Surau.co. Dalam Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī, iblis bukan sekadar makhluk hitam bersayap api yang berbisik di telinga. Ia adalah bayangan yang kadang memakai wajah kita sendiri. Ibn al-Jawzī menulis kitab ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membangunkan: bahwa tipu daya iblis yang paling halus adalah membuat manusia lupa siapa musuhnya — bukan di luar, tapi di dalam diri.
“ومن تلبيس إبليس أنه يجعل العبد يشتغل بعيوب الناس وينسى عيبه.”
“Termasuk tipu daya Iblis ialah ketika ia membuat seorang hamba sibuk dengan kesalahan orang lain hingga lupa pada kesalahannya sendiri.”
Kata-kata itu seperti tamparan lembut. Berapa kali kita merasa benar hanya karena yang lain tampak salah? Berapa sering kita melihat iblis di orang lain, tapi tidak menyadari bayangannya di dalam diri?
Refleksi yang Menyesatkan
Kita hidup di zaman di mana cermin bukan lagi untuk melihat diri, tapi untuk menilai penampilan. Begitu pula dalam batin: banyak orang bercermin bukan untuk memperbaiki diri, melainkan untuk memastikan bahwa dirinya tampak saleh di mata orang lain.
Ibn al-Jawzī mengingatkan, iblis tidak selalu menggoda lewat dosa, tetapi juga lewat “kebenaran”. Ia membuat manusia beribadah bukan karena cinta, melainkan karena gengsi spiritual.
“ومن تلبيسه على العابد أن يريه عبادته فيعجب بها، ويغتر بنفسه، فيكون ذلك سبب هلاكه.”
“Termasuk tipu daya Iblis terhadap ahli ibadah ialah memperlihatkan amalnya sendiri hingga ia mengagumi dirinya dan tertipu oleh kesalehannya; itulah sebab kehancurannya.”
Sungguh, iblis tidak membisikkan, “Jangan beribadah,” tetapi berkata, “Lihat betapa baiknya engkau beribadah.” Dan di sanalah ia tertawa dalam diam.
Cermin Ego di Tengah Kehidupan Modern
Fenomena ini tampak di mana-mana. Di media sosial, orang berlomba menampilkan citra paling saleh — dari kutipan hadis hingga potret sujud. Tak jarang, yang tampak sebagai ketulusan adalah keinginan untuk dikagumi.
Namun Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī mengajarkan, iblis tidak butuh dosa besar untuk menyesatkan manusia. Ia hanya perlu menanam satu rasa: aku lebih baik daripada mereka.
“قال إبليس: أنا خير منه، فكان أول من قاس الدين برأيه، فهلك.”
“Iblis berkata: ‘Aku lebih baik darinya.’ Maka ia menjadi yang pertama menimbang agama dengan akalnya sendiri, lalu binasa.”
Kalimat itu bukan sekadar kisah keangkuhan iblis terhadap Adam, melainkan potret abadi manusia yang menilai kebenaran dari rasa “lebih tahu”. Di tempat kerja, di forum dakwah, bahkan dalam doa — bayangan itu sering muncul tanpa kita sadari.
Bayangan yang Membisik di Antara Ibadah
Kita tidak selalu sadar bahwa setiap amal memiliki bayangannya. Dalam setiap kebaikan, ada iblis yang berusaha membisikkan rasa puas. Dalam setiap sedekah, ada suara kecil yang berkata, “Lihat, engkau telah memberi.”
Ibn al-Jawzī menulis dengan kedalaman yang menembus zaman:
“ومن أعظم تلبيسه أن يجعل الطاعة سببا للعجب، فيكون العبد يعبد الله ويعبد نفسه.”
“Termasuk tipu daya terbesarnya ialah ketika ia menjadikan ketaatan sebagai sebab kekaguman, sehingga hamba itu menyembah Allah sekaligus menyembah dirinya.”
Doa yang awalnya tulus bisa berubah menjadi ritual keakuan. Ibadah yang seharusnya mendekatkan, bisa menjadi tembok tinggi antara manusia dan kerendahan hati.
Iblis tidak menghapus doa, ia hanya menambahkan rasa “aku”. Dan satu huruf itu — “aku” — cukup untuk memisahkan seorang hamba dari Tuhannya.
Cermin yang Menyucikan, Bukan Menghakimi
Al-Qur’an memberi panduan sederhana untuk menghindari tipu daya ini:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu.” — (QS. Al-Mā’idah: 105)
Ayat ini bukan ajakan untuk egoisme, tapi untuk introspeksi. Menjaga diri berarti melihat ke dalam cermin dengan kejujuran — bukan untuk mengagumi, melainkan untuk membersihkan noda yang tersisa.
Ibn al-Jawzī dalam Talbīs Iblīs berulang kali mengingatkan bahwa perjalanan spiritual bukan soal bagaimana orang lain melihat kita, melainkan sejauh mana kita jujur terhadap batin sendiri.
Cermin sejati adalah hati yang bening. Bila hati itu jernih, setiap kesalahan akan tampak tanpa butuh orang lain menegur. Tetapi bila hati keruh, bahkan kebaikan akan terlihat sebagai pembenaran diri.
Kesadaran yang Membebaskan
Kita tidak bisa memusnahkan iblis, tapi kita bisa mengenalinya. Setiap kali muncul rasa “lebih tahu”, “lebih suci”, atau “lebih berhak”, di situlah cermin harus dihadapkan.
Ibn al-Jawzī menulis dengan kebijaksanaan yang nyaris mistik:
“من عرف نفسه لم ير لها قدرا، ومن جهلها أعجب بها.”
“Barang siapa mengenal dirinya, ia tidak akan menganggap dirinya berharga; namun yang tidak mengenal dirinya akan mengaguminya.”
Mengenal diri adalah mengenali kelemahan, bukan keunggulan. Dan hanya dengan itu, iblis kehilangan pijakan. Ia hidup dari kebanggaan manusia terhadap dirinya sendiri.
Dalam kehidupan modern, langkah paling spiritual mungkin bukan mengasingkan diri, tapi menatap diri dengan jujur — tanpa kebohongan, tanpa topeng kesalehan.
Penutup: Menatap Cermin dengan Hati Terbuka
Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī adalah kitab tentang kesadaran, bukan ketakutan. Ia mengajarkan bahwa syetan bukan sosok di luar, melainkan bias dalam cermin batin.
Ia tidak menakutkan, tapi menipu dengan lembut. Dan ia tidak menghalangi doa, tapi mengisinya dengan rasa bangga. Ia tidak menghentikan zikir, tapi membuatnya kosong dari makna.
Namun begitu kita sadar, tipu dayanya lenyap.
Kesadaran itu seperti cahaya kecil di ruang gelap: tidak membunuh bayangan, tapi membuatnya tak lagi menakutkan.
Jadi, lain kali kita merasa “benar”, “lebih suci”, atau “lebih paham”, mungkin itu bukan kebenaran — mungkin itu iblis yang sedang bercermin melalui diri kita.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
