Khazanah Pendidikan
Beranda » Berita » Bolehkah Berbohong Kepada Anak? 

Bolehkah Berbohong Kepada Anak? 

Bolehkah Berbohong Pada Anak?
Bolehkah Berbohong Pada Anak? Islam melarang seseorang berbohong meskipun kepada anak. Gambar : SURAU.CO

SURAU.CO – Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik, sopan, dan berakhlak mulia. Namun dalam perjalanan mendidik anak, terkadang muncul dilema kecil: “Apakah boleh saya berbohong sedikit pada anak demi kebaikan?” Misalnya, agar anak mau makan, mau tidur, atau tidak menangis. Pertanyaan sederhana ini ternyata menyentuh persoalan besar dalam pendidikan moral, terutama dalam pandangan Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran.

Kejujuran dalam Pandangan Islam

Kejujuran adalah salah satu nilai tertinggi dalam ajaran Islam. Ia bukan sekadar sifat baik, melainkan fondasi dari keimanan seseorang. Rasulullah bersabda:

“Hendaklah kalian selalu berkata jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang senantiasa berkata jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang terus-menerus berdusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kejujuran bukan hanya perbuatan kecil, melainkan jalan menuju surga. Sebaliknya, dusta — sekecil apa pun — dapat menyeret seseorang kepada keburukan yang lebih besar. Karena itu, Islam menanamkan prinsip kejujuran sejak dini, bahkan terhadap anak-anak.

Larangan Berbohong pada Anak

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amir, beliau berkata:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“Suatu hari ibuku memanggilku, ‘Kemari, nak, akan aku berikan sesuatu kepadamu.’ Rasulullah yang kebetulan berada di rumah kami bertanya kepada ibuku, ‘Apa yang hendak engkau berikan kepadanya?’
Ibuku menjawab, ‘Aku ingin memberinya kurma.’
Rasulullah
bersabda, ‘Jika engkau tidak memberinya sesuatu, maka engkau telah berdusta kepadanya.’”
(HR. Abu Dawud, no. 4991)

Hadis ini sangat jelas menunjukkan bahwa Islam melarang seseorang berbohong kepada anak, walaupun dalam hal kecil. Rasulullah tidak membedakan antara kebohongan yang besar atau kecil; selama ucapan tidak sesuai dengan kenyataan, maka itu termasuk dusta. Bahkan kepada anak kecil pun, seorang Muslim wajib menjaga lisannya agar tetap jujur.

Mengapa Orang Tua Berbohong pada Anak?

Kebohongan kepada anak biasanya tidak muncul karena niat jahat. Sebaliknya, sering kali ia lahir dari niat baik yang salah arah. Beberapa contoh umum antara lain:

  1. Untuk membuat anak patuh.
    Misalnya, “Kalau kamu tidak tidur sekarang, nanti ada hantu datang!”
    Orang tua berharap anak segera tidur, tapi menggunakan ketakutan sebagai alat.
  2. Untuk menenangkan anak.
    Misalnya, “Ayah tidak pergi jauh kok,” padahal ayah akan pergi berhari-hari.
    Tujuannya agar anak tidak menangis, tapi di sisi lain, ini menanamkan ketidakjujuran.
  3. Untuk menghindari konflik.
    Kadang orang tua tidak ingin menghadapi rengekan anak, sehingga mereka mengatakan sesuatu yang tidak benar agar masalah cepat selesai.

Sayangnya, meskipun niatnya baik, dampak dari kebohongan kecil ini bisa besar bagi perkembangan psikologis anak.

Dampak Negatif Berbohong pada Anak

1. Anak Kehilangan Kepercayaan

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ketika anak menyadari bahwa orang tuanya pernah berbohong, ia mulai mempertanyakan ucapan-ucapan berikutnya. Rasa percaya — yang seharusnya menjadi dasar hubungan orang tua dan anak — bisa terkikis sedikit demi sedikit.

2. Anak Meniru Perilaku Tersebut

Anak-anak belajar lebih banyak dari contoh daripada nasihat. Jika mereka melihat bahwa orang tua sering berbohong, maka mereka akan menganggap berbohong adalah hal yang normal, bahkan wajar dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu.

3. Anak Menjadi Takut atau Bingung

Kebohongan yang mengandung unsur menakut-nakuti, seperti “nanti hantu datang,” dapat menimbulkan ketakutan yang tidak rasional pada anak. Hal ini bisa mempengaruhi rasa aman dan kestabilan emosional mereka.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

4. Nilai Moral yang Kabur

Ketika orang tua mengajarkan bahwa berbohong itu dosa, namun mereka sendiri melakukannya — meskipun dalam hal kecil — anak menjadi bingung: mana yang benar? Akibatnya, mereka tumbuh tanpa standar moral yang jelas.

Alternatif Islami: Jujur dengan Bijak

Islam tidak hanya melarang kebohongan, tapi juga mengajarkan cara berkata jujur dengan hikmah. Artinya, orang tua bisa tetap menyampaikan kebenaran tanpa harus menyakiti atau menakut-nakuti anak. Berikut beberapa contoh penerapannya:

  1. Mengganti ancaman dengan penjelasan logis
    “Kalau kamu tidak tidur, nanti ada setan!”
    “Kalau kamu tidur lebih awal, kamu akan segar dan bisa bermain lebih lama besok.”
  2. Mengganti janji palsu dengan rencana nyata
    “Nanti ibu belikan mainan ya,” (padahal tidak niat membeli)
    “Ibu belum bisa belikan sekarang, tapi kalau kamu rajin menabung, kita bisa beli bersama.”
  3. Jujur tentang perpisahan atau kepergian
    “Ayah cuma keluar sebentar,” (padahal pergi lama)
    “Ayah akan pergi agak lama, tapi nanti Ayah pulang dan bawa cerita menarik untukmu.”

Dengan cara ini, anak tetap mendapat kejelasan dan kejujuran, tanpa merasa dikhianati atau ditakuti. Perspektif psikologi anak, para psikolog anak sepakat bahwa kejujuran adalah pondasi penting dalam perkembangan emosional dan moral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa :

  • Anak-anak yang tumbuh di lingkungan jujur memiliki rasa percaya diri dan rasa aman yang lebih tinggi.
  • Mereka lebih mudah mengembangkan empati dan tanggung jawab moral.
  • Sementara anak yang sering dibohongi cenderung menjadi pencemas, tidak percaya orang lain, dan lebih mudah berbohong di kemudian hari.

Dengan kata lain, berbohong pada anak tidak hanya berdampak pada hubungan keluarga saat ini, tetapi juga bisa membentuk kepribadian mereka hingga dewasa.

Bagaimana Jika Kebohongan Itu untuk Kebaikan?

Sebagian orang tua mungkin bertanya: “Bagaimana kalau kebohongan itu demi kebaikan anak?”
Misalnya, tidak memberitahu penyakit yang diderita orang tua agar anak tidak sedih, atau menyembunyikan masalah keluarga.

Dalam kasus seperti ini, Islam tetap menganjurkan kejujuran, tetapi dengan kelembutan dan kesesuaian usia.
Tidak semua kebenaran harus dijelaskan secara detail — namun bukan berarti boleh diganti dengan kebohongan.
Kita dapat menyampaikan versi yang sederhana dan menenangkan tanpa menyalahi fakta.

Contohnya, jika anak bertanya, “Kenapa Ayah sakit?”
Daripada menjawab, “Ayah tidak sakit kok,” lebih baik mengatakan, “Ayah sedang istirahat supaya cepat sembuh.”
Itu tetap jujur, tapi disampaikan dengan bahasa yang lembut dan aman secara emosional.

Menanamkan Kejujuran Sejak Dini

Anak adalah peniru ulung. Mereka belajar bukan dari apa yang didengar, tetapi dari apa yang dilihat. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi teladan kejujuran. Beberapa cara menanamkan nilai kejujuran pada anak antara lain:

  1. Tepati janji sekecil apa pun.
    Bila berjanji akan bermain bersama, tepati. Jika belum bisa, jelaskan alasannya dengan jujur.
  2. Berikan pujian saat anak berkata jujur.
    Tunjukkan bahwa kejujuran lebih berharga daripada menghindari hukuman.
  3. Bangun komunikasi terbuka.
    Biasakan anak berbicara tanpa takut dimarahi. Anak yang merasa aman akan lebih mudah berkata jujur.
  4. Jadikan kejujuran bagian dari ibadah.
    Ajarkan bahwa berkata benar adalah bagian dari ketaatan kepada Allah, bukan sekadar etika sosial.

Penutup

Berbohong kepada anak, sekecil apa pun, tetap tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Meskipun niatnya baik, kebohongan tetaplah kebohongan. Islam mengajarkan agar setiap Muslim — termasuk orang tua — menjaga lisan dari dusta, bahkan terhadap anak kecil.

Kejujuran adalah benih yang jika ditanam sejak dini, akan tumbuh menjadi pohon akhlak yang kuat. Anak yang tumbuh dalam kejujuran akan menjadi pribadi yang amanah, dapat dipercaya, dan memiliki harga diri yang tinggi. Rasulullah bersabda:
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak dapat dipercaya, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.”
(HR. Ahmad)

Maka, jika kita ingin anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang jujur dan berintegritas, mulailah dari diri kita sendiri — jujur kepada mereka dalam setiap kata dan perbuatan. Karena sesungguhnya, setiap kejujuran kecil hari ini akan membangun kepribadian besar masa depan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement