Khazanah
Beranda » Berita » Sunyi yang Tertipu: Ketika Zuhud Menjadi Panggung

Sunyi yang Tertipu: Ketika Zuhud Menjadi Panggung

Ilustrasi zuhud palsu dan bayangan ego dalam karya Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī
Ilustrasi filosofis tentang zuhud yang berubah menjadi panggung ego; menggambarkan pesan halus Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī.

Surau.co — Dalam Talbīs Iblīs karya Ibn al-Jawzī, sunyi tidak selalu menjadi tanda kedekatan dengan Allah. Kadang ia hanya panggung halus, tempat di mana ego bersujud kepada dirinya sendiri. Ibn al-Jawzī menulis kitab ini sebagai cermin tajam bagi para ahli ibadah agar mereka sadar: iblis tidak berhenti di pintu maksiat, ia juga duduk di sajadah para zahid.

“ومن تلبيس إبليس على الزهاد أنه يحسن لهم ترك الدنيا ظاهرا ويوقعهم في حب الرياسة باطنا.”

“Termasuk tipu daya Iblis terhadap para zahid adalah ketika ia menghias bagi mereka penolakan dunia secara lahir, namun menjerat mereka dengan cinta kepemimpinan di batin.”

Dengan kata lain, sunyi bisa menipu. Ia membuat seseorang merasa tinggi karena menolak dunia, padahal ia hanya mengganti bentuk kesombongan: dari harta menjadi kehormatan spiritual.

Zuhud yang Dipamerkan

Fenomena ini tampak jelas di dunia modern. Kita sering melihat orang hidup sederhana, namun kesederhanaannya disiarkan. Ada pula yang menolak kemewahan, tetapi ingin diketahui karena itu. Dalam bayangan hati kecilnya, terselip rasa ingin dikagumi karena “tidak mencintai dunia.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Fenomena pamer kesunyian semacam itu adalah talbīs (penyamaran) yang amat halus. Ibn al-Jawzī mengingatkan:

“ومن تلبيس إبليس أنه يري الزاهد زهده، حتى يعجب به ويظن أنه أفضل من غيره.”

“Termasuk tipu daya Iblis ialah ketika ia memperlihatkan kezuhudan seseorang kepadanya, hingga ia mengagumi dirinya dan mengira lebih baik dari orang lain.”

Zuhud sejati bukan menolak dunia secara total, melainkan menempatkannya di tangan, bukan di hati. Namun iblis menukar makna itu: ia membuat seseorang bangga dengan kezuhudannya sendiri. Ia menjadikan sunyi sebagai tanda kemuliaan semu. Padahal, kesunyian yang dibalut kebanggaan hanyalah kebisingan yang bersembunyi di balik ketenangan.

Fenomena Zuhud di Zaman Digital

Kini, dunia tidak lagi sunyi. Segalanya terbuka, serba terlihat, dan saling terhubung. Namun anehnya, justru di era ini banyak yang berusaha tampil “zuhud” secara visual. Ada yang menampilkan hidup sederhana, tidak bermerek, tidak glamor—tetapi tetap ingin disorot.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ibn al-Jawzī seakan telah membaca zaman ini berabad-abad lalu. Ia menulis dengan nada prihatin:

“قد يُخدع الزاهد بالثوب الخشن والمسكن الوضيع، فيظن أنه بذلك قد بلغ الزهد، وما هو إلا صورة بلا روح.”

“Kadang seorang zahid tertipu dengan pakaian kasar dan rumah sederhana, lalu ia menyangka telah mencapai zuhud, padahal itu hanya bentuk tanpa ruh.”

Kutipan itu terasa sangat relevan. Kita hidup dalam era pencitraan, di mana spiritualitas pun bisa menjadi konten. Apa yang dulu disebut ikhlas kini sering diukur dari jumlah penonton dan pengakuan.

Iblis, kata Ibn al-Jawzī, tidak perlu menggoda manusia lewat dosa jika ia sudah bisa menipu lewat amal. Dengan demikian, ancaman terbesar bagi orang saleh bukan lagi dunia yang gemerlap, melainkan kebanggaan atas kesalehannya sendiri.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Makna Zuhud yang Sejati

Zuhud sejati bukan berarti menolak dunia, tetapi bebas dari dominasi dunia di dalam hati. Seseorang bisa kaya, berkuasa, atau terkenal, namun tetap zuhud jika hatinya tidak terikat pada semua itu.

Al-Qur’an menegaskan:

﴿لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ﴾
“Agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu dan tidak berlebihan gembira terhadap apa yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Ḥadīd: 23)

Ayat ini adalah inti dari zuhud: keseimbangan batin. Tidak larut dalam kehilangan, tidak sombong dalam kepemilikan.

Ibn al-Jawzī kemudian menegaskan:

“الزهد ترك ما يشغل عن الله، لا ترك الدنيا فقط.”

“Zuhud adalah meninggalkan apa yang melalaikan dari Allah, bukan semata meninggalkan dunia.”

Dengan demikian, zuhud sejati adalah urusan hati, bukan gaya hidup. Jika keheningan membuat kita merasa lebih tinggi dari orang lain, maka kita belum zuhud. Kita hanya berpindah panggung dari duniawi ke rohani, tanpa benar-benar keluar dari jebakan ego.

Kesunyian yang Tidak Berpihak kepada Ego

Ketenangan yang sejati tidak lahir dari status spiritual, tetapi dari kehampaan diri. Seseorang bisa berdiam di gua sekalipun, namun jika di sana masih ada “aku” yang merasa suci, maka iblis akan duduk di sampingnya sambil tersenyum.

Zuhud sejati, menurut Ibn al-Jawzī, justru hidup di tengah dunia tanpa diperbudak olehnya. Ia tidak butuh pengakuan. Ia menolak panggung karena sadar: panggung apa pun adalah jebakan bagi hati yang masih ingin dilihat.

Fenomena kesunyian yang tertipu bisa terjadi pada siapa pun. Kadang kita menolak keramaian, namun diam-diam ingin dikenal sebagai “orang yang memilih sunyi.” Di situlah, kata Ibn al-Jawzī, iblis bersujud bersama manusia dalam sujudnya sendiri.

Belajar Rendah di Tengah Sunyi

Bagaimana cara menghindari kesunyian yang palsu? Ibn al-Jawzī memberi nasihat yang sederhana namun mendalam: jangan pernah merasa cukup dengan amal sendiri.

Ia menulis, manusia yang merasa zuhud sebenarnya belum mengenal Tuhannya dengan benar. Siapa pun yang benar-benar mengenal Allah akan malu mengklaim amalnya.

“من عرف الله استحيا أن يرى لنفسه عملا، فكيف يعجب به؟”

“Barang siapa mengenal Allah, ia akan malu melihat amalnya sendiri—bagaimana mungkin ia bisa mengaguminya?”

Dengan kata lain, zuhud sejati menumbuhkan rasa malu, bukan rasa bangga. Ia menjadikan seseorang lebih lembut terhadap sesama, lebih sabar terhadap ujian, dan lebih tenang menghadapi perubahan hidup.

Sementara itu, orang yang masih mencari pengakuan lewat kesunyian justru sedang menegakkan berhala baru dalam hatinya: berhala kesalehan.

Penutup: Sunyi yang Menghidupkan

Membaca Talbīs Iblīs karya Ibn al-Jawzī membantu kita memahami bahwa iblis tidak selalu datang dalam wujud maksiat yang kasar. Ia datang melalui pintu-pintu kesalehan yang tampak indah. Ia menipu lewat doa, amal, bahkan keheningan.

Zuhud sejati bukan untuk pamer, bukan pula untuk membangun identitas baru. Ia adalah cara jiwa bernafas tanpa terikat oleh penilaian siapa pun.

Kesunyian yang benar tidak ingin dikenal, tidak ingin disebut, dan tidak ingin disucikan. Ia hanya ingin dekat.
Dan ketika hati benar-benar kosong dari segala selain Allah, di situlah iblis kehilangan tempatnya — sebab yang tersisa hanyalah satu nama: Dia yang Maha Ada.

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement