Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Iblis Menyamar Sebagai Dirimu Sendiri

Ketika Iblis Menyamar Sebagai Dirimu Sendiri

Ilustrasi iblis menyamar sebagai bayangan manusia dalam cermin
Visualisasi makna Talbīs Iblīs—bahwa godaan sering datang lewat wajah diri sendiri.

Surau.co. Dalam Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī, kita diajak menyelami ruang paling sunyi dalam diri: tempat di mana iblis tidak lagi datang dari luar, melainkan mengenakan wajah kita sendiri. Iblis tidak selalu datang dengan tanduk dan api, tapi seringkali lewat suara lembut yang berkata, “Aku hanya ingin kebaikan.”
Sejak paragraf pertama kitab ini, Ibn al-Jawzī memperingatkan bahwa tipu daya terbesar iblis adalah ketika manusia mengira dirinya sedang berbuat baik padahal tersesat dalam kesombongan rohaninya.

Ia menulis:

“ومن تلبيس إبليس على العباد أنه يفتح لهم باب الخير ليوقعهم في باب شرٍ أعظم.”
“Termasuk tipu daya Iblis terhadap para hamba ialah ketika ia membuka bagi mereka pintu kebaikan untuk menjatuhkan mereka ke dalam kejahatan yang lebih besar.”

Begitulah cara iblis bekerja—bukan dengan menggoda secara kasar, tapi dengan membungkus keburukan dalam selimut kebaikan.

Ketika Amal Menjadi Topeng Keangkuhan

Kita semua pernah merasa bangga setelah beribadah. Tapi dalam kebanggaan itu, ada senyum samar iblis. Ia berkata, “Lihat betapa ikhlasnya engkau.”
Ibn al-Jawzī menjelaskan bahwa iblis tidak menyesatkan orang saleh dengan maksiat terang-terangan, melainkan dengan hal-hal yang tampak mulia.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“إن إبليس لا يأتي العبد العابد فيقول له اكفر، ولكنه يأتيه من باب الطاعة فيغره بها.”
“Sesungguhnya Iblis tidak mendatangi hamba yang taat dengan berkata: kufurlah! Tapi ia mendatanginya melalui pintu ketaatan, lalu menipunya dengan hal itu.”

Dalam kehidupan sehari-hari, bentuk talbīs ini mudah kita temui.
Ada yang merasa lebih baik karena berpakaian lebih syar’i, tapi di hatinya tumbuh benih merendahkan orang lain.
Ada pula yang rajin menulis dakwah di media sosial, tapi diam-diam mencari pujian di kolom komentar.
Iblis, dalam kata Ibn al-Jawzī, pandai menyesuaikan topengnya dengan kondisi setiap manusia.

Refleksi di Tengah Hiruk Pikuk Zaman

Di masa digital ini, Talbīs Iblīs terasa semakin nyata.
Iblis kini tidak lagi berbisik di telinga, tapi menari di layar ponsel kita.
Ia membisikkan rasa “berharga” lewat jumlah likes, menumbuhkan ego spiritual lewat konten dakwah yang viral, dan membuat kita lupa bahwa kebaikan sejati tidak butuh panggung.

“ومن أعظم تلبيسه أنه يرضي العبد بظاهر العمل ويحرمه لباب الإخلاص.”
“Termasuk tipu daya terbesarnya ialah ketika ia membuat hamba merasa puas dengan tampilan luar amalnya, lalu menahannya dari inti keikhlasan.”

Kata-kata itu seperti cermin.
Kita mungkin sedang menulis, berbuat baik, atau membantu orang lain—tapi di balik semua itu, apakah kita benar-benar tulus?
Atau kita hanya ingin memastikan dunia tahu bahwa kita “orang baik”?

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Suara Hati dan Ketenangan yang Hilang

Ibn al-Jawzī menulis Talbīs Iblīs bukan sekadar untuk ulama, tapi juga untuk orang biasa yang ingin mengenal dirinya. Ia menunjukkan bahwa sumber kejatuhan manusia bukan karena tidak tahu, melainkan karena terlalu yakin pada dirinya sendiri.

“ما هلك من هلك إلا بإعجابه بنفسه وظنه أنه قد نجا.”
“Tidaklah binasa seseorang melainkan karena kekagumannya terhadap dirinya sendiri dan keyakinannya bahwa ia telah selamat.”

Kutipan ini menusuk, karena kita sering merasa sudah cukup saleh, cukup tahu, cukup baik. Padahal, rasa “cukup” itulah yang menutup pintu pertumbuhan rohani.
Dalam kehidupan modern, kita melihat fenomena ini di mana-mana—orang yang merasa paling benar karena punya “pemahaman paling murni”.
Padahal, iblis justru bersembunyi di balik keyakinan yang tak lagi mau dikoreksi.

Menemukan Jalan Pulang: Kesadaran dan Ketundukan

Ibn al-Jawzī menutup banyak babnya dengan ajakan untuk kembali kepada tazkiyah an-nafs—penyucian jiwa. Ia mengingatkan bahwa melawan iblis bukanlah dengan kebencian, tapi dengan kesadaran.
Al-Qur’an mengajarkan hal yang sama:

﴿إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا﴾
(“Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.”) — (QS. An-Nisā’: 76)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Namun kelemahan itu hanya tampak bagi mereka yang mengenal dirinya. Bagi yang masih tertipu oleh egonya, iblis tetap tampak kuat, karena ia bersembunyi di balik keinginan yang tak pernah usai.

Kita perlu belajar menundukkan diri, bukan kepada dunia, tapi kepada Sang Pencipta.
Karena hanya dengan kerendahan hati, kita bisa mengenali bayangan yang menyerupai diri sendiri, dan memisahkan antara suara hati yang murni dengan bisikan iblis yang halus.

Menjalani Hidup dengan Kesadaran Penuh

Bila membaca Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī dengan hati yang terbuka, kita akan menemukan bukan sekadar kritik terhadap perilaku manusia, tapi ajakan untuk melihat lebih dalam.
Ibn al-Jawzī tidak menulis dengan nada murka, tapi dengan kasih sayang seorang guru yang ingin muridnya sadar.

Ia seolah berpesan:
Jangan terlalu cepat menilai orang lain sesat, karena mungkin iblismu sedang tersenyum di balik kata-kata itu.
Jangan pula terlalu bangga dengan kebaikanmu, karena mungkin itu bukan kebaikan, melainkan panggung kecil yang diciptakan ego.

Kehidupan modern menuntut kita untuk tampak sempurna, tapi Ibn al-Jawzī mengingatkan: kesempurnaan justru terletak pada kerendahan hati untuk terus memperbaiki diri.
Setiap kali kita merasa paling tahu, di situlah iblis mungkin telah berhasil menyamar sebagai diri kita sendiri.

Penutup: Jalan Sunyi Menuju Kejernihan

Menelusuri Talbīs Iblīs ibarat berjalan di lorong panjang kesadaran.
Setiap halaman menyingkap tabir, setiap kata mengguncang keyakinan palsu yang selama ini kita pelihara.
Kitab ini bukan sekadar karya moral, tapi juga panduan spiritual untuk mengenal siapa musuh sejati dalam diri.

Pada akhirnya, melawan iblis bukan berarti mencari sosok hitam di luar diri, melainkan menyingkap yang bersembunyi di balik wajah kita sendiri.

Dan ketika kita mampu berkata, “Aku bukanlah kebaikanku, dan bukan pula dosaku,” di sanalah iblis kehilangan tempatnya.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement