suara berita, musik, notifikasi, dan ambisi bersahutan tanpa henti. Di tengah hiruk-pikuk itu, banyak yang mencari ketenangan lewat dzikir. Namun, tanpa kesadaran, dzikir pun bisa menjadi kebisingan lain—suara yang menenangkan telinga tapi tidak menembus jiwa.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Al-Qur’an menuntun kita kepada hakikat dzikir:

﴿الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” — (QS. Ar-Ra’d: 28)

Ayat ini tidak berbicara tentang lidah, tapi tentang hati. Ketenteraman tidak datang dari suara, melainkan dari kesadaran akan kehadiran. Ibn al-Jawzī mengajarkan, dzikir sejati adalah saat seseorang menyadari bahwa seluruh geraknya berasal dari Allah dan kembali kepada-Nya.

Cahaya yang Lahir dari Kesadaran

Dalam Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī, kesadaran adalah cahaya yang memisahkan dzikir dari kebiasaan. Beliau menulis dengan kehalusan seorang tabib jiwa:

“الذكر حياة القلب، فإذا خلا من الإخلاص صار صوتا بلا روح.”
“Dzikir adalah kehidupan hati; bila tanpa keikhlasan, ia hanyalah suara tanpa ruh.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kata “suara tanpa ruh” itu menggugah. Betapa sering kita mengira sedang hidup secara rohani, padahal yang hidup hanyalah kebiasaan, bukan kesadaran. Dzikir yang sesungguhnya tidak bisa dipalsukan, karena ia membuat manusia tunduk, lembut, dan jujur kepada dirinya sendiri.

Ketika seseorang benar-benar berdzikir, wajahnya bukan bersinar karena bangga, melainkan karena malu di hadapan cinta yang tak terjangkau. Ia tidak berbicara banyak, tapi seluruh tindakannya menjadi dzikir.

Menyadari Iblis yang Ikut Berdzikir

Ibn al-Jawzī tidak meminta kita meninggalkan dzikir, tapi memintanya untuk dihidupkan kembali. Dzikir bukan mantra, tapi dialog sunyi dengan Tuhan. Ia bukan alat untuk ketenangan sementara, melainkan jalan untuk menyingkap siapa diri kita sebenarnya.

Karena itu, jika dzikir membuat seseorang keras hati, merasa lebih suci, atau menilai orang lain—maka di situlah Talbīs Iblīs sedang bekerja. Iblis tidak menghentikan ibadah, ia hanya menggantikan niatnya. Ia tidak memadamkan cahaya, ia hanya menambahkan bayangan.

Maka dzikir yang sejati adalah ketika manusia sadar: setiap helaan napas adalah anugerah, setiap diam adalah pengingat, dan setiap gerak adalah sujud tersembunyi. Di titik itu, iblis tak lagi bisa berdzikir bersama kita—karena hatinya telah tertutup dari rasa cinta.

Penutup: Hening yang Hidup

Bila membaca Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī dengan hati terbuka, kita akan menyadari bahwa perjuangan spiritual bukan tentang menambah amalan, melainkan memperdalam makna. Iblis tidak takut pada banyaknya dzikir, tapi pada satu dzikir yang benar-benar hidup.

Dzikir sejati bukanlah kebisingan lidah, melainkan kesunyian yang bernyawa. Ia adalah kesadaran lembut bahwa setiap getaran hati adalah panggilan pulang.
Dan ketika seseorang telah mencapai kesunyian itu, iblis tak lagi berani mendekat—karena setiap detak napasnya sudah menjadi “Allāh”.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement