Surau.co. Dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah, Imam Al-Ghazālī menulis dengan ketenangan seorang yang telah menempuh jauh jalan berpikir. Ia telah melintasi medan logika, metafisika, dan kosmologi. Namun, pada akhirnya, semua langkah panjang itu berhenti di satu tempat yang sunyi — keheningan hati. Di sana ia menemukan kebenaran yang tak lagi perlu diperdebatkan, karena segala ilmu sejatinya adalah zikir.
Frasa kunci “segala ilmu adalah zikir” menggambarkan puncak perjalanan pengetahuan dalam pandangan Al-Ghazālī. Baginya, ilmu bukan sekadar kumpulan kata atau teori; ia adalah jembatan menuju kesadaran akan kehadiran Tuhan. Akal yang sejati tidak berbicara keras, ia justru tunduk dan berzikir dalam diam.
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis dengan kalimat yang mengguncang keangkuhan akal manusia:
“غاية العلم أن يعرف العبد ربَّه، فإذا عرفه سكت قلبه عن كل ما سواه.”
“Puncak ilmu adalah mengenal Tuhan, dan ketika seorang hamba mengenal-Nya, hatinya terdiam dari segala sesuatu selain Dia.”
Ketenangan yang dimaksud bukanlah kebekuan. Ia adalah kebijaksanaan yang tumbuh dari pemahaman mendalam, seperti air yang jernih dan tidak berisik, namun menumbuhkan kehidupan di sekitarnya.
Ilmu yang Tak Membawa Zikir adalah Fatamorgana
Hari ini, manusia hidup dalam lautan informasi. Kita membaca, menonton, dan mendengar ribuan hal setiap hari, tetapi mengapa hati kita justru semakin bising dan gelisah? Al-Ghazālī seakan menjawab keresahan zaman ini jauh sebelum internet diciptakan. Ia menulis:
“العلم بلا عمل جنون، والعمل بلا علم لا يكون، وكلاهما بلا ذكر ظلمة في القلب.”
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu tidak mungkin, dan keduanya tanpa zikir adalah kegelapan di dalam hati.”
Zikir, bagi Al-Ghazālī, bukan hanya menyebut nama Allah dengan lisan, tetapi menghadirkan kesadaran akan-Nya dalam setiap pengetahuan dan tindakan. Maka, belajar menjadi ibadah bila hati hadir di dalamnya.
Manusia modern sering mengira bahwa pengetahuan bisa menggantikan makna. Padahal, pengetahuan yang tidak berakar pada dzikrullah hanyalah bayangan yang kehilangan cahaya. Ia mungkin menakjubkan di luar, tetapi kosong di dalam.
Saat Akal dan Hati Berbicara dalam Nada yang Sama
Setiap kali Al-Ghazālī berbicara tentang ilmu, ia tidak memisahkannya dari hati. Akal baginya adalah jembatan, tetapi hati adalah rumah. Ia menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:
“العقل دليلٌ إلى الباب، فإذا فُتح الباب، سكت الدليل.”
“Akal adalah penunjuk jalan menuju pintu, namun ketika pintu telah terbuka, penunjuk itu pun terdiam.”
Kata-kata itu menuntun kita pada makna terdalam dari zikir. Zikir bukanlah melupakan akal, tapi membuat akal bersujud dalam kesadaran penuh. Di sanalah ilmu berhenti menjadi alat dan mulai menjadi pengabdian.
Ketika seorang ilmuwan memahami rahasia alam, ketika seorang guru menuntun muridnya, atau bahkan ketika seseorang menulis dengan tulus — semua itu bisa menjadi zikir, jika hatinya terhubung dengan Yang Maha Tahu.
Allah ﷻ berfirman:
“يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ”
(QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Namun, derajat itu hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan ilmunya tangga menuju iman — bukan batu pijakan untuk kesombongan.
Fenomena Sehari-hari: Banyak Tahu, Sedikit Hening
Kita hidup di masa di mana semua orang ingin bicara, tapi sedikit yang benar-benar mendengar. Setiap orang berlomba menampilkan “pengetahuan”, namun jarang yang berhenti sejenak untuk merenung.
Padahal, sebagaimana diingatkan Al-Ghazālī, pengetahuan yang sejati lahir dari diam — dari kemampuan untuk tidak segera menilai, tidak tergesa membalas, tidak cepat menghakimi.
Ia menulis:
“من كثر كلامه قل علمه، ومن قل كلامه كثر فهمه.”
“Barang siapa banyak bicaranya, sedikit ilmunya; dan barang siapa sedikit bicaranya, banyak pemahamannya.”
Zaman ini tidak kekurangan kata, tetapi kekurangan makna. Maka, barangkali cara terbaik untuk menimba hikmah adalah dengan menutup buku sejenak, menundukkan kepala, dan membiarkan hati berbicara.
Menutup dengan Keheningan: Ketika Ilmu Menjadi Doa
Akhir dari seluruh perjalanan intelektual Al-Ghazālī bukanlah debat atau penegasan, melainkan keheningan. Ia tidak memandang ilmu sebagai hiasan, tapi sebagai jembatan untuk kembali kepada Allah.
Di penghujung renungannya, beliau menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:
“إذا صار العلم حالاً في القلب، صار ذكرًا، وإذا صار ذكرًا، صار نورًا.”
“Ketika ilmu telah menjadi keadaan hati, ia menjadi zikir; dan ketika ia menjadi zikir, ia menjadi cahaya.”
Inilah rahasia dari ungkapan segala ilmu adalah zikir. Bahwa pengetahuan sejati bukan yang membuat manusia merasa lebih tinggi, tapi yang membuatnya lebih tunduk.
Sebagaimana bumi yang subur justru tampak rendah, demikian pula hati yang berilmu. Ia menampung hujan hikmah tanpa sombong pada langit.
Dalam keheningan yang lembut, manusia yang berilmu menemukan makna sejati: bahwa setiap ayat, setiap rumus, setiap teori, hanyalah gema dari satu sumber cahaya yang sama — Allah, Sang Maha Mengetahui.
Dan ketika kesadaran itu lahir, segala ilmu berubah menjadi tasbih.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
